Eks Penasihat KPK: Pemerintah Kehilangan Kepercayaan Masyarakat
A
A
A
PENEGAKAN hukum menjadi salah satu penilaian kinerja kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang berusia dua tahun. Bahkan, sikap penguasa ikut menentukan baik buruknya penegakan hukum di negeri ini.
Sejauh mana keberpihakan kepemimpinan Jokowi-JK terhadap penegakan hukum di Indonesia. Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua memiliki pandangan sendiri yang disampaikan kepada SINDOnews, Kamis 20 Oktober 2016.
Penegakan hukum sudah efektif atau masih tebang pilih?
Jujur, penegakan hukum belum berjalan efektif. Buktinya, kasus narkoba, pelecehan seks, pungli, korupsi, dan tindak kriminal lain masih berjalan. Bahkan, operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK masih terjadi.
Hal ini menunjukkan, penangkapan dan pemenjaraan koruptor dan pelaku tindak padana umum lainnya belum menimbulkan efek jera di masyarakat. Penyebabnya, ada tiga hal. Pertama, hukuman bagi koruptor terlalu ringan. Sudah waktunya diberlakukan hukuman mati bagi koruptor seperti yang dilakukan terhadap bandar dan pengedar narkoba (kelas kakap).
Kedua, layanan di penjara terhadap narapidana, tidak ada bedanya ketika mereka berada di rumah sendiri. Mereka leluasa ber-HP (handphone), BBM (BlackBerry Messenger), WA (Whatsapp), dan nonton TV.
Bahkan terkadang keluar penjara tanpa pengawalan. Mungkin perlu dipikirkan, setiap napi di Jabodetabek ditempatkan di salah satu pulau di Kepulauan Seribu tanpa dilengkapi alat komunikasi.
Mereka tidak boleh dibesuk siapa pun dalam kurun waktu enam bulan pertama. Cara lain, tiga atau enam bulan pertama (sesuai dengan putusan hakim), napi dengan mengenakan pakaian seragam bertuliskan Saya Koruptor setiap pagi membersihkan got sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman, dari Blok M sampai di Kota.
Setelah tiga atau enam bulan (sesuai dengan putusan hakim), napi dimasukan ke kebun kelapa sawit atau kebun karet di Kalimantan atau Sumatera, melakukan kerja sosial di sana. Mereka bekerja sebagai buruh kasar dengan mendapatkan upah harian.
Separuh upahnya digunakan untuk biaya makan dan keperluan pribadi dan sebagian lagi untuk melunasi utang kerugian negara yang dikorupsi. Setelah sekian tahun sudah ada perubahan perilaku secara signifikan dan kerugian keuangan negara sudah dilunasi, napi dapat kembali ke alam bebas.
Dalam konteks hukuman jenis ini, seorang napi tidak perlu dipenjara. Artinya, hukuman bagi koruptor hanya dua: (1) Ditembak mati (jika jumlah kerugian keuangan negara karena perbuatannya senilai sama dengan harga narkoba yang dilakukan bandar atau pengedar yang terkena ancaman hukuman mati).
(2) Jika jumlah kerugian keuangan negara yang dilakukan seorang tersangka/terdakwa, tidak terkena ancaman hukuman mati, maka hukumannya berupa kerja sosial (setelah disita seluruh kekayaannya), yakni: membersihkan got di kota-kota besar, kemudian dimasukan ke perkebunan kelapa sawit atau kebun karet.
Dalam konsep ini, pemerintah dan negara tidak perlu membangun dan memiliki penjara. Sebab, belakangan ini, penjara lebih berfungsi sebagai markas narkoba, teroris, pelecehan seks, dan pusat pemerasan.
Pemerintah, dalam hal ini, kepolisian dan kejaksaan, cukup membangun rumah tahanan sebagai tempat penampungan sementara selama proses penyidikan dan pengadilan berlangsung. Jelas, dari fenomena yang ada, penegakan hukum, masih tebang pilih.
Ada opini atau rumor di masyarakat, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), rekening gendut, lumpur Lapindo, reklamasi pulau-pulau di Tanjung Priok dan kasus RS Sumber Waras, menunjukkan aroma tak sedap. Jika penegak hukum tidak bertindak cepat, transparan, dan tanpa pandang buluh, dikhawatirkan, masyarakat akan beropini, penegak hukum bermain mata dengan para pihak yang diduga ada hubungannya dengan kelompok corruption grand designer.
Bagaimana sikap pemerintah untuk mengubah ini?
Pemerintah sukar diharapkan sepenuhnya dalam konteks ini, karena mereka telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Jadi yang harus bergerak aktif adalah civil society, bekerja sama dengan individu penegak hukum, legislator, dan hakim (yang masih memiliki integritas) untuk mengambil langkah-langkah berikut:
a. Mendorong presiden menerbitkan Perppu sebagai penjabaran dari Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/99 jo UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Perppu tersebut menetapkan hukuman mati bagi koruptor yang merugikan keuangan Negara yang jumlahnya sama dengan harga narkoba yang diedarkan bandar atau pengedar kelas kakap yang diancam dengan hukuman mati.
Perppu juga mengandung ketentuan yang menetapkan, KPK tetap memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK memiliki kewenangan penyadapan, dan KPK memiliki kewenangan merekrut sendiri penyelidik, penyidik, dan jaksa penuntut umum.
b. Pemilihan seluruh komisioner lembaga negara serta Kapolri dan Kejagung, tidak melalui fit and proper test di DPR, tetapi cukup di pansel. Dalam konteks ini, anggota pansel diajukan oleh seluruh komponen bangsa di mana pengusung (individu atau lembaga) tidak pernah terlibat korupsi selama ini.
Calon anggota pansel yang diajukan adalah individu-individu yang beda tipis kualitasnya dengan malaikat. Mereka inilah yang diangkat presiden untuk menjadi anggota pansel yang bertugas memilih komisioner lembaga negara, Kapolri, dan Kejagung.
c. Mendorong presiden segera menerbitkan PP atau Perppres Pendidikan Antikorupsi yang diterapkan, mulai dari SD sampai universitas. Dalam konteks ini, presiden, mendikbud, dan menristek serta PT merujuk modul pendidikan antikorupsi yang sudah disampaikan ke mendikbud oleh KPK sejak tahun 2007 lalu.
d. Mendorong penguatan KPK dengan cara, pemerintah menyempurnakan PP No. 63/2005 tentang manajemen SDM KPK agar setiap pegawai KPK hanya memiliki monoloyalitas terhadap KPK, bukan kepada lembaga di mana dia berasal serta pegawai KPK hanya terdiri dari dua kategori. Pegawai tetap dan pegawai tidak tetap. Jadi PNS yang dipekerjakan di KPK berstatus pegawai tetap.
e. Mendorong proses penerimaan CPNS, lebih-lebih anggota Polri dan Kejaksaan agar mengikuti sistem seleksi pegawai di KPK.
Dua tahun ini sudah terlihat adanya penguatan tiga lembaga hukum?
Hahaha... kayaknya masih jauh. Penempatan orang partai politik sebagai Jaksa Agung menjadikan lembaga itu ditarik ke sana ke mari oleh kepentingan politik. Kasus Gubernur Sumatera Utara mengindikasikan adanya aroma tak sedap.
Selain itu, dengan arahan presiden agar kepolisian dan kejaksaan tidak menangani kasus-kasus korupsi yang disebabkan kebijakan atau diskresi, secara tidak langsung, presiden telah membatasi independensi kedua lembaga penegak hukum tersebut. Sebab, pengalaman saya selama delapan tahun lebih di KPK, banyak pejabat yang ditangkap justru karena diskresi yang diambil seorang pejabat publik.
Contohnya besan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), mantan deputi BI (Bank Indonesia) ditangkap KPK karena kebijakan yang diambil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Artinya, diskresi yang dibenarkan adalah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Sedangkan diskresi atau kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetap harus dipidana. Apalagi ketentuan UU, pengembalian kerugian keuangan negara, tidak menggugurkan tuntutan pidana.
Tragisnya, kebijakan pemerintah yang mengontrol kewenangan penyadapan KPK menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Apalagi, Penasihat KPK akan diganti dengan Dewan Pengawas di mana anggota Dewan Pengawas ditunjuk oleh presiden.
Rencana ini menunjukkan keserakahan pemerintah yang mengulangi pola Orde Lama yang dikenal dengan demokrasi terpimpin. Artinya, Indonesia adalah negara demokratis, tetapi demokrasi yang dikembangkan di bawah kendali dan mengikuti selera presiden.
Analogi itu, jika yang disadap adalah kalangan Istana, maka KPK harus mendapatkan restu terlebih dahulu dari presiden melalui agennya yang ada di KPK, yakni Badan Pengawas. Bagaimana kalau presiden sendiri yang disadap? Demikian pula dengan penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Perkara).
Kalau tersangkanya kalangan Istana, maka Dewan Pengawas akan mengusulkan penerbitan SP3. Tetapi sebaliknya, kalau tersangka adalah musuh politik Istana, maka Badan Pengawas tidak mengusulkan diterbitkannya SP3.
Tiga lembaga penegak hukum yang ada sudah efektif memberantas korupsi?
Dengan kasus cicak-buaya jilid tiga pada masa Pemerintahan Jokowi menunjukkan pemberantasan korupsi kurang efektif. Dinonaktifkan dua Komisioner Utama KPK, roda kehidupan KPK terseok-seok.
Apalagi, ketika penunjukkan Tim Pansel Pimpinan KPK, Jokowi sama sekali tidak menunjukkan penghargaannya kepada tiga lembaga penegak hukum yang ada. Sebab, dari sembilan anggota Pansel, tidak satu pun dari unsur penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, apalagi KPK.
Belajar dari Cicak vs Buaya, apakah sinergitas ketiga lembaga penegak hukum lebih baik?
Pada era Jokowi, Mabes Polri menangkap penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang justru membuka bopeng penegakan hukum oleh kepolisian sendiri. Sebab, mereka menetapkan Novel sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan penganiayaan yang menyebabkan hillangnya nyawa orang yang berarti termasuk kategori pidana berat.
Tapi Novel dan kawan-kawannya tidak ditindak secara pidana, justru hanya diberikan hukuman disiplin. Anehnya, Novel direkomendasi pula untuk menjadi penyidik KPK, sesuatu yang bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai luhur yang ditanamkan almarhum Jenderal Hoegeng.
Artinya, kalau benar, Novel terlibat kejahatan penganiayaan berat, bagaimana bisa beliau direkomendasikan mengikuti seleksi pegawai KPK? Setelah hiruk pikuk berbagai pihak, kasus Novel dihentikan proses hukumnya. Tetapi, Novel dan lembaga KPK digiring agar Novel berhenti dari KPK dengan janji akan ditempatkan di salah satu BUMN.
Sinergitas di antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan pada periode sebelumnya, ada kegiatan korupsi bersama di daerah yang melibatkan pegawai di antara ketiga lembaga ini. Ada pula penegak hukum di daerah yang merasa buntu menangani satu kasus, diserahkan penanganannya ke KPK.
Sebaliknya, ada kasus yang tidak terlalu signifikan sesuai kriteria KPK big fish diserahkan penanganannya ke kepolisian. Kegiatan OTT yang terakhir terhadap bupati di Jateng menunjukkan belum ada sinergitas di antara ketiga lembaga penegak hukum. Idealnya, kasus itu diserahkan ke kepolisian dan KPK fokus pada korupsi yang memenuhi kriteria big fish tersebut.
Bagaimana performa KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo?
Jujur, Komisioner KPK edisi ini, yang paling sedikit memperoleh apresiasi dan kepercayaan masyarakat. Mungkin, salah satu sebabnya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pansel dan tidak fair-nya DPR tidak memilih seorang pun calon dari KPK. Padahal, dari 10 calon yang mengikuti fit and proper test di Komisi III, tiga orang berasal dari internal KPK.
Saya mengenal Pak Agus Raharjo ketika beliau menjabat Ketua LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Kami sering bersama ke daerah melakukan sosialisasi tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah secara online.
Maka itu, saya punya harapan beliau dapat membongkar kasus-kasus pengadaan barang dan jasa yang nilainya triliunan rupiah. Sebab, pada periode Jokowi, banyak proyek raksasa yang menelan triliunan rupiah untuk setiap proyek.
Baik proyek tol laut, tol darat, dan proyek mega lainnya. Maknanya, periode pemerintahan Jokowi sangat kondusif bagi terjadinya korupsi. Apalagi, setiap tahun, 35% APBN adalah untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah secara nasional.
Sayangnya, belum kelihatan gereget beliau (Agus Raharjo) atas proyek raksasa yang ada, termasuk proyek reklamasi Tanjung Priok. Mungkin faktor lingkungan di internal komisioner yang kurang mendukung.
Sebenarnya, KPK didesain by system, bukan by person. Sebab, siapa saja yang diduga terlibat korupsi, sesuai Standart Operating Prosedure (SOP) yang ada, cepat atau lambat akan ditangkap KPK.
Apalagi operasional di KPK, bukan komisioner, tetapi di peringkat direktorat. Apakah sudah mulai ada penyimpangan SOP dan kode etik di kalangan pegawai, khususnya bidang penindakan karena banyaknya orang baru di KPK? Semua pihak bertanggung jawab untuk mengawasi sepak terjang KPK agar tetap berada di atas relnya sebagai penegak hukum yang berintegritas dan professional.
Pada waktu bersamaan, kita imbau kawan-kawan di pengawasan internal KPK segera menampilkan jati diri kembali sebagai garda terdepan dalam mengawal integritas dan profesionalisme lembaga dan insan KPK.
Ada pandangan KPK sekarang kurang gereget dalam BLBI dan Century?
Dalam penegakan hukum, kita tidak bicara masalah gereget atau tidak. Kita hanya bicara tentang fakta dan data yang menurut KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)disebut sebagai alat bukti.
Dalam konteks kasus BLBI (kasus pokoknya), secara yuridis formal tidak masuk dalam domain KPK. Kasus itu merupakan tanggung jawab kepolisian dan kejaksaan. Sebab, kasus BLBI terjadi pada masa Orde Baru di mana UU Tipikor yang sekarang belum lahir dan KPK pun belum ada.
Sementara itu, Indonesia mengandung asas hukum tidak berlaku surut. Tetapi kalau proses pelepasan tanggung jawab para pengusaha yang menerima kucuran dana BLBI pada masa pemerintahan Orde Reformasi, KPK ikut nimbrung.
Artinya, KPK boleh mengkaji, mengobservasi dan meneliti, apakah ada penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan kesempatan oleh pejabat terkait dalam pelepasan tanggung jawab penerima dana BLBI tersebut.
Sedangkan mengenai kasus Bank Century, secara teoritis sukar dilanjutkan. Sebab, saksi kunci dalam kasus ini sudah meninggal dunia. Kecuali, ada mantan anak buah SBY yang sadar dan tobat nasuha dan datang mengaku di KPK, mungkin kasus ini dapat dilanjutkan kembali oleh KPK.
Kinerja Polri sendiri di bawah Tito Karnavian dan Kejagung di bawah HM Prasetyo?
Jenderal Tito Karnavian orang muda yang penuh idealisme dan energi, tetapi proses penegakan hukum bukan kerja seorang pimpinan atau satu lembaga saja, tetapi merupakan kerja gotong royong semua pihak terkait. Karena itu, Tito Karnavian harus mulai dari internal kepolisian.
Jika memungkinkan, Tito Karnavian meminta KPK menyupervisi kasus rekening gendut sehingga tidak ada istilah dalam masyarakat, jeruk makan jeruk. Jika hal itu dapat dilakukan Tito Karnavian, kepolisian secara kelembagaan dan diri pribadinya akan memeroleh apresiasi masyarakat.
Program online yang sudah berjalan di beberapa tempat, khususnya berkaitan pengurusan SIM, hendaknya dinasionalkan operasinya. Sesudah itu, operasi yang sama dilakukan ke item yang lain, seperti pengurusan STNK dan BPKB.
Berkaitan Prasetyo, seperti sudah saya sebutkan sebelumnya, disebabkan beliau berasal dari unsur parpol, sementara kasus-kasus hukum kebelakangan ini banyak melibatkan anggota parpol. Maka persepsi miring dari masyarakat, tetap ada.
Saya belum melihat gebrakan yang menarik perhatian masyarakat yang dilakukan Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan sekarang, khususnya dalam penanganan kasus korupsi. Ada baiknya, untuk membersihkan nama baik pribadi dan lembaga, Jaksa Agung menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan parpol.
Gerakan revolusi mental Jokowi sudah berdampak terhadap perbuatan korupsi?
Sudah memasuki usia dua tahun kepemimpinannya, jangankan masyarakat, di kalangan pejabat pun banyak yang belum tahu revolusi mental itu binatang apa. Berbeda dengan PMP (Pendidikan Moral Pancasila) pada era Soeharto, ada materi terurai dan materi ajarnya yang diajarkan di SD sampai SMA.
Ada pula penataran P4, lengkap dengan manggala dan paket-paket penatarannya. Meskipun para manggala itu sebagian besarnya terlibat korupsi, tapi setidaknya, P4 dan PMP ada wajah, struktur badan dan ciri khas makhluk apa dia. Sedangkan revolusi mental hanya jargon dalam kegemaran melancarkan pencitraan di pentas politik praktis.
Disebabkan ketidakjelasan makhluk apa revolusi mental itu. Maka masyarakat menduga-duga apakah revolusi mental itu, konsep komunis, kejawen atau religi? Jadi tidak heran, kalau Jokowi kampanyekan revolusi mental tetapi kawan separtai dan pejabat pada umumnya masih melakukan korupsi.
Di sini kelihatan inkonsistensi pemikiran dan perilaku Jokowi. Beliau mengampanyekan revolusi mental, tetapi melindungi aparatnya dari diciduk penegak hukum dengan dalih diskresi atau kebijakan supaya tidak dipidana oleh kepolisian dan kejaksaan.
Pernyataan yang paling lucu dari Jokowi, perintah langsung memecat PNS yang melakukan pungli menunjukkan kekurangakraban beliau dengan sistem hukum di Indonesia.
Sejauh mana keberpihakan kepemimpinan Jokowi-JK terhadap penegakan hukum di Indonesia. Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua memiliki pandangan sendiri yang disampaikan kepada SINDOnews, Kamis 20 Oktober 2016.
Penegakan hukum sudah efektif atau masih tebang pilih?
Jujur, penegakan hukum belum berjalan efektif. Buktinya, kasus narkoba, pelecehan seks, pungli, korupsi, dan tindak kriminal lain masih berjalan. Bahkan, operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK masih terjadi.
Hal ini menunjukkan, penangkapan dan pemenjaraan koruptor dan pelaku tindak padana umum lainnya belum menimbulkan efek jera di masyarakat. Penyebabnya, ada tiga hal. Pertama, hukuman bagi koruptor terlalu ringan. Sudah waktunya diberlakukan hukuman mati bagi koruptor seperti yang dilakukan terhadap bandar dan pengedar narkoba (kelas kakap).
Kedua, layanan di penjara terhadap narapidana, tidak ada bedanya ketika mereka berada di rumah sendiri. Mereka leluasa ber-HP (handphone), BBM (BlackBerry Messenger), WA (Whatsapp), dan nonton TV.
Bahkan terkadang keluar penjara tanpa pengawalan. Mungkin perlu dipikirkan, setiap napi di Jabodetabek ditempatkan di salah satu pulau di Kepulauan Seribu tanpa dilengkapi alat komunikasi.
Mereka tidak boleh dibesuk siapa pun dalam kurun waktu enam bulan pertama. Cara lain, tiga atau enam bulan pertama (sesuai dengan putusan hakim), napi dengan mengenakan pakaian seragam bertuliskan Saya Koruptor setiap pagi membersihkan got sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman, dari Blok M sampai di Kota.
Setelah tiga atau enam bulan (sesuai dengan putusan hakim), napi dimasukan ke kebun kelapa sawit atau kebun karet di Kalimantan atau Sumatera, melakukan kerja sosial di sana. Mereka bekerja sebagai buruh kasar dengan mendapatkan upah harian.
Separuh upahnya digunakan untuk biaya makan dan keperluan pribadi dan sebagian lagi untuk melunasi utang kerugian negara yang dikorupsi. Setelah sekian tahun sudah ada perubahan perilaku secara signifikan dan kerugian keuangan negara sudah dilunasi, napi dapat kembali ke alam bebas.
Dalam konteks hukuman jenis ini, seorang napi tidak perlu dipenjara. Artinya, hukuman bagi koruptor hanya dua: (1) Ditembak mati (jika jumlah kerugian keuangan negara karena perbuatannya senilai sama dengan harga narkoba yang dilakukan bandar atau pengedar yang terkena ancaman hukuman mati).
(2) Jika jumlah kerugian keuangan negara yang dilakukan seorang tersangka/terdakwa, tidak terkena ancaman hukuman mati, maka hukumannya berupa kerja sosial (setelah disita seluruh kekayaannya), yakni: membersihkan got di kota-kota besar, kemudian dimasukan ke perkebunan kelapa sawit atau kebun karet.
Dalam konsep ini, pemerintah dan negara tidak perlu membangun dan memiliki penjara. Sebab, belakangan ini, penjara lebih berfungsi sebagai markas narkoba, teroris, pelecehan seks, dan pusat pemerasan.
Pemerintah, dalam hal ini, kepolisian dan kejaksaan, cukup membangun rumah tahanan sebagai tempat penampungan sementara selama proses penyidikan dan pengadilan berlangsung. Jelas, dari fenomena yang ada, penegakan hukum, masih tebang pilih.
Ada opini atau rumor di masyarakat, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), rekening gendut, lumpur Lapindo, reklamasi pulau-pulau di Tanjung Priok dan kasus RS Sumber Waras, menunjukkan aroma tak sedap. Jika penegak hukum tidak bertindak cepat, transparan, dan tanpa pandang buluh, dikhawatirkan, masyarakat akan beropini, penegak hukum bermain mata dengan para pihak yang diduga ada hubungannya dengan kelompok corruption grand designer.
Bagaimana sikap pemerintah untuk mengubah ini?
Pemerintah sukar diharapkan sepenuhnya dalam konteks ini, karena mereka telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Jadi yang harus bergerak aktif adalah civil society, bekerja sama dengan individu penegak hukum, legislator, dan hakim (yang masih memiliki integritas) untuk mengambil langkah-langkah berikut:
a. Mendorong presiden menerbitkan Perppu sebagai penjabaran dari Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/99 jo UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Perppu tersebut menetapkan hukuman mati bagi koruptor yang merugikan keuangan Negara yang jumlahnya sama dengan harga narkoba yang diedarkan bandar atau pengedar kelas kakap yang diancam dengan hukuman mati.
Perppu juga mengandung ketentuan yang menetapkan, KPK tetap memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK memiliki kewenangan penyadapan, dan KPK memiliki kewenangan merekrut sendiri penyelidik, penyidik, dan jaksa penuntut umum.
b. Pemilihan seluruh komisioner lembaga negara serta Kapolri dan Kejagung, tidak melalui fit and proper test di DPR, tetapi cukup di pansel. Dalam konteks ini, anggota pansel diajukan oleh seluruh komponen bangsa di mana pengusung (individu atau lembaga) tidak pernah terlibat korupsi selama ini.
Calon anggota pansel yang diajukan adalah individu-individu yang beda tipis kualitasnya dengan malaikat. Mereka inilah yang diangkat presiden untuk menjadi anggota pansel yang bertugas memilih komisioner lembaga negara, Kapolri, dan Kejagung.
c. Mendorong presiden segera menerbitkan PP atau Perppres Pendidikan Antikorupsi yang diterapkan, mulai dari SD sampai universitas. Dalam konteks ini, presiden, mendikbud, dan menristek serta PT merujuk modul pendidikan antikorupsi yang sudah disampaikan ke mendikbud oleh KPK sejak tahun 2007 lalu.
d. Mendorong penguatan KPK dengan cara, pemerintah menyempurnakan PP No. 63/2005 tentang manajemen SDM KPK agar setiap pegawai KPK hanya memiliki monoloyalitas terhadap KPK, bukan kepada lembaga di mana dia berasal serta pegawai KPK hanya terdiri dari dua kategori. Pegawai tetap dan pegawai tidak tetap. Jadi PNS yang dipekerjakan di KPK berstatus pegawai tetap.
e. Mendorong proses penerimaan CPNS, lebih-lebih anggota Polri dan Kejaksaan agar mengikuti sistem seleksi pegawai di KPK.
Dua tahun ini sudah terlihat adanya penguatan tiga lembaga hukum?
Hahaha... kayaknya masih jauh. Penempatan orang partai politik sebagai Jaksa Agung menjadikan lembaga itu ditarik ke sana ke mari oleh kepentingan politik. Kasus Gubernur Sumatera Utara mengindikasikan adanya aroma tak sedap.
Selain itu, dengan arahan presiden agar kepolisian dan kejaksaan tidak menangani kasus-kasus korupsi yang disebabkan kebijakan atau diskresi, secara tidak langsung, presiden telah membatasi independensi kedua lembaga penegak hukum tersebut. Sebab, pengalaman saya selama delapan tahun lebih di KPK, banyak pejabat yang ditangkap justru karena diskresi yang diambil seorang pejabat publik.
Contohnya besan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), mantan deputi BI (Bank Indonesia) ditangkap KPK karena kebijakan yang diambil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Artinya, diskresi yang dibenarkan adalah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Sedangkan diskresi atau kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetap harus dipidana. Apalagi ketentuan UU, pengembalian kerugian keuangan negara, tidak menggugurkan tuntutan pidana.
Tragisnya, kebijakan pemerintah yang mengontrol kewenangan penyadapan KPK menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Apalagi, Penasihat KPK akan diganti dengan Dewan Pengawas di mana anggota Dewan Pengawas ditunjuk oleh presiden.
Rencana ini menunjukkan keserakahan pemerintah yang mengulangi pola Orde Lama yang dikenal dengan demokrasi terpimpin. Artinya, Indonesia adalah negara demokratis, tetapi demokrasi yang dikembangkan di bawah kendali dan mengikuti selera presiden.
Analogi itu, jika yang disadap adalah kalangan Istana, maka KPK harus mendapatkan restu terlebih dahulu dari presiden melalui agennya yang ada di KPK, yakni Badan Pengawas. Bagaimana kalau presiden sendiri yang disadap? Demikian pula dengan penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Perkara).
Kalau tersangkanya kalangan Istana, maka Dewan Pengawas akan mengusulkan penerbitan SP3. Tetapi sebaliknya, kalau tersangka adalah musuh politik Istana, maka Badan Pengawas tidak mengusulkan diterbitkannya SP3.
Tiga lembaga penegak hukum yang ada sudah efektif memberantas korupsi?
Dengan kasus cicak-buaya jilid tiga pada masa Pemerintahan Jokowi menunjukkan pemberantasan korupsi kurang efektif. Dinonaktifkan dua Komisioner Utama KPK, roda kehidupan KPK terseok-seok.
Apalagi, ketika penunjukkan Tim Pansel Pimpinan KPK, Jokowi sama sekali tidak menunjukkan penghargaannya kepada tiga lembaga penegak hukum yang ada. Sebab, dari sembilan anggota Pansel, tidak satu pun dari unsur penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, apalagi KPK.
Belajar dari Cicak vs Buaya, apakah sinergitas ketiga lembaga penegak hukum lebih baik?
Pada era Jokowi, Mabes Polri menangkap penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang justru membuka bopeng penegakan hukum oleh kepolisian sendiri. Sebab, mereka menetapkan Novel sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan penganiayaan yang menyebabkan hillangnya nyawa orang yang berarti termasuk kategori pidana berat.
Tapi Novel dan kawan-kawannya tidak ditindak secara pidana, justru hanya diberikan hukuman disiplin. Anehnya, Novel direkomendasi pula untuk menjadi penyidik KPK, sesuatu yang bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai luhur yang ditanamkan almarhum Jenderal Hoegeng.
Artinya, kalau benar, Novel terlibat kejahatan penganiayaan berat, bagaimana bisa beliau direkomendasikan mengikuti seleksi pegawai KPK? Setelah hiruk pikuk berbagai pihak, kasus Novel dihentikan proses hukumnya. Tetapi, Novel dan lembaga KPK digiring agar Novel berhenti dari KPK dengan janji akan ditempatkan di salah satu BUMN.
Sinergitas di antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan pada periode sebelumnya, ada kegiatan korupsi bersama di daerah yang melibatkan pegawai di antara ketiga lembaga ini. Ada pula penegak hukum di daerah yang merasa buntu menangani satu kasus, diserahkan penanganannya ke KPK.
Sebaliknya, ada kasus yang tidak terlalu signifikan sesuai kriteria KPK big fish diserahkan penanganannya ke kepolisian. Kegiatan OTT yang terakhir terhadap bupati di Jateng menunjukkan belum ada sinergitas di antara ketiga lembaga penegak hukum. Idealnya, kasus itu diserahkan ke kepolisian dan KPK fokus pada korupsi yang memenuhi kriteria big fish tersebut.
Bagaimana performa KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo?
Jujur, Komisioner KPK edisi ini, yang paling sedikit memperoleh apresiasi dan kepercayaan masyarakat. Mungkin, salah satu sebabnya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pansel dan tidak fair-nya DPR tidak memilih seorang pun calon dari KPK. Padahal, dari 10 calon yang mengikuti fit and proper test di Komisi III, tiga orang berasal dari internal KPK.
Saya mengenal Pak Agus Raharjo ketika beliau menjabat Ketua LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Kami sering bersama ke daerah melakukan sosialisasi tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah secara online.
Maka itu, saya punya harapan beliau dapat membongkar kasus-kasus pengadaan barang dan jasa yang nilainya triliunan rupiah. Sebab, pada periode Jokowi, banyak proyek raksasa yang menelan triliunan rupiah untuk setiap proyek.
Baik proyek tol laut, tol darat, dan proyek mega lainnya. Maknanya, periode pemerintahan Jokowi sangat kondusif bagi terjadinya korupsi. Apalagi, setiap tahun, 35% APBN adalah untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah secara nasional.
Sayangnya, belum kelihatan gereget beliau (Agus Raharjo) atas proyek raksasa yang ada, termasuk proyek reklamasi Tanjung Priok. Mungkin faktor lingkungan di internal komisioner yang kurang mendukung.
Sebenarnya, KPK didesain by system, bukan by person. Sebab, siapa saja yang diduga terlibat korupsi, sesuai Standart Operating Prosedure (SOP) yang ada, cepat atau lambat akan ditangkap KPK.
Apalagi operasional di KPK, bukan komisioner, tetapi di peringkat direktorat. Apakah sudah mulai ada penyimpangan SOP dan kode etik di kalangan pegawai, khususnya bidang penindakan karena banyaknya orang baru di KPK? Semua pihak bertanggung jawab untuk mengawasi sepak terjang KPK agar tetap berada di atas relnya sebagai penegak hukum yang berintegritas dan professional.
Pada waktu bersamaan, kita imbau kawan-kawan di pengawasan internal KPK segera menampilkan jati diri kembali sebagai garda terdepan dalam mengawal integritas dan profesionalisme lembaga dan insan KPK.
Ada pandangan KPK sekarang kurang gereget dalam BLBI dan Century?
Dalam penegakan hukum, kita tidak bicara masalah gereget atau tidak. Kita hanya bicara tentang fakta dan data yang menurut KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)disebut sebagai alat bukti.
Dalam konteks kasus BLBI (kasus pokoknya), secara yuridis formal tidak masuk dalam domain KPK. Kasus itu merupakan tanggung jawab kepolisian dan kejaksaan. Sebab, kasus BLBI terjadi pada masa Orde Baru di mana UU Tipikor yang sekarang belum lahir dan KPK pun belum ada.
Sementara itu, Indonesia mengandung asas hukum tidak berlaku surut. Tetapi kalau proses pelepasan tanggung jawab para pengusaha yang menerima kucuran dana BLBI pada masa pemerintahan Orde Reformasi, KPK ikut nimbrung.
Artinya, KPK boleh mengkaji, mengobservasi dan meneliti, apakah ada penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan kesempatan oleh pejabat terkait dalam pelepasan tanggung jawab penerima dana BLBI tersebut.
Sedangkan mengenai kasus Bank Century, secara teoritis sukar dilanjutkan. Sebab, saksi kunci dalam kasus ini sudah meninggal dunia. Kecuali, ada mantan anak buah SBY yang sadar dan tobat nasuha dan datang mengaku di KPK, mungkin kasus ini dapat dilanjutkan kembali oleh KPK.
Kinerja Polri sendiri di bawah Tito Karnavian dan Kejagung di bawah HM Prasetyo?
Jenderal Tito Karnavian orang muda yang penuh idealisme dan energi, tetapi proses penegakan hukum bukan kerja seorang pimpinan atau satu lembaga saja, tetapi merupakan kerja gotong royong semua pihak terkait. Karena itu, Tito Karnavian harus mulai dari internal kepolisian.
Jika memungkinkan, Tito Karnavian meminta KPK menyupervisi kasus rekening gendut sehingga tidak ada istilah dalam masyarakat, jeruk makan jeruk. Jika hal itu dapat dilakukan Tito Karnavian, kepolisian secara kelembagaan dan diri pribadinya akan memeroleh apresiasi masyarakat.
Program online yang sudah berjalan di beberapa tempat, khususnya berkaitan pengurusan SIM, hendaknya dinasionalkan operasinya. Sesudah itu, operasi yang sama dilakukan ke item yang lain, seperti pengurusan STNK dan BPKB.
Berkaitan Prasetyo, seperti sudah saya sebutkan sebelumnya, disebabkan beliau berasal dari unsur parpol, sementara kasus-kasus hukum kebelakangan ini banyak melibatkan anggota parpol. Maka persepsi miring dari masyarakat, tetap ada.
Saya belum melihat gebrakan yang menarik perhatian masyarakat yang dilakukan Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan sekarang, khususnya dalam penanganan kasus korupsi. Ada baiknya, untuk membersihkan nama baik pribadi dan lembaga, Jaksa Agung menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan parpol.
Gerakan revolusi mental Jokowi sudah berdampak terhadap perbuatan korupsi?
Sudah memasuki usia dua tahun kepemimpinannya, jangankan masyarakat, di kalangan pejabat pun banyak yang belum tahu revolusi mental itu binatang apa. Berbeda dengan PMP (Pendidikan Moral Pancasila) pada era Soeharto, ada materi terurai dan materi ajarnya yang diajarkan di SD sampai SMA.
Ada pula penataran P4, lengkap dengan manggala dan paket-paket penatarannya. Meskipun para manggala itu sebagian besarnya terlibat korupsi, tapi setidaknya, P4 dan PMP ada wajah, struktur badan dan ciri khas makhluk apa dia. Sedangkan revolusi mental hanya jargon dalam kegemaran melancarkan pencitraan di pentas politik praktis.
Disebabkan ketidakjelasan makhluk apa revolusi mental itu. Maka masyarakat menduga-duga apakah revolusi mental itu, konsep komunis, kejawen atau religi? Jadi tidak heran, kalau Jokowi kampanyekan revolusi mental tetapi kawan separtai dan pejabat pada umumnya masih melakukan korupsi.
Di sini kelihatan inkonsistensi pemikiran dan perilaku Jokowi. Beliau mengampanyekan revolusi mental, tetapi melindungi aparatnya dari diciduk penegak hukum dengan dalih diskresi atau kebijakan supaya tidak dipidana oleh kepolisian dan kejaksaan.
Pernyataan yang paling lucu dari Jokowi, perintah langsung memecat PNS yang melakukan pungli menunjukkan kekurangakraban beliau dengan sistem hukum di Indonesia.
(kur)