Sudah 2 Tahun, Saatnya Berlari Kencang
A
A
A
PADA 20 Oktober lalu sudah penuh dua tahun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) memimpin republik ini. Jika di tahun pertama adalah tahun memantapkan posisi, tahun kedua tahun ancang-ancang, maka tahun ketiga sudah seharusnya menjadi tahun untuk berlari kencang. Apalagi sekarang poros politik sudah sedemikian rupa sangat mendukung pemerintah.
Bahkan ketika awal naiknya Jokowi-JK ke tampuk kepemimpinan, sangat banyak pihak yang mengkhawatirkan bagaimana bisa keduanya sukses mengemban amanat memajukan negeri ketika polarisasi demikian hebat. Sementara kubu politik Jokowi-JK di kala awal pemerintahan ini relatif lebih kecil. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) waktu itu lebih kecil daripada Koalisi Merah Putih (KMP).
Kursi KMP di DPR jauh lebih besar bila dibandingkan KIH, juga KMP menguasai alat kelengkapan Dewan. Karena itu tak mengherankan bila ada kekhawatiran berbagai rencana pemerintahan Jokowi-JK akan melewati perjuangan mahaberat di parlemen.
Namun rupanya politik itu memang dinamis. Kekhawatiran para pakar sekarang justru berbalik, yaitu bagaimana cara menjaga agar checks and balances dalam kehidupan bernegara tetap terjaga. Alasannya adalah kutub kekuasaan Jokowi-JK sangat besar sehingga mengalahkan kutub oposisinya dengan cukup signifikan.
KMP yang di awal sangat kuat akhirnya mengecil karena gembos. Ada yang berpendapat memang pada akhirnya gembos sendiri, tak kalah banyak pula yang berpendapat koalisi tersebut digembosi. Tapi apa pun itu, yang jelas sekarang kekuatan di sebarang Jokowi-JK sudah berkurang sangat signifikan bila dibandingkan dengan masa awal kepemimpinannya.
Dengan konstelasi yang seperti itu, tentu tak ada alasan lagi bagi Jokowi-JK untuk berlari lebih kencang lagi dalam memajukan negeri ini. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun ketiga, yang harusnya tahun ketiga dan keempat inilah pembangunan sedang kencang-kencangnya.
Karena biasanya pada tahun kelima konsentrasi akan terpecah dalam menghadapi pemilihan umum presiden (pilpres). Apalagi kemungkinan besar Presiden Jokowi akan maju untuk periode kepemimpinan yang kedua.
Maka agar lari pembangunan makin kencang, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, fokus pada program membangun dan kurangi porsi politik. Selama ini Kabinet Kerja dan Jokowi-JK disibukkan dengan pertarungan politik di sekelilingnya yang tentu mengganggu konsentrasi dalam membangun. Dengan makin kuatnya posisi politik, sudah seharusnya fokus dialihkan.
Kedua, mengurangi pencitraan yang berlebihan. Selama ini kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang gemar melakukan pencitraan menguat di masyarakat. Kita semua sadar bahwa pencitraan dalam pemerintahan itu sangat diperlukan karena terkait membangun trust . Namun pencitraan yang overdosis bisa sedikit demi sedikit menggerus trust yang sudah dibangun.
Pemerintah, terutama Presiden Jokowi harus sadar bahwa approval rating Jokowi beberapa bulan terakhir ada pada level tertinggi. Pencitraan sudah tidak diperlukan semasif waktu awal berkuasa dulu karena kepercayaan sudah didapatkan dari rakyat.
Ketiga, menyiapkan program jangka pendek dan jangka menengah yang memadai. Selama ini Presiden Jokowi sangat fokus dengan berbagai program jangka panjang terutama di sektor infrastruktur. Namun akhirnya seperti terlupa untuk berbagai program jangka pendek dan menengah.
Presiden Jokowi harus ingat, di saat membangun infrastruktur yang akan membawa kesejahteraan itu, bukan berarti lapar di perut masyarakat akan terhenti. Apalagi ekonomi dunia masih melambat dan tentunya adalah masyarakat lapisan ekonomi bawah yang hampir 70% konsumsinya habis untuk pangan.
Keempat, mendorong para bawahannya untuk tidak berperilaku "asal bapak senang (ABS)". Perilaku ini sangat berbahaya bagi pembangunan Indonesia. Misalnya bisa dilihat ketika Presiden Jokowi mencanangkan program pengetatan anggaran dengan memotong anggaran kementerian karena risiko defisit APBN, maka para menteri seperti berlomba untuk memotong yang paling besar. Logika ini bisa berbahaya karena kadang para menteri karena ingin membuat Presiden senang akhirnya melakukan langkah drastis yang kontraproduktif berlomba memotong anggaran.
Rakyat menanti tontonan kesuksesan pembangunan, untuk tontonan politik cukupkanlah lima tahun sekali saja saat pemilu.
Bahkan ketika awal naiknya Jokowi-JK ke tampuk kepemimpinan, sangat banyak pihak yang mengkhawatirkan bagaimana bisa keduanya sukses mengemban amanat memajukan negeri ketika polarisasi demikian hebat. Sementara kubu politik Jokowi-JK di kala awal pemerintahan ini relatif lebih kecil. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) waktu itu lebih kecil daripada Koalisi Merah Putih (KMP).
Kursi KMP di DPR jauh lebih besar bila dibandingkan KIH, juga KMP menguasai alat kelengkapan Dewan. Karena itu tak mengherankan bila ada kekhawatiran berbagai rencana pemerintahan Jokowi-JK akan melewati perjuangan mahaberat di parlemen.
Namun rupanya politik itu memang dinamis. Kekhawatiran para pakar sekarang justru berbalik, yaitu bagaimana cara menjaga agar checks and balances dalam kehidupan bernegara tetap terjaga. Alasannya adalah kutub kekuasaan Jokowi-JK sangat besar sehingga mengalahkan kutub oposisinya dengan cukup signifikan.
KMP yang di awal sangat kuat akhirnya mengecil karena gembos. Ada yang berpendapat memang pada akhirnya gembos sendiri, tak kalah banyak pula yang berpendapat koalisi tersebut digembosi. Tapi apa pun itu, yang jelas sekarang kekuatan di sebarang Jokowi-JK sudah berkurang sangat signifikan bila dibandingkan dengan masa awal kepemimpinannya.
Dengan konstelasi yang seperti itu, tentu tak ada alasan lagi bagi Jokowi-JK untuk berlari lebih kencang lagi dalam memajukan negeri ini. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun ketiga, yang harusnya tahun ketiga dan keempat inilah pembangunan sedang kencang-kencangnya.
Karena biasanya pada tahun kelima konsentrasi akan terpecah dalam menghadapi pemilihan umum presiden (pilpres). Apalagi kemungkinan besar Presiden Jokowi akan maju untuk periode kepemimpinan yang kedua.
Maka agar lari pembangunan makin kencang, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, fokus pada program membangun dan kurangi porsi politik. Selama ini Kabinet Kerja dan Jokowi-JK disibukkan dengan pertarungan politik di sekelilingnya yang tentu mengganggu konsentrasi dalam membangun. Dengan makin kuatnya posisi politik, sudah seharusnya fokus dialihkan.
Kedua, mengurangi pencitraan yang berlebihan. Selama ini kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang gemar melakukan pencitraan menguat di masyarakat. Kita semua sadar bahwa pencitraan dalam pemerintahan itu sangat diperlukan karena terkait membangun trust . Namun pencitraan yang overdosis bisa sedikit demi sedikit menggerus trust yang sudah dibangun.
Pemerintah, terutama Presiden Jokowi harus sadar bahwa approval rating Jokowi beberapa bulan terakhir ada pada level tertinggi. Pencitraan sudah tidak diperlukan semasif waktu awal berkuasa dulu karena kepercayaan sudah didapatkan dari rakyat.
Ketiga, menyiapkan program jangka pendek dan jangka menengah yang memadai. Selama ini Presiden Jokowi sangat fokus dengan berbagai program jangka panjang terutama di sektor infrastruktur. Namun akhirnya seperti terlupa untuk berbagai program jangka pendek dan menengah.
Presiden Jokowi harus ingat, di saat membangun infrastruktur yang akan membawa kesejahteraan itu, bukan berarti lapar di perut masyarakat akan terhenti. Apalagi ekonomi dunia masih melambat dan tentunya adalah masyarakat lapisan ekonomi bawah yang hampir 70% konsumsinya habis untuk pangan.
Keempat, mendorong para bawahannya untuk tidak berperilaku "asal bapak senang (ABS)". Perilaku ini sangat berbahaya bagi pembangunan Indonesia. Misalnya bisa dilihat ketika Presiden Jokowi mencanangkan program pengetatan anggaran dengan memotong anggaran kementerian karena risiko defisit APBN, maka para menteri seperti berlomba untuk memotong yang paling besar. Logika ini bisa berbahaya karena kadang para menteri karena ingin membuat Presiden senang akhirnya melakukan langkah drastis yang kontraproduktif berlomba memotong anggaran.
Rakyat menanti tontonan kesuksesan pembangunan, untuk tontonan politik cukupkanlah lima tahun sekali saja saat pemilu.
(poe)