Madu dan Racun Brexit

Senin, 01 Agustus 2016 - 09:57 WIB
Madu dan Racun Brexit
Madu dan Racun Brexit
A A A
Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI

TANPA diduga, hasil referendum Inggris menunjukkan kemenangan penganut keluarnya Inggris dari Uni Eropa alias Brexit (Britain Exit) pada 23 Juni lalu. Bukan hanya mata uang Inggris poundsterling (GBP), tetapi juga mata uang euro (EUR) langsung melemah. Madu dan racun apa saja bagi Indonesia? Bagaimana pula mengatasinya?

Saat ini boleh dikatakan ekonomi global belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang konkret. Kini malah ditambah dengan Brexit yang menjadi benang kusut tersendiri terutama bagi kawasan Eropa. Negara yang terkait dengan hubungan ekonomi, keuangan, perbankan, dan perdagangan termasuk Indonesia sudah pasti akan terpengaruh. Sedikit atau banyak.

Apa dampak Brexit bagi Indonesia? Tidak kurang dari Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyatakan bahwa dampak Brexit terhadap Indonesia tidak terlalu signifikan karena hubungan ekonomi dan perdagangan Indonesia dengan Inggris tidak terlalu besar. Inggris menduduki urutan keempat bagi Indonesia dalam besaran nilai perdagangan dengan Uni Eropa.

Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa neraca perdagangan antara Indonesia dan Inggris masih mengalami surplus sebesar USD159,74 juta per Mei 2016. Nilai ekspor Indonesia ke Inggris mencapai USD364,63 juta, sedangkan impor mencapai USD204,89 juta.

Sementara itu, nilai investasi Inggris di Indonesia sepanjang kuartal I/2016 mencapai USD54,87 juta yang mampu menyerap tenaga kerja 6.927 tenaga kerja. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing (BKPM), investasi langsung (foreign direct investment /FDI) Inggris di Indonesia mencapai USD503 juta atau 1,71% dari total penanaman modal asing (PMA) senilai USD29,27 miliar pada 2015 (Koran Sindo, 29 Juni 2016).

Aneka Langkah Strategis
Lagi-lagi, madu dan racun apa saja bagi Indonesia? Pertama, durian runtuh bagi pasar keuangan. Pascalibur panjang Lebaran, pasar keuangan nasional dilanda banjir dana masuk. Maka tidak mengherankan ketika indeks harga saham gabungan (IHSG) naik 1,90% menjadi 5.069 pada 11 Juli 2016. Nilai tukar rupiah menguat 0,45% menjadi Rp13.112 per dolar AS.

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa nilai modal masuk (capital inflow) Januari 2016 sampai 24 Juni 2016 mencapai Rp97 triliun. Angka itu lebih tinggi daripada periode yang sama pada 2015 yang hanya sebesar Rp57 triliun.

Apa penyebab utamanya? Sudah barang tentu, sejak Brexit berkibar, investor global akan mencari tempat (baca negara) yang memberikan rasa aman dan imbal hasil yang lebih gurih. Oleh karena itu, Indonesia menjadi salah satu pilihan investor global dalam berinvestasi. Hal yang sama terjadi ketika pasar saham China mengalami penurunan tajam.

Sebagai pengingat, pada 7 Januari 2016, perdagangan bursa saham China mengalami gejolak. Perdagangan bursa saham China hanya berjalan 29 menit karena mencapai batas penurunan (circuit breaker) indeks 7%. Gejolak itu memengaruhi seluruh dunia. Bursa AS di New York Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 2,3%. Hingga empat hari pertama 2016, DJIA melemah 5,2%. Ini terburuk sejak 1928 menurut Reuters.

Bursa saham China anjlok juga karena pelemahan (devaluasi) yuan. Bank sentral China (PBOC) kembali memangkas nilai tukar yuan di level 6,5646 per dolar AS pada 7 Januari 2016 lebih rendah 0,51% daripada 6 Januari 2016. Sejak pertama kali devaluasi yuan, dana asing sudah keluar USD508 miliar Agustus-November 2015. Pada 2016, China memasang pertumbuhan ekonomi hanya 6,5% terendah dalam 25 tahun.

Selain itu, ternyata telah lahir euforia setelah Rancangan Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) disahkan menjadi UU Pengampunan Pajak. Banjir dana masuk ke pasar keuangan itu sangat diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 5,35%. Kedua, perang mata uang. Untuk itu, sangat dicemaskan akan terjadi perang mata uang (currency war) dengan melakukan devaluasi mata uang. Hal itu untuk memperkukuh daya saing ekspor Inggris yang kemungkinan besar nilai ekspor akan menipis sebagai akibat Brexit.

Saat ini pun agaknya BI mulai menahan laju penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Langkah itu bertujuan final untuk meningkatkan daya saing produk ekspor nasional. Ketika perang mata uang terjadi, Indonesia diperkirakan akan kembali memperoleh keuntungan berupa banjir aliran likuiditas ke pasar keuangan nasional. Alhasil, cadangan devisa yang sekarang menyentuh USD109,79 miliar per 30 Juni 2016 akan kian perkasa.

Ketiga, investasi dari Inggris bisa melambat. Sebaliknya, nilai investasi yang bersumber dari Inggris dikhawatirkan akan melambat. Mengapa demikian? Lantaran, saat ini Inggris dengan Perdana Menteri (PM) baru Theresa May yang menggantikan David Cameron sudah pasti sedang menata kembali tata laksana politik dan bisnis luar negerinya terutama dengan Uni Eropa.

Jangan lupa pula Inggris masih diberi waktu dua tahun sebelum "bercerai" dengan Uni Eropa. Itu waktu yang cukup memadai bagi PM baru untuk menata kembali hubungan politik dan bisnis dengan 27 negara yang bergabung dalam Uni Eropa dan negara-negara lain termasuk Indonesia. Dengan demikian, Inggris akan lebih memprioritaskan hubungan bisnis dan perdagangan dengan Uni Eropa daripada negara lain.

Dengan bahasa lebih bening, realisasi investasi Inggris ke Indonesia kemungkinan besar akan berjalan lambat. Untunglah Indonesia memiliki cadangan pasokan investasi dari terbitnya UU Pengampunan Pajak yang diperkirakan akan mendatangkan dana repatriasi Rp1.000 triliun.

Namun, pemerintah hendaknya tidak lupa untuk meningkatkan pengawasan dalam penempatan dana repatriasi dan perpajakan. Di situlah celah yang dapat dimanfaatkan oleh tangan-tangan kotor. Walhasil, dana repatriasi sebesar itu dapat terwujud antara lain untuk mendorong investasi dan menggenjot pembangunan proyek infrastruktur. Misalnya jalan tol, jalan KA, jembatan, bandar udara, pelabuhan laut, tol laut, irigasi, dan pembangkit tenaga listrik.

Keempat, meningkatkan daya beli masyarakat terutama tingkat bawah. Pemerintah telah melakukan gebrakan dengan menerbitkan 12 Paket Kebijakan Ekonomi. Namun, paket itu belum nendang terhadap sektor riil kecuali yang berkaitan dengan sektor properti berupa Program Sejuta Rumah mulai April 2015.

Mengapa? Sungguh, semua paket kebijakan itu baik adanya. Sayangnya, kebijakan itu bertujuan lebih untuk meningkatkan penawaran (supply) dan bersifat jangka panjang. Sebaliknya, saat ini kita justru membutuhkan permintaan (demand) yang tinggi untuk mendorong laju sektor riil yang akan menyetrum pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, meskipun bank nasional sudah menawarkan suku bunga kredit yang lebih rendah, permintaan kredit ternyata masih belum optimal. Padahal pemerintah telah mencanangkan target suku bunga kredit tunggal (single digit) atau di bawah 10% akhir 2016.

Adalah tepat bagi pemerintah untuk meluncurkan Program Sejuta Rumah. Program itu kemudian digeber oleh BI dengan mengubah loan to value (LTV) dari 80% menjadi 85% yang berarti uang muka menurun dari 20% menjadi 15%. Inilah penguatan daya beli masyarakat yang nyata.

Mengapa tepat? Sebab sektor properti sanggup mendorong bisnis lain seperti semen, pasir, genting, batu kali, batu bata, besi, kayu, keramik untuk ikut bergairah. Ingat bahwa sektor properti mampu menciptakan proyek padat karya sehingga menyerap banyak tenaga kerja. Sarinya, tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 5,50% atau 7,01 juta orang per Februari 2016 akan terkikis.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0744 seconds (0.1#10.140)