Keadaan Darurat?

Jum'at, 11 November 2016 - 07:52 WIB
Keadaan Darurat?
Keadaan Darurat?
A A A
”Ini merupakan pasukan cadangan yang dalam keadaan emergensi, dalam keadaan darurat, bisa saya gerakkan.” Pernyataan ini disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melakukan inspeksi di Mako Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, kemarin. Menurut Jokowi, pasukan Baret Merah tersebut bisa dia gerakkan dalam posisinya sebagai panglima tertinggi lewat panglima TNI untuk keperluan khusus.

Dalam struktur komando, presiden sebagai panglima tertinggi TNI memang mempunyai hak untuk menggerakkan Kopassus melalui panglima TNI guna melakukan operasi-operasi khusus. Hal ini seperti dilakukan Soeharto ketika memerintahkan gelar militer pada Operasi Woyla (1981) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar operasi pembebasan sandera Kapal MV Sinar Kudus (2011). Pada dua operasi militer tersebut, Kopassus menjadi inti dari operasi.

Langkah yang diambil Soeharto maupun SBY menggerakkan Kopassus atau pasukan khusus lain di bawah TNI dengan alasan yang sangat jelas, yakni karena ada ancaman nyata terhadap warga negara Indonesia, dan negara berkewajiban memberikan perlindungan terhadap mereka. Kopassus sudah pasti akan bergerak, apalagi jika ancaman itu mengarah kepada keselamatan negara.

Dalam konteks kekinian, konteks pengerahan Kopassus seperti dimaksud Jokowi menimbulkan tanda tanya. Pertanyaannya, apakah ada suatu kedaruratan yang memaksa negara perlu menggerakkan Kopassus? Misalnya, apakah ada WNI yang disandera, ancaman terorisme, atau ancaman negara lain terhadap kedaulatan negara.

Rasa-rasanya belum ada konteks kedaruratan seperti kasus di atas yang relevan dengan pernyataan Jokowi tersebut. Jika demikian, satu-satunya konteks kedaruratan yang barangkali dimaksud adalah terkait dengan pernyataan Jokowi sendiri tentang adanya aktor politik yang menggerakkan demonstrasi 4 November lalu.

Kekhawatiran tersebut tentu sangat berlebihan. Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun saat dikunjungi Jokowi sudah menegaskan keyakinannya demonstrasi terbesar sejak era reformasi tersebut alamiah karena ketersinggungan umat Islam terkait penistaan Al Maidah 51 yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ormas terbesar bahkan menyayangkan kelambanan pemerintah dalam berkomunikasi dengan rakyatnya.

Sebaliknya, jika ternyata tetap bersikukuh dengan keyakinannya tentang adanya persoalan tunggang-menunggangi, pernyataan tersebut bisa memberi sinyal bahwa Jokowi sebagai presiden mencoba untuk menakut-nakuti rakyatnya bahwa Kopassus berada di belakangnya.

Atau lebih lanjut mantan wali kota Solo tersebut mencoba menarik TNI dalam pusaran konflik politik yang terjadi. Bila ini terjadinya, tentu sangat disayangkan. Semestinya pemerintah tidak merespons penuh kecurigaan, menghargai demonstrasi, dan menganggapnya sebagai bagian dari demokrasi dan hak rakyat untuk menyampaikan aspirasi.

Semestinya pemerintah tidak mencoba menarik-narik TNI untuk terlibat dalam kepentingan politik kekuasaan. Jika demikian adanya, apa bedanya dengan pemerintahan Orde Baru?

Kita meyakini TNI tidak akan mengulangi kesalahan sama, seperti saat memosisikan diri sebagai alat pemerintah berkuasa seperti di era Soeharto, di mana TNI menjadikan dirinya sebagai pagar kekuasaan pemerintah hingga mempertaruhkan diri untuk menabrak rakyat dan konstitusi. Sebaliknya, TNI akan tetap konsisten dengan jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional.

Kita bersyukur Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo sudah berkali-kali menegaskan sikapnya untuk teguh memegang jati diri TNI tersebut dengan menyatakan TNI tidak akan bisa dipisahkan dengan rakyat, karena TNI adalah anak kandung rakyat. Karena itulah, tidak ada alasan bagi TNI untuk selalu dekat, bersama, menghormati, dan membela rakyat. Dengan demikian, TNI akan kukuh bermain pada level politik kenegaraan dan tidak akan terseret pada politik kekuasaan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6887 seconds (0.1#10.140)