Kepemimpinan dan Manajerial Pembangunan
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Di setiap momen menjelang proses pemilihan umum (pemilu), hampir dapat dipastikan di semua negara/daerah akan berada pada situasi yang sangat mendidih. Proses demokrasi telah mendorong semakin banyak figur yang merasa berkompeten untuk terjun ke konstelasi politik.
Kita disuguhkan pada banyaknya pilihan calon pemimpin yang siap bertanding dengan keragaman gagasan dan latar belakang pemikiran. Sampai pada titik ini muncul pertanyaan sederhana, seberapa besar dampak kualitas kepemimpinan (leadership) seorang kepala pemerintah terhadap kualitas pembangunan di wilayahnya?
Sebagai negara yang menganut sistem ekonomi Pancasila, peran negara sangat kuat dalam alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber daya. Ini membawa konsekuensi seorang pemimpin dalam proses pembangunan tidak bisa disebutkan dalam level ekstrem seperti "sangat absolut" atau "sangat minor" tetapi berorientasi pada penciptaan kesejahteraan bagi masyarakat (welfare state). Karena pada konsep permulaannya, komposisi partisipasi pembangunan justru lebih besar diberikan kepada rakyat sebagai representasi prinsip demokrasi, dan seorang pemimpin negara justru hanya berfungsi sebagai stabilizer.
Negara baru akan turun tangan ketika mekanisme pasar sudah dipandang tidak lagi efisien. Kegagalan mekanisme pasar biasanya muncul dari adanya asymmetric information yang dalam jangka waktu tertentu akan berdampak pada munculnya ketimpangan kesejahteraan, peningkatan kemiskinan, dan instabilitas sosial yang muaranya akan berujung pada rentetan konflik dan krisis politik.
Pada tahapan inilah figur pemimpin layaknya seorang Satria Piningit sangat diharapkan kehadirannya. Bahkan lebih idealnya, seorang pemimpin seharusnya sudah memiliki langkah mitigasi jauh sebelum potensi krisis muncul ke permukaan Bumi.
Dengan harapan yang dicanangkan begitu tinggi, kita perlu berhati-hati dalam memilih seorang pemimpin. Karena bisa jadi apa yang ada di balik tubuh seorang pemimpin merupakan wajah pembangunan di masa depan.
Dengan kuasa politiknya, seorang pemimpin bisa menggunakan sumber daya (resources allocated) untuk menentukan target-target pembangunannya. Opini yang baru saja terlontar tentu masih dalam tataran pemikiran normatif.
Dalam kondisi riilnya, ternyata ada juga oknum pemimpin negara/daerah yang justru menggunakan kekuasaannya tidak berada di arah pembangunan yang seharusnya. Kejadian ini bukan hanya disebabkan faktor korupsi yang terlanjur semakin lama semakin menggurita di Indonesia, melainkan juga disebabkan karena pemimpin wilayahnya yang kurang andal dalam proses layanan kepemerintahan.
Tahapan-tahapan pembangunan sebenarnya tidak jauh-jauh dari konsepsi ilmu manajemen dasar yang terdiri atas tahap Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pelaksanaan (Actuating), dan Pengawasan (Controlling) atau yang sering diakronimkan sebagai POAC. Prinsip manajemen sangat diperlukan untuk mengawasi dan memonitor aspek sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di wilayahnya.
Keempat tahapan tersebut menjadi sebuah siklus yang ideal dan akan terus dilakukan sepanjang usia kepemerintahan masih tetap berjalan. Mari kita analogikan bersama bagaimana tahapan proses pembangunan yang ideal dalam sebuah siklus kepemerintahan.
Pertama, tahap perencanaan. Pada tahapan ini, bisa diperumpamakan seperti memilih gerbang mana yang paling dekat dengan cita-cita kesejahteraan. Seorang pemimpin akan dibekali dengan sumber daya keuangan (dari APBN/D) dan ruang manajemen politik yang leluasa untuk menentukan strategi-strategi pembangunannya.
Menurut Conyers dan Hills (1994), perencanaan dianggap sebagai proses vital karena mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan alternatif penggunaan sumber daya yang efektif dan berkesinambungan. Strategi pembangunan akan menentukan cara yang terbaik untuk mencapai kombinasi sumber daya yang ideal di tengah hadangan berbagai keterbatasan, sehingga pemerintah harus mampu menyusun hierarki target prioritas yang tepat dan sesuai dengan visi politiknya. Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang kuat agar tujuan kegiatan terfokus pada pencapaian yang sudah ditetapkan.
Meskipun tampak sederhana, bukan berarti tugas perencanaan selalu terasa semudah membalikkan tangan. Karena pada kenyataannya kita sering bermasalah di balik proses-proses perencanaan yang begitu ambisius.
Kita bisa belajar dari pengalaman perencanaan nasional di tahun 2015 yang antara target dan realisasi kinerjanya relatif amburadul. Contohnya dari sisi pengelolaan APBN, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berani mematok target penerimaan yang bombastis untuk mendanai target-target pembangunan.
Namun celakanya Beliau tidak mempertimbangkan dampak perekonomian global yang ternyata masih membelenggu tingkat konsumsi dan pendapatan masyarakat, sehingga berdampak besar terhadap penerimaan sektor perpajakan sebelum akhirnya "diselamatkan" oleh program tax amnesty. Yang perlu dicatat di sini, proyeksi perencanaan sah-sah saja untuk ditetapkan dalam skala optimistis, namun substansinya tetap harus kredibel dan insightterhadap fakta-fakta empiris.
Satu hal lagi yang sekarang terbukti berpengaruh besar, seorang pemimpin harus peka terhadap situasi tetangga-tetangga di sekitarnya sebagai konsekuensi logisadanya konektivitas antarwilayah. Kalau tidak diantisipasi secara bijak, kekhawatiran berikutnya dokumen perencanaan kita akan terus menjadi sia-sia.
Kedua, tahap organizing. Dalam siklus yang kedua ini, seorang pemimpin akan mulai mendeterminasi visi-misi politiknya kepada struktur pemerintah di bawahnya dan bisa jadi akan berhadapan dengan banyak kepentingan dari sektor-sektor tertentu.
Masing-masing bagian biasanya saling mengunggulkan sektor-sektornya untuk mengejar tujuan tertentu, dan peranan seorang leader sangat penting untuk membentuk jalan tengah agar tetap mampu bersinergi dan mengurangi overlapping kebijakan. Determinasi visi-misi pembangunan juga perlu mengakomodasi sinergitas perencanaan secara vertikal dengan pemerintah daerah hingga tataran desa.
Pemerintah mulai berhitung secara cermat berapa kapasitas yang dimiliki untuk memulai mengejar target. Misalnya seperti asumsi makroekonomi nasional tahun 2017 yang kemarin baru saja dirilis, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,1%. Rencana ini harus disambut dengan sistem pengalokasian sumber daya yang memadai, dan juga perlu diteliti faktor-faktor apa saja yang memiliki pengaruh terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi.
Sang leader berhak menentukan alokasi SDM dan anggaran belanjanya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.Pemerintah juga perlu mengoptimalkan peran Bappenas/Bappeda yang sudah diberikan wewenang untuk mengontrol jalannya proses-proses perencanaan. Keputusan ini tentu bertujuan mengurangi tumpang-tindih kebijakan agar menghemat penggunaan sumber daya.
Ketiga, tahap pelaksanaan. Ada beberapa prinsip yang amat penting dalam proses pelaksanaan pembangunan, yang sebetulnya lebih ideal jika dilakukan sejak tahap perencanaan.
Prinsip-prinsip ini terdiri atas unsur partisipatif, dinamis, dan berkesinambungan. Prinsip partisipatif memiliki arti bahwa pemerintah mengakomodasi banyak pihak yang berkompeten untuk terlibat dalam tahap pelaksanaan pembangunan.
Ide ini sesuai dengan amanat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang bertujuan menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan dengan lebih proporsional. Upaya partisipatif juga bertujuan menumbuhkan modal sosial dan kesadaran masyarakat untuk memperkuat sense of belonging terhadap negaranya.
Indikasi yang menunjukkan kecenderungan masyarakat menjadi lebih apatis antara lain diukur dari relatif tingginya angka golongan putih (golput) saat pemilu, rendahnya ketaatan terhadap kewajiban pajak, serta pertumbuhan yang rendah dalam pembiayaan pembangunan melalui obligasi ritel dan/atau sukuk.
Prinsip berikutnya, unsur dinamis diperlukan agar tahap pelaksanaan menjadi rasional dan sistematis, karena terkadang pemerintah dituntut untuk melakukan inovasi secara mendadak yang disebabkan berbagai situasi di luar rencana awal. Lagi-lagi contoh sederhananya adalah kebijakan tax amnesty yang kemarin menyelamatkan kita dari krisis pembiayaan. Prinsip kesinambungan juga tidak kalah pentingnya dibanding prinsip-prinsip sebelumnya.
Proses kesinambungan dapat dilakukan secara horizontal (antarkementerian/lembaga pusat) dan vertikal (antara pusat dan daerah), yang tujuannya untuk menghindari tumpang tindih dan ketidaksinkronan kebijakan. Efek dari paket deregulasi kemarin memang memperbaiki Indeks Doing Business (Bank Dunia, 2016) Indonesia dari peringkat 106 menjadi 91 dunia, namun dari sisi daya saing global (versi World Economic Forum, 2016) proses birokrasi justru yang mendorong penurunan peringkat dari sebelumnya 37 menjadi 41 dunia. Kesimpulannya, kesinambungan kebijakan belum mampu tercipta secara efisien.
Keempat, yakni proses evaluasi sebagai tahapan yang terakhir, tidak dapat dikatakan sebagai siklus yang paling tidak penting, karena terkadang justru tahap inilah yang menentukan langkah awal berikutnya. Tahap evaluasi akan mengurai bagaimana jalannya tahap-tahap sebelumnya dan menghimpun kesimpulan yang sifatnya komprehensif, untuk kemudian menjadi rekomendasi kebijakan berikutnya.
Jika ada sektor-sektor yang tidak mencapai target, pemimpin harus memberikan sanksi dan pembinaan. Begitu juga sebaliknya, jika pemimpin sektoral mampu berkinerja sesuai dengan target harus diberikan insentif yang memadai, apalagi jika mereka mampu memunculkan inovasi-inovasi baru.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan, peran seorang presiden atau kepala daerah kurang lebih hampir sama dengan seorang manajer atau pimpinan direksi dari sebuah perusahaan. Karakter pemimpin yang ideal adalah mereka yang memiliki visi yang tajam dan terukur, fokus dalam perencanaan, inovatif dan dinamis dalam pelaksanaan, serta mampu mengombinasikan keragaman sumber daya yang ada di dalamnya untuk mewujudkan pembangunan yang adil, produktif, dan inovatif. Mari kita bersama-sama menjadi mitra kritis dalam pengawalan proses demokrasi, agar pemerintah tetap semangat dan konsisten menjalankan visi-misi pembangunan di negeri ini.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Di setiap momen menjelang proses pemilihan umum (pemilu), hampir dapat dipastikan di semua negara/daerah akan berada pada situasi yang sangat mendidih. Proses demokrasi telah mendorong semakin banyak figur yang merasa berkompeten untuk terjun ke konstelasi politik.
Kita disuguhkan pada banyaknya pilihan calon pemimpin yang siap bertanding dengan keragaman gagasan dan latar belakang pemikiran. Sampai pada titik ini muncul pertanyaan sederhana, seberapa besar dampak kualitas kepemimpinan (leadership) seorang kepala pemerintah terhadap kualitas pembangunan di wilayahnya?
Sebagai negara yang menganut sistem ekonomi Pancasila, peran negara sangat kuat dalam alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber daya. Ini membawa konsekuensi seorang pemimpin dalam proses pembangunan tidak bisa disebutkan dalam level ekstrem seperti "sangat absolut" atau "sangat minor" tetapi berorientasi pada penciptaan kesejahteraan bagi masyarakat (welfare state). Karena pada konsep permulaannya, komposisi partisipasi pembangunan justru lebih besar diberikan kepada rakyat sebagai representasi prinsip demokrasi, dan seorang pemimpin negara justru hanya berfungsi sebagai stabilizer.
Negara baru akan turun tangan ketika mekanisme pasar sudah dipandang tidak lagi efisien. Kegagalan mekanisme pasar biasanya muncul dari adanya asymmetric information yang dalam jangka waktu tertentu akan berdampak pada munculnya ketimpangan kesejahteraan, peningkatan kemiskinan, dan instabilitas sosial yang muaranya akan berujung pada rentetan konflik dan krisis politik.
Pada tahapan inilah figur pemimpin layaknya seorang Satria Piningit sangat diharapkan kehadirannya. Bahkan lebih idealnya, seorang pemimpin seharusnya sudah memiliki langkah mitigasi jauh sebelum potensi krisis muncul ke permukaan Bumi.
Dengan harapan yang dicanangkan begitu tinggi, kita perlu berhati-hati dalam memilih seorang pemimpin. Karena bisa jadi apa yang ada di balik tubuh seorang pemimpin merupakan wajah pembangunan di masa depan.
Dengan kuasa politiknya, seorang pemimpin bisa menggunakan sumber daya (resources allocated) untuk menentukan target-target pembangunannya. Opini yang baru saja terlontar tentu masih dalam tataran pemikiran normatif.
Dalam kondisi riilnya, ternyata ada juga oknum pemimpin negara/daerah yang justru menggunakan kekuasaannya tidak berada di arah pembangunan yang seharusnya. Kejadian ini bukan hanya disebabkan faktor korupsi yang terlanjur semakin lama semakin menggurita di Indonesia, melainkan juga disebabkan karena pemimpin wilayahnya yang kurang andal dalam proses layanan kepemerintahan.
Tahapan-tahapan pembangunan sebenarnya tidak jauh-jauh dari konsepsi ilmu manajemen dasar yang terdiri atas tahap Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pelaksanaan (Actuating), dan Pengawasan (Controlling) atau yang sering diakronimkan sebagai POAC. Prinsip manajemen sangat diperlukan untuk mengawasi dan memonitor aspek sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di wilayahnya.
Keempat tahapan tersebut menjadi sebuah siklus yang ideal dan akan terus dilakukan sepanjang usia kepemerintahan masih tetap berjalan. Mari kita analogikan bersama bagaimana tahapan proses pembangunan yang ideal dalam sebuah siklus kepemerintahan.
Pertama, tahap perencanaan. Pada tahapan ini, bisa diperumpamakan seperti memilih gerbang mana yang paling dekat dengan cita-cita kesejahteraan. Seorang pemimpin akan dibekali dengan sumber daya keuangan (dari APBN/D) dan ruang manajemen politik yang leluasa untuk menentukan strategi-strategi pembangunannya.
Menurut Conyers dan Hills (1994), perencanaan dianggap sebagai proses vital karena mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan alternatif penggunaan sumber daya yang efektif dan berkesinambungan. Strategi pembangunan akan menentukan cara yang terbaik untuk mencapai kombinasi sumber daya yang ideal di tengah hadangan berbagai keterbatasan, sehingga pemerintah harus mampu menyusun hierarki target prioritas yang tepat dan sesuai dengan visi politiknya. Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang kuat agar tujuan kegiatan terfokus pada pencapaian yang sudah ditetapkan.
Meskipun tampak sederhana, bukan berarti tugas perencanaan selalu terasa semudah membalikkan tangan. Karena pada kenyataannya kita sering bermasalah di balik proses-proses perencanaan yang begitu ambisius.
Kita bisa belajar dari pengalaman perencanaan nasional di tahun 2015 yang antara target dan realisasi kinerjanya relatif amburadul. Contohnya dari sisi pengelolaan APBN, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berani mematok target penerimaan yang bombastis untuk mendanai target-target pembangunan.
Namun celakanya Beliau tidak mempertimbangkan dampak perekonomian global yang ternyata masih membelenggu tingkat konsumsi dan pendapatan masyarakat, sehingga berdampak besar terhadap penerimaan sektor perpajakan sebelum akhirnya "diselamatkan" oleh program tax amnesty. Yang perlu dicatat di sini, proyeksi perencanaan sah-sah saja untuk ditetapkan dalam skala optimistis, namun substansinya tetap harus kredibel dan insightterhadap fakta-fakta empiris.
Satu hal lagi yang sekarang terbukti berpengaruh besar, seorang pemimpin harus peka terhadap situasi tetangga-tetangga di sekitarnya sebagai konsekuensi logisadanya konektivitas antarwilayah. Kalau tidak diantisipasi secara bijak, kekhawatiran berikutnya dokumen perencanaan kita akan terus menjadi sia-sia.
Kedua, tahap organizing. Dalam siklus yang kedua ini, seorang pemimpin akan mulai mendeterminasi visi-misi politiknya kepada struktur pemerintah di bawahnya dan bisa jadi akan berhadapan dengan banyak kepentingan dari sektor-sektor tertentu.
Masing-masing bagian biasanya saling mengunggulkan sektor-sektornya untuk mengejar tujuan tertentu, dan peranan seorang leader sangat penting untuk membentuk jalan tengah agar tetap mampu bersinergi dan mengurangi overlapping kebijakan. Determinasi visi-misi pembangunan juga perlu mengakomodasi sinergitas perencanaan secara vertikal dengan pemerintah daerah hingga tataran desa.
Pemerintah mulai berhitung secara cermat berapa kapasitas yang dimiliki untuk memulai mengejar target. Misalnya seperti asumsi makroekonomi nasional tahun 2017 yang kemarin baru saja dirilis, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,1%. Rencana ini harus disambut dengan sistem pengalokasian sumber daya yang memadai, dan juga perlu diteliti faktor-faktor apa saja yang memiliki pengaruh terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi.
Sang leader berhak menentukan alokasi SDM dan anggaran belanjanya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.Pemerintah juga perlu mengoptimalkan peran Bappenas/Bappeda yang sudah diberikan wewenang untuk mengontrol jalannya proses-proses perencanaan. Keputusan ini tentu bertujuan mengurangi tumpang-tindih kebijakan agar menghemat penggunaan sumber daya.
Ketiga, tahap pelaksanaan. Ada beberapa prinsip yang amat penting dalam proses pelaksanaan pembangunan, yang sebetulnya lebih ideal jika dilakukan sejak tahap perencanaan.
Prinsip-prinsip ini terdiri atas unsur partisipatif, dinamis, dan berkesinambungan. Prinsip partisipatif memiliki arti bahwa pemerintah mengakomodasi banyak pihak yang berkompeten untuk terlibat dalam tahap pelaksanaan pembangunan.
Ide ini sesuai dengan amanat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang bertujuan menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan dengan lebih proporsional. Upaya partisipatif juga bertujuan menumbuhkan modal sosial dan kesadaran masyarakat untuk memperkuat sense of belonging terhadap negaranya.
Indikasi yang menunjukkan kecenderungan masyarakat menjadi lebih apatis antara lain diukur dari relatif tingginya angka golongan putih (golput) saat pemilu, rendahnya ketaatan terhadap kewajiban pajak, serta pertumbuhan yang rendah dalam pembiayaan pembangunan melalui obligasi ritel dan/atau sukuk.
Prinsip berikutnya, unsur dinamis diperlukan agar tahap pelaksanaan menjadi rasional dan sistematis, karena terkadang pemerintah dituntut untuk melakukan inovasi secara mendadak yang disebabkan berbagai situasi di luar rencana awal. Lagi-lagi contoh sederhananya adalah kebijakan tax amnesty yang kemarin menyelamatkan kita dari krisis pembiayaan. Prinsip kesinambungan juga tidak kalah pentingnya dibanding prinsip-prinsip sebelumnya.
Proses kesinambungan dapat dilakukan secara horizontal (antarkementerian/lembaga pusat) dan vertikal (antara pusat dan daerah), yang tujuannya untuk menghindari tumpang tindih dan ketidaksinkronan kebijakan. Efek dari paket deregulasi kemarin memang memperbaiki Indeks Doing Business (Bank Dunia, 2016) Indonesia dari peringkat 106 menjadi 91 dunia, namun dari sisi daya saing global (versi World Economic Forum, 2016) proses birokrasi justru yang mendorong penurunan peringkat dari sebelumnya 37 menjadi 41 dunia. Kesimpulannya, kesinambungan kebijakan belum mampu tercipta secara efisien.
Keempat, yakni proses evaluasi sebagai tahapan yang terakhir, tidak dapat dikatakan sebagai siklus yang paling tidak penting, karena terkadang justru tahap inilah yang menentukan langkah awal berikutnya. Tahap evaluasi akan mengurai bagaimana jalannya tahap-tahap sebelumnya dan menghimpun kesimpulan yang sifatnya komprehensif, untuk kemudian menjadi rekomendasi kebijakan berikutnya.
Jika ada sektor-sektor yang tidak mencapai target, pemimpin harus memberikan sanksi dan pembinaan. Begitu juga sebaliknya, jika pemimpin sektoral mampu berkinerja sesuai dengan target harus diberikan insentif yang memadai, apalagi jika mereka mampu memunculkan inovasi-inovasi baru.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan, peran seorang presiden atau kepala daerah kurang lebih hampir sama dengan seorang manajer atau pimpinan direksi dari sebuah perusahaan. Karakter pemimpin yang ideal adalah mereka yang memiliki visi yang tajam dan terukur, fokus dalam perencanaan, inovatif dan dinamis dalam pelaksanaan, serta mampu mengombinasikan keragaman sumber daya yang ada di dalamnya untuk mewujudkan pembangunan yang adil, produktif, dan inovatif. Mari kita bersama-sama menjadi mitra kritis dalam pengawalan proses demokrasi, agar pemerintah tetap semangat dan konsisten menjalankan visi-misi pembangunan di negeri ini.
(poe)