Berharap pada Sri Mulyani
A
A
A
SRI Mulyani mulai menunjukkan gebrakan. Satu langkah strategis yang diambil sebagai menteri keuangan (menkeu) adalah memotong anggaran belanja sebesar Rp133,8 triliun. Pemangkasan akan mencakup anggaran kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp 65 triliun dan transfer ke daerah Rp68,8 triliun.
Pemangkasan tersebut untuk merespons penerimaan pajak yang diperkirakan meleset dari target. Diperkirakan kekurangan penerimaan pajak akan mencapai R9219 triliun dari target APBN-P 2016 sebesar Rp1.539,2 triliun. Langkah ini diambil agar defisit anggaran tidak membengkak hingga melebihi yang diperkenankan undang-undang, yakni 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Langkah yang diambil Sri Mulyani tersebut patut diapresiasi. Apalagi pemangkasan fokus pada program yang tidak prioritas seperti perjalanan dinas, konsinyering, atau pembangunan gedung. Karena itu pemangkasan dapat diartikan sebagai bentuk penghematan anggaran negara. Dengan demikian pemanfaatan anggaran bisa lebih kredibel.
Di sisi lain, apresiasi juga perlu disampaikan karena ada komitmen anggaran yang tersedia akan lebih fokus pada program prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan program lain. Dengan demikian, secara prinsip pemangkasan tidak akan mengganggu program pembangunan secara keseluruhan.
Pemangkasan memang harus diakui sebagai gebrakan Sri Mulyani. Seperti disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dalam sidang kabinet mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menyampaikan sejumlah usulan perubahan, baik APBN-P 2016 maupun postur APBN 2017 nanti. Walaupun baru bekerja 6 hari, usulan Sri Mulyani langsung disetujui Presiden dan Wakil Presiden.
Harus diakui, kehadiran Sri Mulyani dan usulan yang ditawarkan membawa nuansa baru dalam Kabinet Kerja. Menteri keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut merasionalisasi pemerintahan saat ini yang cenderung utopis. Atau bahkan Sri Mulyani membangunkan pemerintah dari mimpi indah pemerintahan untuk menghadapi realitas yang ada.
Jika menelisik ke belakang, cara pandang pemerintahan saat ini telah terbelenggu keyakinan bahwa Indonesia mempunyai sumber daya tak terbatas. "Anggarannya ada, dananya ada. Tinggal kita mau kerja atau tidak, hanya itu, mau kerja atau tidak?" Kalimat yang disampaikan Jokowi saat kampanye itu menandaskan bahwa tidak ada persoalan dengan anggaran maupun pendapatan hingga fokus bangsa ini terpusat pada ambisi untuk mewujudkan beragam keinginan.
Ambisi ini secara konkret terwujud dalam postur APBN dengan menggenjot porsi anggaran untuk infrastruktur. Dari Rp 206,6 triliun pada 2004, Jokowi menaikkan jadi Rp290,3 triliun (2015) dan Rp313,5 triliun (2016). Mimpi membangun 24 pelabuhan, 15 bandara, 2.000 km jalan, 10.000 km jalan tol, 33 waduk, 30 pembangkit listrik, dan megaproyek lainnya pun terbentang. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Jokowi menghapus subsidi BBM, menggenjot utang luar negeri hingga mencapai 36,5% terhadap PDB.
Celakanya, di sisi lain pemerintah alpa terhadap kebutuhan lain rakyatnya. Akibatnya angka kemiskinan dan pengangguran meningkat. BPS mencatat rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan hingga September 2015 mencapai 28,51 juta atau 11,13% dari total penduduk. Jumlah ini naik 780.000 jiwa bila dibandingkan tahun sebelumnya. Begitu pun angka pengangguran naik 7,56 juta dari tahun sebelumnya yang mencapai 7,24 juga. Kenaikan ini disinyalir karena PHK.
Dalam konteks inilah kehadiran Sri Mulyani jangan hanya untuk memangkas anggaran, tetapi juga merasionalisasi pemerintah hingga tidak terjebak pada utopia. Mematok asumsi pajak setinggi langit sah-sah saja. Tapi kemerosotan ekonomi global, anjloknya harga minyak, dan ketidakstabilan ekonomi China tetap harus diperhitungkan. Di sisi lain, Sri Mulyani juga harus merasionalkan pemerintah bahwa pembangunan tidak melulu infrastruktur. Kesejahteraan rakyat seperti kemiskinan dan pengangguran juga menjadi bagian penting dari pembangunan.
Pemerintah Jokowi sebenarnya sudah berupaya mengatasi persoalan tersebut lewat paket kebijakan ekonomi. Sayangnya hingga paket ke-12, belum ada dampak yang bisa dirasakan. INDEF bahkan menyebut paket-paket tersebut gagal dengan indikator pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Jokowi juga baru saja mengeluarkan tax amnesty untuk menarik dana WNI yang disimpan di luar dan memberdayakan potensi pajak. Siapa pun tentu berharap program-program tersebut bisa berhasil dan membawa manfaat. Semoga Sri Mulyani bisa mendorong terwujudnya harapan itu.
Pemangkasan tersebut untuk merespons penerimaan pajak yang diperkirakan meleset dari target. Diperkirakan kekurangan penerimaan pajak akan mencapai R9219 triliun dari target APBN-P 2016 sebesar Rp1.539,2 triliun. Langkah ini diambil agar defisit anggaran tidak membengkak hingga melebihi yang diperkenankan undang-undang, yakni 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Langkah yang diambil Sri Mulyani tersebut patut diapresiasi. Apalagi pemangkasan fokus pada program yang tidak prioritas seperti perjalanan dinas, konsinyering, atau pembangunan gedung. Karena itu pemangkasan dapat diartikan sebagai bentuk penghematan anggaran negara. Dengan demikian pemanfaatan anggaran bisa lebih kredibel.
Di sisi lain, apresiasi juga perlu disampaikan karena ada komitmen anggaran yang tersedia akan lebih fokus pada program prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan program lain. Dengan demikian, secara prinsip pemangkasan tidak akan mengganggu program pembangunan secara keseluruhan.
Pemangkasan memang harus diakui sebagai gebrakan Sri Mulyani. Seperti disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dalam sidang kabinet mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menyampaikan sejumlah usulan perubahan, baik APBN-P 2016 maupun postur APBN 2017 nanti. Walaupun baru bekerja 6 hari, usulan Sri Mulyani langsung disetujui Presiden dan Wakil Presiden.
Harus diakui, kehadiran Sri Mulyani dan usulan yang ditawarkan membawa nuansa baru dalam Kabinet Kerja. Menteri keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut merasionalisasi pemerintahan saat ini yang cenderung utopis. Atau bahkan Sri Mulyani membangunkan pemerintah dari mimpi indah pemerintahan untuk menghadapi realitas yang ada.
Jika menelisik ke belakang, cara pandang pemerintahan saat ini telah terbelenggu keyakinan bahwa Indonesia mempunyai sumber daya tak terbatas. "Anggarannya ada, dananya ada. Tinggal kita mau kerja atau tidak, hanya itu, mau kerja atau tidak?" Kalimat yang disampaikan Jokowi saat kampanye itu menandaskan bahwa tidak ada persoalan dengan anggaran maupun pendapatan hingga fokus bangsa ini terpusat pada ambisi untuk mewujudkan beragam keinginan.
Ambisi ini secara konkret terwujud dalam postur APBN dengan menggenjot porsi anggaran untuk infrastruktur. Dari Rp 206,6 triliun pada 2004, Jokowi menaikkan jadi Rp290,3 triliun (2015) dan Rp313,5 triliun (2016). Mimpi membangun 24 pelabuhan, 15 bandara, 2.000 km jalan, 10.000 km jalan tol, 33 waduk, 30 pembangkit listrik, dan megaproyek lainnya pun terbentang. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Jokowi menghapus subsidi BBM, menggenjot utang luar negeri hingga mencapai 36,5% terhadap PDB.
Celakanya, di sisi lain pemerintah alpa terhadap kebutuhan lain rakyatnya. Akibatnya angka kemiskinan dan pengangguran meningkat. BPS mencatat rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan hingga September 2015 mencapai 28,51 juta atau 11,13% dari total penduduk. Jumlah ini naik 780.000 jiwa bila dibandingkan tahun sebelumnya. Begitu pun angka pengangguran naik 7,56 juta dari tahun sebelumnya yang mencapai 7,24 juga. Kenaikan ini disinyalir karena PHK.
Dalam konteks inilah kehadiran Sri Mulyani jangan hanya untuk memangkas anggaran, tetapi juga merasionalisasi pemerintah hingga tidak terjebak pada utopia. Mematok asumsi pajak setinggi langit sah-sah saja. Tapi kemerosotan ekonomi global, anjloknya harga minyak, dan ketidakstabilan ekonomi China tetap harus diperhitungkan. Di sisi lain, Sri Mulyani juga harus merasionalkan pemerintah bahwa pembangunan tidak melulu infrastruktur. Kesejahteraan rakyat seperti kemiskinan dan pengangguran juga menjadi bagian penting dari pembangunan.
Pemerintah Jokowi sebenarnya sudah berupaya mengatasi persoalan tersebut lewat paket kebijakan ekonomi. Sayangnya hingga paket ke-12, belum ada dampak yang bisa dirasakan. INDEF bahkan menyebut paket-paket tersebut gagal dengan indikator pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Jokowi juga baru saja mengeluarkan tax amnesty untuk menarik dana WNI yang disimpan di luar dan memberdayakan potensi pajak. Siapa pun tentu berharap program-program tersebut bisa berhasil dan membawa manfaat. Semoga Sri Mulyani bisa mendorong terwujudnya harapan itu.
(poe)