Sri Warso Melukis Keresahan Zaman
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Inspirasi yang hadir dan mungkin mendesak-desak–jiwa Sri Warso beberapa tahun terakhir ini berhubungan dengan fenomena alam yang disebutnya rampogan. Dalam kesadaran kosmologis orang Jawa, rampogan sering dipahami sebagai gejala luar: sebuah peristiwa. Mungkin rampogan diidentikkan dengan ”huru-hara”, suatu kekacauan dalam tata kehidupan yang mengerikan, dan karena itu kita hindari.
Tapi, pelukis yang sensitif membaca gelagat alam dengan tajam ini memiliki penjelasan yang lebih dalam, lebih komprehensif. Dia menyebutkan bahwa rampogan merupakan fenomena alam raya, yang muncul ketika kehidupan suatu makhluk terganggu, terancam, dirongrong, dan ada serangan yang mengguncang harmoni jagat raya ini. Tapi, Sri Warso– saya memanggilnya Mas Sri– juga mengatakan bahwa rampogan bisa pula muncul karena suatu peristiwa sosial-budaya yang bisa merusak keseimbangan hidup. Dan, kita hidup dalam suatu zaman yang serbaresah.
Dengan penalaran seperti itu, kita bisa pula menyebut rampogan sebagai sebuah ”goro-goro”: udan barat salah mangsa, deres awor lesus pinda pinusus, gunung jugrug, tirtaning samodra mengambak-ambak yayah ngelem daratan... hujan beserta badai yang terjadi bukan pada musimnya, deras bagai angin topan, gunung-gunung longsor, air laut bergejolak bagai hendak menelan daratan. Kahyangan para dewa pun terguncang.
Kawah candradimuka mendidih dengan panas melebihi ukuran biasanya. Para bidadari kelabakan lari ke sana ke mari setengah telanjang karena panas tadi. Tapi, sang Hyang Wenang, dewanya para dewa, segera mengamankan kembali keadaan.
Dalam perspektif ini rampogan lebih mengerikan daripada sekadar sebuah huru-hara seperti ketika Jakarta dibuat menjadi lautan api pada Mei yang mengawali munculnya zaman baru: reformasi yang masih tetap membuat kita resah. Gejolak ini pula yang memberi Mas Sri suatu rangsangan kreatif. Dia merenung. Mengendapkan dengan proses hening yang diam. Menerjemahkan, dan kemudian mengolah rangsangan–bisa disebut pula inspirasi– tadi menjadi seonggok kreasi. Ini hasil daya cipta.
Inilah rampogan itu. Tapi, apa wujud rampogan ? Daya cipta Mas Sri atas makna rampogan rupanya tak pernah tunggal. Banyak variasi bisa diwujudkannya. Dan, yang banyak itu tak berarti representasi gagasan yang menghuni dunia dalamnya sudah selesai sebagaimana kita saksikan dalam karya-karyanya.
Zaman yang resah telah membuatnya turut resah secara intens. Resahnya seniman menghasilkan karya edipeni, bisa juga adiluhung. Dan, puaskah dia? Jika seniman itu Mas Sri, jawabnya belum–dunia dalamnya–ceruk yang mungkin gelap dan tak teraba oleh kemampuan imajinasi kita itu agaknya menyimpan banyak keresahan. Ketika zaman makin resah, dia ikut resah. Dan, melahirkan karya, yang mungkin bisa disebut ”terjemahan” keresahan zaman tadi.
Di sini Mas Sri menjadikan dirinya ”kamera” zaman. Boleh jadi pula dia mewakili kita yang tak begitu tahu apa arti keresahan kita. Dan, Mas Sri menjelaskan: keresahanmu itu rampogan. Dan, keresahan sesudahnya? Juga rampogan. Tiap keresahan zaman melahirkan rampogan.
Ini mungkin proses dialektis yang bergolak di dalam jiwanya. Dan, mungkin tak berlebihan bila koreografer Sardono Kusumo–menurut penuturan Mas Sri sendiri–pernah mengatakan: kau ini pandai menafsirkan realitas dan mengekspresikannya ke dalam lukisanmu.
Seniman mengejek seniman lain mungkin biasa. Tapi, ketika seniman memuji seniman lain, kita bisa menerka, mungkin dia terpesona, mungkin aspirasinya terwakili, mungkin dia sendiri merasakan keresahan yang sama dan belum mengungkapkannya ke dalam suatu karya. Sekali lagi, seniman mengejek seniman lain itu biasa, tapi seniman memuji seniman lain mungkin istimewa.
Pujian macam itu boleh jadi keluar dari ceruk yang dalam tadi. Dan, untuk sesama seniman yang sudah memahami apa arti sebuah karya seni, ini bisa dicatat sebagai pujian yang diberikan karena yang dipuji memang layak menerimanya.
Di Bentara Budaya dua minggu lalu itu saya menatap salah satu rampogan Mas Sri seperti terpaku di bumi: diam, tak bergerak, tak bersuara. Apakah ini namanya? Mungkin pesona. Gerhana bulan. Anjing, mungkin serigala, begitu liar memandang bulan yang kelam. Kita tahu hewan itu tampak begitu liar. Dia tampaknya kegelisahan. Mungkin berahi. Ular ”njengek”, mengangkat kepala ke atas, bukan hanya ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi, mungkin hewan melata itu merasa terancam. Gajah menengadah, seperti sedang marah.
Alam kelihatannya sedang tidak ramah. Tampak sepotong wajah seorang laki-laki membara, matanya membelalak. Di bagian lain, tampak sesosok tubuh perempuan telanjang seperti terserang berahi dadakan. Bagi alam, hewan, serigala, dan perempuan tadi, manusia, sama belaka. Pada saat yang sama, mereka berahi oleh rangsangan yang sama, tapi mungkin tak mereka pahami.
Mereka boleh jadi berahi karena ”goro-goro” yang mengguncang, mengancam, dan membikin begitu banyak makhluk kalang kabut. Mungkin baik dicatat di sini bahwa yang dikatakan Mas Sri tentang rampogan yang bisa juga muncul atas suatu peristiwa sosial-budaya tadi, kelihatannya tak begitu tepat. Peristiwa sosial-budaya itu biasanya lunak. Suatu fenomena yang disebut ”gejolak sosial” itu bukan peristiwa sosial, tetapi lebih merupakan peristiwa politik. Dengan begitu rampogan muncul karena suatu ketegangan politik dan gejolak politik yang membara.
Jika gejolak itu tampil dalam wajah demonstrasi, sekarang sudah lazim muncul demonstrasi tandingan. Benturan rampogan putih dengan rampogan hitam terjadi. Kekerasan berbenturan dengan kekerasan. Dan, dalam rampogan hitam, para bandit sosial dan segenap ”bajingan” nyaru, seolah dirinya bagian dari kerumunan tadi. Mereka nyatu dalam barisan, tapi tak nyatu dalam jiwa. Itu sebabnya sebuah rampogan hitam muncul.
Rampogan memang lahir dari kekerasan politik dan segenap keserakahan serta watak ambisius orang-orang yang lihai mengendalikan kekuatan massa untuk dibenturkan. Dalam dunia modern yang materialistik ini, rampogan putih tak bisa sepenuhnya dianggap berjiwa putih. Tapi, rampogan hitam, biarlah kita sebut hitam. Di sini ibaratnya golongan hitam bertarung dengan golongan putih yang memang tak mungkin disatukan.
Rampogan yang memesona Mas Sri, dan membuatnya tekun melukiskannya, jelas kiranya lahir dari kanvas besar tatanan politik yang resah dan menebarkan keresahan zaman yang berkepanjangan. Di dalam dunia seni lukis, Mas Sri masternya. Di dalam sejarah sosial, yang penuh gejolak, dan diwarnai perbanditan sosial dan tampilnya para jagoan dan para bajingan, ini wilayah ”kekuasaan”; sejarawan Sartono Kartodirdjo yang masyhur itu. Sejarawan itu memelopori lahirnya aliran baru yang disebut sejarah sosial yang ditandai dengan zaman yang penuh keresahan itu. Mas Sri melukis keresahan zaman itu dalam kanvas lukisannya, dan mengabadikannya di sana. *
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Inspirasi yang hadir dan mungkin mendesak-desak–jiwa Sri Warso beberapa tahun terakhir ini berhubungan dengan fenomena alam yang disebutnya rampogan. Dalam kesadaran kosmologis orang Jawa, rampogan sering dipahami sebagai gejala luar: sebuah peristiwa. Mungkin rampogan diidentikkan dengan ”huru-hara”, suatu kekacauan dalam tata kehidupan yang mengerikan, dan karena itu kita hindari.
Tapi, pelukis yang sensitif membaca gelagat alam dengan tajam ini memiliki penjelasan yang lebih dalam, lebih komprehensif. Dia menyebutkan bahwa rampogan merupakan fenomena alam raya, yang muncul ketika kehidupan suatu makhluk terganggu, terancam, dirongrong, dan ada serangan yang mengguncang harmoni jagat raya ini. Tapi, Sri Warso– saya memanggilnya Mas Sri– juga mengatakan bahwa rampogan bisa pula muncul karena suatu peristiwa sosial-budaya yang bisa merusak keseimbangan hidup. Dan, kita hidup dalam suatu zaman yang serbaresah.
Dengan penalaran seperti itu, kita bisa pula menyebut rampogan sebagai sebuah ”goro-goro”: udan barat salah mangsa, deres awor lesus pinda pinusus, gunung jugrug, tirtaning samodra mengambak-ambak yayah ngelem daratan... hujan beserta badai yang terjadi bukan pada musimnya, deras bagai angin topan, gunung-gunung longsor, air laut bergejolak bagai hendak menelan daratan. Kahyangan para dewa pun terguncang.
Kawah candradimuka mendidih dengan panas melebihi ukuran biasanya. Para bidadari kelabakan lari ke sana ke mari setengah telanjang karena panas tadi. Tapi, sang Hyang Wenang, dewanya para dewa, segera mengamankan kembali keadaan.
Dalam perspektif ini rampogan lebih mengerikan daripada sekadar sebuah huru-hara seperti ketika Jakarta dibuat menjadi lautan api pada Mei yang mengawali munculnya zaman baru: reformasi yang masih tetap membuat kita resah. Gejolak ini pula yang memberi Mas Sri suatu rangsangan kreatif. Dia merenung. Mengendapkan dengan proses hening yang diam. Menerjemahkan, dan kemudian mengolah rangsangan–bisa disebut pula inspirasi– tadi menjadi seonggok kreasi. Ini hasil daya cipta.
Inilah rampogan itu. Tapi, apa wujud rampogan ? Daya cipta Mas Sri atas makna rampogan rupanya tak pernah tunggal. Banyak variasi bisa diwujudkannya. Dan, yang banyak itu tak berarti representasi gagasan yang menghuni dunia dalamnya sudah selesai sebagaimana kita saksikan dalam karya-karyanya.
Zaman yang resah telah membuatnya turut resah secara intens. Resahnya seniman menghasilkan karya edipeni, bisa juga adiluhung. Dan, puaskah dia? Jika seniman itu Mas Sri, jawabnya belum–dunia dalamnya–ceruk yang mungkin gelap dan tak teraba oleh kemampuan imajinasi kita itu agaknya menyimpan banyak keresahan. Ketika zaman makin resah, dia ikut resah. Dan, melahirkan karya, yang mungkin bisa disebut ”terjemahan” keresahan zaman tadi.
Di sini Mas Sri menjadikan dirinya ”kamera” zaman. Boleh jadi pula dia mewakili kita yang tak begitu tahu apa arti keresahan kita. Dan, Mas Sri menjelaskan: keresahanmu itu rampogan. Dan, keresahan sesudahnya? Juga rampogan. Tiap keresahan zaman melahirkan rampogan.
Ini mungkin proses dialektis yang bergolak di dalam jiwanya. Dan, mungkin tak berlebihan bila koreografer Sardono Kusumo–menurut penuturan Mas Sri sendiri–pernah mengatakan: kau ini pandai menafsirkan realitas dan mengekspresikannya ke dalam lukisanmu.
Seniman mengejek seniman lain mungkin biasa. Tapi, ketika seniman memuji seniman lain, kita bisa menerka, mungkin dia terpesona, mungkin aspirasinya terwakili, mungkin dia sendiri merasakan keresahan yang sama dan belum mengungkapkannya ke dalam suatu karya. Sekali lagi, seniman mengejek seniman lain itu biasa, tapi seniman memuji seniman lain mungkin istimewa.
Pujian macam itu boleh jadi keluar dari ceruk yang dalam tadi. Dan, untuk sesama seniman yang sudah memahami apa arti sebuah karya seni, ini bisa dicatat sebagai pujian yang diberikan karena yang dipuji memang layak menerimanya.
Di Bentara Budaya dua minggu lalu itu saya menatap salah satu rampogan Mas Sri seperti terpaku di bumi: diam, tak bergerak, tak bersuara. Apakah ini namanya? Mungkin pesona. Gerhana bulan. Anjing, mungkin serigala, begitu liar memandang bulan yang kelam. Kita tahu hewan itu tampak begitu liar. Dia tampaknya kegelisahan. Mungkin berahi. Ular ”njengek”, mengangkat kepala ke atas, bukan hanya ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi, mungkin hewan melata itu merasa terancam. Gajah menengadah, seperti sedang marah.
Alam kelihatannya sedang tidak ramah. Tampak sepotong wajah seorang laki-laki membara, matanya membelalak. Di bagian lain, tampak sesosok tubuh perempuan telanjang seperti terserang berahi dadakan. Bagi alam, hewan, serigala, dan perempuan tadi, manusia, sama belaka. Pada saat yang sama, mereka berahi oleh rangsangan yang sama, tapi mungkin tak mereka pahami.
Mereka boleh jadi berahi karena ”goro-goro” yang mengguncang, mengancam, dan membikin begitu banyak makhluk kalang kabut. Mungkin baik dicatat di sini bahwa yang dikatakan Mas Sri tentang rampogan yang bisa juga muncul atas suatu peristiwa sosial-budaya tadi, kelihatannya tak begitu tepat. Peristiwa sosial-budaya itu biasanya lunak. Suatu fenomena yang disebut ”gejolak sosial” itu bukan peristiwa sosial, tetapi lebih merupakan peristiwa politik. Dengan begitu rampogan muncul karena suatu ketegangan politik dan gejolak politik yang membara.
Jika gejolak itu tampil dalam wajah demonstrasi, sekarang sudah lazim muncul demonstrasi tandingan. Benturan rampogan putih dengan rampogan hitam terjadi. Kekerasan berbenturan dengan kekerasan. Dan, dalam rampogan hitam, para bandit sosial dan segenap ”bajingan” nyaru, seolah dirinya bagian dari kerumunan tadi. Mereka nyatu dalam barisan, tapi tak nyatu dalam jiwa. Itu sebabnya sebuah rampogan hitam muncul.
Rampogan memang lahir dari kekerasan politik dan segenap keserakahan serta watak ambisius orang-orang yang lihai mengendalikan kekuatan massa untuk dibenturkan. Dalam dunia modern yang materialistik ini, rampogan putih tak bisa sepenuhnya dianggap berjiwa putih. Tapi, rampogan hitam, biarlah kita sebut hitam. Di sini ibaratnya golongan hitam bertarung dengan golongan putih yang memang tak mungkin disatukan.
Rampogan yang memesona Mas Sri, dan membuatnya tekun melukiskannya, jelas kiranya lahir dari kanvas besar tatanan politik yang resah dan menebarkan keresahan zaman yang berkepanjangan. Di dalam dunia seni lukis, Mas Sri masternya. Di dalam sejarah sosial, yang penuh gejolak, dan diwarnai perbanditan sosial dan tampilnya para jagoan dan para bajingan, ini wilayah ”kekuasaan”; sejarawan Sartono Kartodirdjo yang masyhur itu. Sejarawan itu memelopori lahirnya aliran baru yang disebut sejarah sosial yang ditandai dengan zaman yang penuh keresahan itu. Mas Sri melukis keresahan zaman itu dalam kanvas lukisannya, dan mengabadikannya di sana. *
(ysw)