Pilkada DKI dan 100 Pilkada Lain

Senin, 17 Oktober 2016 - 07:43 WIB
Pilkada DKI dan 100 Pilkada Lain
Pilkada DKI dan 100 Pilkada Lain
A A A
KALAU ditanyakan ke publik di antero Indonesia, mungkin akan sangat sedikit yang akan menjawab dengan benar ketika diajukan pertanyaan mengenai ada berapa pilkada yang akan digelar secara serentak pada 15 Februari 2017 nanti. Di awal tahun depan ini kita akan menghadapi 101 pilkada, yaitu di 7 provinsi, 18 kota madya, serta 76 kabupaten.

Namun—sekalipun belum ada survei resmi—kalau ditanyakan perihal pengetahuan mengenai Pilkada DKI Jakarta 2017, mayoritas publik sepertinya akan menjawab tahu. Bahkan bukan tidak mungkin publik akan tahu persis ketiga pasangan calon, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, serta Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Memang pilkada di ibu kota republik ini sedemikian membetot perhatian publik.

Tentunya perhatian yang tinggi terhadap pilkada adalah hal yang kita harapkan dalam iklim demokrasi perwakilan ini. Partisipasi politik masyarakat baik pada saat pencalonan, kampanye maupun pencoblosan pada pilkada adalah salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan demokrasi kita. Apa pun pilihan politik yang diambil, partisipasi yang tinggi dengan disertai pilihan rasional adalah suatu hal yang didambakan dalam demokrasi.

Namun idealnya perhatian tersebut ada pada pilkada di daerah masing-masing terlebih dahulu, baru menuju pilkada di daerah lain. Sayangnya saking menariknya pertarungan dalam Pilkada DKI, perhatian publik seperti tersedot habis untuk pilkada ini. Itulah yang membuat seolah-olah pada 2017 nanti ada 1 pilkada utama dan 100 pilkada lain yang bak pemeran figuran dalam perpolitikan dalam negeri.

Kalau kita analisis, ada beberapa hal yang berkontribusi terhadap sedemikian tingginya perhatian publik pada Pilkada DKI Jakarta dan seperti tidak menghiraukan 100 pilkada yang lain. Pertama, masyarakat menganggap Pilkada DKI Jakarta sedemikian penting, sementara 100 pilkada lain tidak begitu dianggap penting. Salah satu indikator yang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, bahkan warga Banten yang bersebelahan dengan Jakarta sangat tertarik untuk berbicara mengenai pertarungan antara Ahok-Djarot, Anies-Sandiaga, serta Agus-Sylvi daripada membicarakan pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief yang berhadapan dengan Wahidin Halim-Andhika Hazrumy.

Kedua, pertarungan yang disuguhkan dianggap tak sefenomenal di Jakarta. Bagi banyak orang, pertarungan di Jakarta seperti menjadi pertaruhan mengenai identitas dan ideologi politik. Kekalahan di Jakarta yang dianggap sebagai barometer republik ini dianggap akan merugikan dalam perjuangannya. Mulai dari ideologi paling kanan hingga paling kiri menggantungkan harapannya dalam Pilkada DKI Jakarta. Belum lagi politik identitas yang ikut mewarnai. Terlebih lagi para calon di Jakarta baik cagub maupun cawagub sama-sama fenomenal dengan segenap tim kampanyenya yang tak kalah atraktif. Atraksi politik yang mereka pertontonkan mampu membius publik.

Ketiga, Jakarta dianggap sebagai batu lompatan. Kesuksesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang seolah menjadikan posisi gubernur DKI Jakarta sebagai batu pijakan untuk melompat lebih tinggi ke kursi presiden akhirnya membuat publik menganggap gubernur DKI Jakarta hasil Pilkada 2017 adalah calon presiden atau wakil presiden.

Keempat, Jakarta adalah pusat kamera. Media massa besar umumnya berkantor pusat di Jakarta sehingga tak mengherankan bila yang disuguhkan di layar kaca, di radio, di layar komputer, serta di atas kertas media cetak adalah hal yang dekat dengan media massa. Ketika semua kamera media massa menyorot Pilkada DKI Jakarta, publik pun ikut menyorot ke arah yang sama.

Tentunya Komisi Pemilihan Umum Pusat/Daerah harus menyeriusi masalah ini. Sebanyak 100 pilkada selain di DKI Jakarta harus mendapatkan perhatian besar. Jika publik saja tidak memperhatikan pilkada di daerahnya, tidak mengenal calonnya tetapi malah lebih kenal calon dari Pilkada DKI Jakarta, pemimpin terbaik tak akan muncul. Sangat sayang jika kita tidak bisa mendapatkan pemimpin terbaik karena pemilih di 100 pilkada lain lebih serius mencari rekam jejak Ahok, Anies, Agus daripada mencari rekam jejak calon gubernur/wali kota/bupati mereka sendiri.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3107 seconds (0.1#10.140)