Tiga Poin Krusial Mengapa Revisi UU Pemilu Harus Dikritisi
A
A
A
JAKARTA - Setidaknya ada dua partai politik (Parpol) baru yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang telah memiliki badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagai Partai peserta Pemilu 2019.
Namun, keberadaan parpol baru tersebut berpotensi kehilangan hak kontitusinya jika pemerintah dalam draf Revisi Undang-undang (UU) Pemilu mencantumkan ambang batas yang 'melarang' parpol baru mengusung calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).
Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai, revisi UU Pemilu itu terkesan paradoks. Sebab putusan Mahkamah Kontitusi (MK) telah menetapkan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 dilaksanakan secara serentak.
"Oleh karena itu, parpol baru yang tak ikut Pileg 2014 diciderai hak konstitusionalnya," ujar Adi saat dihubungi Sindonews, Senin (10/10/2016).
Peneliti Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) UIN Jakarta ini menjelaskan, setidaknya ada sejumlah poin penting untuk mengkritisi revisi UU Pemilu tersebut. Pertama, tak diperbolehkannya parpol baru mengusung capres dan cawapres dipandang telah mengebiri hak-hak parpol pendatang baru karena 'dihambat secara paksa' melalui UU yang tak demokratis.
Kedua, sejatinya ketentuan ambang batas pemilihan presiden atau Presidential Threshold (PT) harus diminimalisir jika bukan dihapuskan, mengingat ada parpol baru yang baru lolos verifikasi Kemenkumham dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Bukan malah justru menyumbat aspirasi politik partai pendatang baru," ucapnya.
Dia berpandangan, terkesan penerapan PT revisi UU Pemilu hanya mengakomodir kepentingan parpol lama, terutama parpol yang memiliki suara dominan yang ingin memonopoli pencalonan presiden mendatang.
Menurut Adi, revisi UU Pemilu bukan hanya bagi parpol baru yang dirugikan hak kontitusinya, melainkan parpol menengah ke bawah, karena perolehan suaranya di Pileg 2014 tak signifikan. Alih-alih ingin memperkuat peran partai dalam iklim demokrasi, justru upaya revisi UU Pemilu ini akan menciptakan 'hukum besi' ketimpangan dalam koalisi pengusung presiden.
Ditambahkannya, parpol menengah ke bawah ini akan bertekuk lulut di bawah hegemoni parpol-parpol dominan. "Ketiga, jika upaya-upaya lobi mengubah ketentuan ini dead lock, tak ada cara lain bagi partai baru selain menggugat ketentuan ini ke MK. Jalur hukum merupakan solusi terakhirnya," pungkasnya.
Namun, keberadaan parpol baru tersebut berpotensi kehilangan hak kontitusinya jika pemerintah dalam draf Revisi Undang-undang (UU) Pemilu mencantumkan ambang batas yang 'melarang' parpol baru mengusung calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).
Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai, revisi UU Pemilu itu terkesan paradoks. Sebab putusan Mahkamah Kontitusi (MK) telah menetapkan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 dilaksanakan secara serentak.
"Oleh karena itu, parpol baru yang tak ikut Pileg 2014 diciderai hak konstitusionalnya," ujar Adi saat dihubungi Sindonews, Senin (10/10/2016).
Peneliti Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) UIN Jakarta ini menjelaskan, setidaknya ada sejumlah poin penting untuk mengkritisi revisi UU Pemilu tersebut. Pertama, tak diperbolehkannya parpol baru mengusung capres dan cawapres dipandang telah mengebiri hak-hak parpol pendatang baru karena 'dihambat secara paksa' melalui UU yang tak demokratis.
Kedua, sejatinya ketentuan ambang batas pemilihan presiden atau Presidential Threshold (PT) harus diminimalisir jika bukan dihapuskan, mengingat ada parpol baru yang baru lolos verifikasi Kemenkumham dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Bukan malah justru menyumbat aspirasi politik partai pendatang baru," ucapnya.
Dia berpandangan, terkesan penerapan PT revisi UU Pemilu hanya mengakomodir kepentingan parpol lama, terutama parpol yang memiliki suara dominan yang ingin memonopoli pencalonan presiden mendatang.
Menurut Adi, revisi UU Pemilu bukan hanya bagi parpol baru yang dirugikan hak kontitusinya, melainkan parpol menengah ke bawah, karena perolehan suaranya di Pileg 2014 tak signifikan. Alih-alih ingin memperkuat peran partai dalam iklim demokrasi, justru upaya revisi UU Pemilu ini akan menciptakan 'hukum besi' ketimpangan dalam koalisi pengusung presiden.
Ditambahkannya, parpol menengah ke bawah ini akan bertekuk lulut di bawah hegemoni parpol-parpol dominan. "Ketiga, jika upaya-upaya lobi mengubah ketentuan ini dead lock, tak ada cara lain bagi partai baru selain menggugat ketentuan ini ke MK. Jalur hukum merupakan solusi terakhirnya," pungkasnya.
(kri)