Ironi KPK 2015-2019
A
A
A
KABAR tak sedap menyeruak dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini terkait dengan adanya dugaan lembaga tersebut menutup buku tiga megakasus korupsi. Walaupun belum ada keputusan resmi, bahkan beberapa pimpinan KPK membantah informasi tersebut, dalam sejumlah forum informal dengan kalangan media, mereka telah memberi pesan yang sangat kuat atas langkah tersebut.
Di antara megakasus korupsi dimaksud adalah kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang dikeluarkan pemerintah pada 2002 dan dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik atau lebih dikenal dengan Bailout Century.
Jika benar kabar tersebut, tentu patut disayangkan. Bagaimana tidak, harapan publik akan terungkapnya kasus tersebut secara utuh berhenti sebatas angan. Darurat korupsi pada akhirnya masih menjadi mimpi buruk yang membayangi bangsa ini ke depan.
Pada kasus BLBI, misalnya. Dengan keluarnya SKL BLBI, yang diawali dengan keluarnya Inpres Nomor 8/2002, negara mengalami kerugian Rp138,4 triliun atau 95,78% dari dana yang dikucurkan pemerintah untuk 48 bank penerima pascakrisis moneter 1998. SKL menjadi polemik karena sejumlah debitur sudah dianggap melunasi seluruh utangnya, meski baru membayar 30% dalam bentuk tunai.
Begitu pun kasus Century. Pada kasus pemberian fasilitas FPJP negara mengalami kerugian Rp689 miliar, sedang untuk penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik mengakibatkan negara mengalami kerugian Rp6,762 triliun. Mengapa KPK mengambil langkah kontroversial tersebut? Berdasarkan informasi, pimpinan KPK periode 2015-2019 bersepakat bahwa pertanggungjawaban pidana harus dilihat dengan pengembalian kerugian negara. Dengan pertimbangan ini berarti pimpinan menganggap kelanjutan kasus BLBI dan Century tidak akan berdampak pada pengembalian kerugian negara.
Bila benar, alasan tersebut mudah dipatahkan. KPK seolah menafikan fakta adanya kerugian triliunan rupiah seperti hasil audit BPK dan BPKP tersebut. Hal ini selaras dengan pertanyaan bagaimana mungkin KPK akan mampu mengembalikan kerugian negara jika tidak melanjutkan penyidikan maupun penyelidikan. Apalagi, pertimbangan pengembalian uang negara tidak termasuk dasar hukum penghentian perkara. Di sisi lain, pada kasus Century, misalnya, sudah ada putusan yang menyebut Budi Mulya merugikan negara bersama-sama pihak lain.
Berdasarkan fakta tersebut, sangat dipahami sejumlah kalangan bereaksi keras atas informasi KPK menghentikan megakasus tersebut. Selain karena argumentasi hukumnya lemah, mereka melihat KPK periode 2015-2019 ini tidak memiliki kompetensi sehingga dengan mudah menyerah dalam menghadapi kasus rumit. Selain itu, tudingan KPK periode ini tunduk pada tekanan politik tak kalah masuk akalnya, seperti sikap yang ditunjukkan KPK yang sejak awal sudah serta-merta menyimpulkan tidak ada kerugian pada kasus RS Sumber Waras.
Tudingan ada tekanan politik ini sangat mudah dipahami mengingat dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung menyeret rezim pemerintahan. Sikap pimpinan KPK saat ini sangat berseberangan jika dibandingkan dengan era Antasari Azhar yang memulai penyelidikan, dan era Abraham Samad yang sudah memanggil sejumlah pejabat kunci seperti mantan Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta.
Begitu pun pada kasus Century. KPK era Abraham Samad menunjukkan keberanian mengusut dan menyidik kasus ini. Abrahaman Samad dkk saat itu sangat trengginas, seolah tidak gentar sedikit pun menghadapi rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), termasuk kemudian menjerat beberapa tokoh kunci Partai Demokrat dan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
Kalau demikian yang terjadi, tentu ironis bagi KPK era 2015-2015. Ibaratnya, KPK pimpinan Agus Rahardjo sudah kalah sebelum berperang. Padahal, semestinya mereka berjuang mati-matian menegakkan hukum dan rasa keadilan untuk mewujudkan filsafat Fiat justitia ruat coeleum, bukan memilih bertekuk lutut pada kepentingan politik dan kekuasaan. Kondisi demikian menjadi lebih ironis jika mengingat saat ini hanya KPK lembaga penegak hukum yang dianggap masih berwibawa dan menjadi tumpuan harapan publik untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang bebas dari korupsi.
Di antara megakasus korupsi dimaksud adalah kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang dikeluarkan pemerintah pada 2002 dan dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik atau lebih dikenal dengan Bailout Century.
Jika benar kabar tersebut, tentu patut disayangkan. Bagaimana tidak, harapan publik akan terungkapnya kasus tersebut secara utuh berhenti sebatas angan. Darurat korupsi pada akhirnya masih menjadi mimpi buruk yang membayangi bangsa ini ke depan.
Pada kasus BLBI, misalnya. Dengan keluarnya SKL BLBI, yang diawali dengan keluarnya Inpres Nomor 8/2002, negara mengalami kerugian Rp138,4 triliun atau 95,78% dari dana yang dikucurkan pemerintah untuk 48 bank penerima pascakrisis moneter 1998. SKL menjadi polemik karena sejumlah debitur sudah dianggap melunasi seluruh utangnya, meski baru membayar 30% dalam bentuk tunai.
Begitu pun kasus Century. Pada kasus pemberian fasilitas FPJP negara mengalami kerugian Rp689 miliar, sedang untuk penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik mengakibatkan negara mengalami kerugian Rp6,762 triliun. Mengapa KPK mengambil langkah kontroversial tersebut? Berdasarkan informasi, pimpinan KPK periode 2015-2019 bersepakat bahwa pertanggungjawaban pidana harus dilihat dengan pengembalian kerugian negara. Dengan pertimbangan ini berarti pimpinan menganggap kelanjutan kasus BLBI dan Century tidak akan berdampak pada pengembalian kerugian negara.
Bila benar, alasan tersebut mudah dipatahkan. KPK seolah menafikan fakta adanya kerugian triliunan rupiah seperti hasil audit BPK dan BPKP tersebut. Hal ini selaras dengan pertanyaan bagaimana mungkin KPK akan mampu mengembalikan kerugian negara jika tidak melanjutkan penyidikan maupun penyelidikan. Apalagi, pertimbangan pengembalian uang negara tidak termasuk dasar hukum penghentian perkara. Di sisi lain, pada kasus Century, misalnya, sudah ada putusan yang menyebut Budi Mulya merugikan negara bersama-sama pihak lain.
Berdasarkan fakta tersebut, sangat dipahami sejumlah kalangan bereaksi keras atas informasi KPK menghentikan megakasus tersebut. Selain karena argumentasi hukumnya lemah, mereka melihat KPK periode 2015-2019 ini tidak memiliki kompetensi sehingga dengan mudah menyerah dalam menghadapi kasus rumit. Selain itu, tudingan KPK periode ini tunduk pada tekanan politik tak kalah masuk akalnya, seperti sikap yang ditunjukkan KPK yang sejak awal sudah serta-merta menyimpulkan tidak ada kerugian pada kasus RS Sumber Waras.
Tudingan ada tekanan politik ini sangat mudah dipahami mengingat dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung menyeret rezim pemerintahan. Sikap pimpinan KPK saat ini sangat berseberangan jika dibandingkan dengan era Antasari Azhar yang memulai penyelidikan, dan era Abraham Samad yang sudah memanggil sejumlah pejabat kunci seperti mantan Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta.
Begitu pun pada kasus Century. KPK era Abraham Samad menunjukkan keberanian mengusut dan menyidik kasus ini. Abrahaman Samad dkk saat itu sangat trengginas, seolah tidak gentar sedikit pun menghadapi rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), termasuk kemudian menjerat beberapa tokoh kunci Partai Demokrat dan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
Kalau demikian yang terjadi, tentu ironis bagi KPK era 2015-2015. Ibaratnya, KPK pimpinan Agus Rahardjo sudah kalah sebelum berperang. Padahal, semestinya mereka berjuang mati-matian menegakkan hukum dan rasa keadilan untuk mewujudkan filsafat Fiat justitia ruat coeleum, bukan memilih bertekuk lutut pada kepentingan politik dan kekuasaan. Kondisi demikian menjadi lebih ironis jika mengingat saat ini hanya KPK lembaga penegak hukum yang dianggap masih berwibawa dan menjadi tumpuan harapan publik untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang bebas dari korupsi.
(poe)