Tiga Perkara Pemicu Korupsi Kepala Daerah
A
A
A
JAKARTA - Deretan kasus korupsi yang menjerat sejumlah kepala daerah menjadi perhatian bagi sejumlah pihak. Salah satunya Anggota Komisi III DPR Habib Aboe Bakar Al-Habsyi.
Contoh yang terbaru, Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam dan Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian sebagai tersangka.
Aboe mengatakan, banyaknya kepala daerah yang terjerat persoalan korupsi menjadi persoalan tersendiri, setelah lahirnya otonomi daerah. Setidaknya ada tiga faktor yang dinilainya berpengaruh terhadap persoalan ini.
Pertama, secara politik terjadi pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah. Kepala daerah memiliki kekuasaan otonom, di sinilah kemudian peluang terjadi korupsi.
"Ini sebagaimana adagium power tends to corrupt. Jadi memiliki kekuasaan itu berpotensi melakukan korupsi," kata Aboe kepada Sindonews, Kamis (8/9/2016).
Kedua lanjut Aboe, biaya politik yang tinggi dalam kontestasi pilkada juga menjadi salah satu pemicu korupsi para kepala daerah. Hal ini yang membuat para kepala daerah kerap terjerat utang.
Akhirnya, ketika bekuasa tak jarang dari mereka ingin mengembalikan biaya tersebut. "Di sinilah pintu korupsi mulai terbuka, karena ada tuntutan untuk menutup biaya pilkada," imbuh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Ketiga, masih lemahnya mekanisme kontrol anggaran di daerah. Aboe mengatakan, fungsi pengawasan anggaran yang dilaksanakan oleh DPRD belum sekuat yang dilakukan oleh DPR RI. "Hal ini menjadi persoalan tersendiri dan mungkin diperlukan evaluasi ke depan," tandasnya.
Contoh yang terbaru, Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam dan Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian sebagai tersangka.
Aboe mengatakan, banyaknya kepala daerah yang terjerat persoalan korupsi menjadi persoalan tersendiri, setelah lahirnya otonomi daerah. Setidaknya ada tiga faktor yang dinilainya berpengaruh terhadap persoalan ini.
Pertama, secara politik terjadi pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah. Kepala daerah memiliki kekuasaan otonom, di sinilah kemudian peluang terjadi korupsi.
"Ini sebagaimana adagium power tends to corrupt. Jadi memiliki kekuasaan itu berpotensi melakukan korupsi," kata Aboe kepada Sindonews, Kamis (8/9/2016).
Kedua lanjut Aboe, biaya politik yang tinggi dalam kontestasi pilkada juga menjadi salah satu pemicu korupsi para kepala daerah. Hal ini yang membuat para kepala daerah kerap terjerat utang.
Akhirnya, ketika bekuasa tak jarang dari mereka ingin mengembalikan biaya tersebut. "Di sinilah pintu korupsi mulai terbuka, karena ada tuntutan untuk menutup biaya pilkada," imbuh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Ketiga, masih lemahnya mekanisme kontrol anggaran di daerah. Aboe mengatakan, fungsi pengawasan anggaran yang dilaksanakan oleh DPRD belum sekuat yang dilakukan oleh DPR RI. "Hal ini menjadi persoalan tersendiri dan mungkin diperlukan evaluasi ke depan," tandasnya.
(maf)