Vaksin Palsu Kejahatan Nonkonvensional

Selasa, 02 Agustus 2016 - 09:04 WIB
Vaksin Palsu Kejahatan Nonkonvensional
Vaksin Palsu Kejahatan Nonkonvensional
A A A
Reza Indragiri Amriel

Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia

LAPORAN Tahunan UNICEF Indonesia 2012 menyajikan gambaran mengenaskan. Di situ tertulis, Indonesia adalah negara terbesar ketiga dalam jumlah anak­-anak yang belum diimunisasi.

Itu realitas yang amat menggelisahkan, karena tidak terimunisasikannya anak merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian.

Namun alhamdulillah seiring dengan penyikapan serius berupa kampanye imunisasi oleh pemerintah, dapat dinyatakan bahwa dari waktu ke waktu tingkat kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya imunisasi bagi anak kian menggembirakan.

Indikasi ke arah itu tampak, misalnya pada kenaikan cakupan imunisasi dasar lengkap dari 89% pada 2010 menjadi 90% pada 2013. Begitu pula Universal Child Immunization (UCI), yaitu desa yang 100% cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi, pada tahun 2010 sebesar 75,3% meningkat menjadi 82% pada 2013.

Demikian data yang tersaji. Belum lagi mencapai keberhasilan optimal, kampanye imunisasi nasional dihantam badai vaksin palsu. Tanpa jawaban yang meyakinkan tentang duduk perkara vaksin palsu, apalagi solusi tepat sasaran, niscaya ada berjuta­juta anak Indonesia yang tidak imun terhadap penyakit­penyakit mematikan.

Mereka yang telah menerima vaksin palsu bahkan berpeluang mengidap penyakit lain, sebagai akibat dari masuknya zat­zat berbahaya ke tubuh mereka. Manakala imunitas anak tidak terbangun, maka tinggal menunggu waktu sampai penyakit­penyakit yang sebelumnya sudah teratasi akan mewabah kembali.

Dari perspektif perlindungan anak, hilir dari rentetan masalah tersebut adalah meningginya tingkat kematian anak, betapa pun pemerintah telah menggalakkan.

Apa boleh buat, ada alasan kuat untuk waswas bahwa masalah di seputar vaksin seperti tertulis di atas berpotensi menjadi langkah mundur bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk merealisasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya poin ketiga, yaitu menjamin dan mempromosikan kehidupan yang sehat bagi semua pihak.

Padahal sudah menjadi komitmen global bahwa selambatnya pada tahun 2030, negara-
negara dunia akan mampu menyediakan vaksin dan obat­obatan yang aman lagi efektif.

Memafhumi krisis kesehatan akibat produksi dan penyebaran vaksin palsu, pemerintah sudah menginvestigasi fasilitas­fasilitas kesehatan yang menjadi tempat peredaran

vaksin palsu serta jenis­jenis vaksin yang telah dipalsukan. Langkah pemerintah tersebut. Namun, penindakan sebatas itu jelas tidak cukup. Tak kalah krusial, tapi hingga kini belum menjadi wacana publik.

Sesungguhnya amat penting bagi pemerintah untuk menyelidiki dan menyimpulkan secara definitif jumlah anak­anak yang telah menerima vaksin palsu serta jumlah kasus kematian anak yang diperkirakan disebabkan oleh bayi.

Pada situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia program imunisasi nasional bagi seluruh warganya patut diapresiasi. Masuknya vaksin palsu ke tubuh mereka. Di samping penanganan anak­anak dari sisi medis, LPA Indonesia bersikap mutlak dibutuhkan penyikapan secara sangat tegas dari lini hukum.

Undang­Undang (UU) Nomor 36/2009 tentang Kesehatan misalnya, memang memuat ancaman sanksi pidana hingga sepuluh tahun dan denda miliaran rupiah bagi individu maupun korporasi yang memproduksi dan mengedarkan sediaan farmasi yang tidak sesuai standar.

Demikian pula apabila UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen digunakan untuk menjerat pelaku vaksin palsu, ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan juga tak Ancaman hukuman pidana dari kedua UU di atas dirasakan tidak sebanding dengan kejahatan vaksin palsu.

Hal itu mengingat pertama, anak­anak Indonesia dewasa ini merupakan kelompok warga negara yang memperoleh perlindungan ekstra sebagai konsekuensi dari kondisi mereka yang sangat rentan menjadi korban kejahatan.

Kontras dengan semangat tersebut, UU Kesehatan dan UU Perlindungan Kesehatan faktanya
tidak melihat anak sebagai subjek yang perlu mendapat perlakuan luar biasa, ketika
mereka nyata­nyata telah menjadi sasaran sediaan farmasi yang tidak sesuai standar.

Kedua, ancaman tersebut juga dinilai tidak proporsional, karena terkesan abai terhadap
potensi bahaya ekstrem berupa gangguan kesehatan masyarakat, baik untuk pada masa
sekarang maupun masa depan.

Termasuk utamanya mewabahnya kembali penyakit-penyakit mematikan akibat kegagalan vaksin palsu membangun imunitas tubuh anak. Belum lagi biaya sosial berupa pupusnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem.

Pada sisi lain, UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang telah direvisi ke dalam UU Nomor 35/2014, juga tidak bisa banyak diharapkan. Bahkan, betapa pun UU Perlindungan Anak tersebut akan direvisi kembali seiring dengan keluarnya Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­undang) Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/ 2002.

Kendati telah berulang kali direvisi, mudah untuk diamati bahwa terkecuali kejahatan perdagangan anak, kejahatan­kejahatan yang dimuat dalam UU Perlindungan Anak secara umum masih sebatas pada kejahatan yang bersifat konvensional.

Padahal, produksi dan penyebaran vaksin palsu dapat dipandang sebagai Keterbatasan UU Perlindungan Anak mengakibatkan tidak tersedianya ancaman sanksi yang sebanding dengan tingkat kebahayaan yang diakibatkan oleh krisis vaksin bahkan krisis kesehatan yang sangat mengkhawatirkan itu.

Dilatarbelakangi oleh realitas tersebut, senyampang Perppu Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Perlindungan Anak belum diketok palu menjadi UU, publik mempunyai alasan kuat untuk mendorong pemerintah dan DPR agar memasukkan pasal­pasal tambahan mengenai penyikapan hukum sekeras­kerasnya terhadap kejahatan nonkonvensional seperti produksi dan penyebaran vaksin palsu.

Hukuman maksimal berupa hukuman mati dan pemiskinan terpidana merupakan opsi yang sudah sepatutnya dimuat dalam Perppu ini, yakni sebagai ancaman pidana bagi orang­orang yang melakukan tindak kejahatan nonkonvensional terhadap anak.

Misalnya saja produksi dan penyebaran vaksin palsu. beda jauh dengan ancaman dari UU Kesehatan. Dimaksud kesehatan nasional, yang juga tak tersangkakan besarannya bentuk kejahatan nonkonvensional. Allahu a’lam.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5258 seconds (0.1#10.140)