Perkuat Posisi KPPU
A
A
A
PELAKU dunia usaha kini diliputi rasa khawatir menyikapi usulan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seputar revisi Undang-Undang (UU) Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam revisi UU tersebut, sejumlah aturan baru akan memperkuat posisi KPPU, meliputi pemberian kewenangan untuk penggeledahan, ketentuan baru seputar pelaporan aksi merger dan akuisisi perusahaan, dan penentuan besaran denda bagi pelaku usaha yang melakukan praktik persaingan usaha tidak sehat. Bagi pelaku usaha, penambahan kewenangan tersebut bisa dipahami, namun yang dikhawatirkan adalah penyalahgunaan atas kewenangan yang begitu besar.
Kekhawatiran kalangan pengusaha sebagaimana disuarakan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia, jangan sampai kewenangan besar yang diberikan kepada KPPU justru membuat repot dunia usaha. Sebab melihat beberapa kewenangan dalam usulan revisi UU tersebut, ”pedang” KPPU bisa langsung menusuk jantung dunia usaha bila tidak dilakukan dengan hati-hati dalam menangani persaingan usaha yang dianggap tidak sehat.
Pihak Hipmi tidak menolak penguatan KPPU untuk menjaga stabilitas dan keadilan berusaha yang memang sangat didambakan. Hanya, implementasi aturan di lapangan jangan sampai membabi buta dengan gampang ”menuduh” pelaku usaha telah melakukan kartel.
Dalam revisi UU tersebut, persoalan merger dan akuisisi perusahaan mendapat perhatian serius, pihak KPPU mewajibkan pengusaha melakukan pelaporan sebelum aksi perusahaan dilaksanakan. Tujuan dari pelaporan tersebut yakni KPPU ingin memastikan bahwa perusahaan yang merger dan akuisisi tidak mendominasi pasar sehingga usaha dalam skala kecil tidak terganggu.
Selain itu, sebagai antisipasi jangan sampai perusahaan hasil merger dan akuisisi melakukan intervensi pasar. Selama ini, taring KPPU terhadap aksi merger dan akuisisi perusahaan boleh dikatakan tumpul, sebab baru dilaporkan setelah perusahaan merger dan akuisisi terlaksana.
Kewenangan KPPU yang mewajibkan perusahaan melakukan pelaporan sebelum merger dan akuisisi mendapat dukungan penuh dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Bagi Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita, perusahaan yang melakukan merger ataupun akuisisi cenderung memonopoli pasar.
Karena itu, menjadi tugas bersama antara Kemendag dengan KPPU untuk membuat aturan atau parameter tertentu sehingga kekhawatiran munculnya monopoli di pasar tidak terjadi. Sebab sudah menjadi hukum pasar bahwa praktik monopoli sulit menahan diri untuk tidak mendikte pasar.
Sementara itu, Ketua KPPU Syarkawi Rauf menilai wajib lapor perusahaan sebelum merger dan akuisisi justru memberi kepastian hukum bagi pengusaha. Artinya, pengusaha sudah tahu dan paham rambu-rambu atau aturan yang tidak boleh dilanggar sebelum melakukan aksi merger dan akuisisi.
Dengan pelaporan tersebut, KPPU bisa memberikan penilaian apakah merger atau akuisisi berpotensi menimbulkan monopoli atau tidak ke depan. Di sejumlah negara maju praktik pelaporan bagi perusahaan sebelum merger dan akuisisi bukan lagi hal baru. Otoritas yang mengatur persaingan usaha yang tidak sehat tak akan memberi lampu hijau kalau pasca merger atau akuisisi mendatangkan masalah.
Selain mengenai pelaporan perusahaan merger dan akuisisi, revisi UU Nomor 5/1999 juga menyasar denda maksimal bagi perusahaan pelaku kartel. Selama ini denda maksimal yang dikenakan sebesar Rp25 miliar akan diubah menjadi sekitar 30% dari penjualan.
Revisi UU tersebut juga memberi ruang kepada KPPU dalam memperluas kewenangan untuk menangani perkara persaingan usaha di luar negeri yang berdampak terhadap Indonesia. Dan, KPPU dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan bersama pihak kepolisian.
Menyikapi munculnya kekhawatiran kalangan pengusaha atas usulan revisi UU itu, pihak KPPU menjamin tidak akan menghambat atau mengganggu kegiatan usaha. Penambahan kewenangan KPPU justru akan meningkatkan kepastian hukum dalam berusaha, membuat iklim investasi semakin kondusif, dan menciptakan efisiensi ekonomi, serta mendorong peningkatan produktivitas nasional.
KPPU mengklaim beberapa kasus kartel yang telah diselesaikan terbukti menimbulkan kerugian kepada konsumen dan negara yang jumlahnya triliunan rupiah. Memang, sudah saatnya praktik kartel atau persekongkolan usaha di berbagai sektor bisnis strategis dihentikan.
Dalam revisi UU tersebut, sejumlah aturan baru akan memperkuat posisi KPPU, meliputi pemberian kewenangan untuk penggeledahan, ketentuan baru seputar pelaporan aksi merger dan akuisisi perusahaan, dan penentuan besaran denda bagi pelaku usaha yang melakukan praktik persaingan usaha tidak sehat. Bagi pelaku usaha, penambahan kewenangan tersebut bisa dipahami, namun yang dikhawatirkan adalah penyalahgunaan atas kewenangan yang begitu besar.
Kekhawatiran kalangan pengusaha sebagaimana disuarakan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia, jangan sampai kewenangan besar yang diberikan kepada KPPU justru membuat repot dunia usaha. Sebab melihat beberapa kewenangan dalam usulan revisi UU tersebut, ”pedang” KPPU bisa langsung menusuk jantung dunia usaha bila tidak dilakukan dengan hati-hati dalam menangani persaingan usaha yang dianggap tidak sehat.
Pihak Hipmi tidak menolak penguatan KPPU untuk menjaga stabilitas dan keadilan berusaha yang memang sangat didambakan. Hanya, implementasi aturan di lapangan jangan sampai membabi buta dengan gampang ”menuduh” pelaku usaha telah melakukan kartel.
Dalam revisi UU tersebut, persoalan merger dan akuisisi perusahaan mendapat perhatian serius, pihak KPPU mewajibkan pengusaha melakukan pelaporan sebelum aksi perusahaan dilaksanakan. Tujuan dari pelaporan tersebut yakni KPPU ingin memastikan bahwa perusahaan yang merger dan akuisisi tidak mendominasi pasar sehingga usaha dalam skala kecil tidak terganggu.
Selain itu, sebagai antisipasi jangan sampai perusahaan hasil merger dan akuisisi melakukan intervensi pasar. Selama ini, taring KPPU terhadap aksi merger dan akuisisi perusahaan boleh dikatakan tumpul, sebab baru dilaporkan setelah perusahaan merger dan akuisisi terlaksana.
Kewenangan KPPU yang mewajibkan perusahaan melakukan pelaporan sebelum merger dan akuisisi mendapat dukungan penuh dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Bagi Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita, perusahaan yang melakukan merger ataupun akuisisi cenderung memonopoli pasar.
Karena itu, menjadi tugas bersama antara Kemendag dengan KPPU untuk membuat aturan atau parameter tertentu sehingga kekhawatiran munculnya monopoli di pasar tidak terjadi. Sebab sudah menjadi hukum pasar bahwa praktik monopoli sulit menahan diri untuk tidak mendikte pasar.
Sementara itu, Ketua KPPU Syarkawi Rauf menilai wajib lapor perusahaan sebelum merger dan akuisisi justru memberi kepastian hukum bagi pengusaha. Artinya, pengusaha sudah tahu dan paham rambu-rambu atau aturan yang tidak boleh dilanggar sebelum melakukan aksi merger dan akuisisi.
Dengan pelaporan tersebut, KPPU bisa memberikan penilaian apakah merger atau akuisisi berpotensi menimbulkan monopoli atau tidak ke depan. Di sejumlah negara maju praktik pelaporan bagi perusahaan sebelum merger dan akuisisi bukan lagi hal baru. Otoritas yang mengatur persaingan usaha yang tidak sehat tak akan memberi lampu hijau kalau pasca merger atau akuisisi mendatangkan masalah.
Selain mengenai pelaporan perusahaan merger dan akuisisi, revisi UU Nomor 5/1999 juga menyasar denda maksimal bagi perusahaan pelaku kartel. Selama ini denda maksimal yang dikenakan sebesar Rp25 miliar akan diubah menjadi sekitar 30% dari penjualan.
Revisi UU tersebut juga memberi ruang kepada KPPU dalam memperluas kewenangan untuk menangani perkara persaingan usaha di luar negeri yang berdampak terhadap Indonesia. Dan, KPPU dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan bersama pihak kepolisian.
Menyikapi munculnya kekhawatiran kalangan pengusaha atas usulan revisi UU itu, pihak KPPU menjamin tidak akan menghambat atau mengganggu kegiatan usaha. Penambahan kewenangan KPPU justru akan meningkatkan kepastian hukum dalam berusaha, membuat iklim investasi semakin kondusif, dan menciptakan efisiensi ekonomi, serta mendorong peningkatan produktivitas nasional.
KPPU mengklaim beberapa kasus kartel yang telah diselesaikan terbukti menimbulkan kerugian kepada konsumen dan negara yang jumlahnya triliunan rupiah. Memang, sudah saatnya praktik kartel atau persekongkolan usaha di berbagai sektor bisnis strategis dihentikan.
(poe)