Menguatkan Toleransi Bangsa Kita
A
A
A
PERISTIWA rusuh terkait suku, agama, ras, antargolongan (SARA) yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara (29/7) sungguh membuat miris hati kita semua. Di tengah semangat membangun yang sedang tinggi-tingginya, kita harus memperlambat derap langkah pembangunan kita untuk membenahi masalah konflik SARA ini dan menjaganya agar tidak menyebar dan memberikan dampak destruktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konflik berbau SARA memang bukan barang baru bagi bangsa yang besar dan kompleks ini. Namun sekalipun begitu, tetap saja konflik SARA bukanlah suatu hal yang bisa ditoleransi. Penanganannya harus segera, namun dengan tetap mempertimbangkan pendekatan kemanusiaan agar masalahnya bisa selesai sepenuhnya. Kita tidak bisa hanya menggunakan pendekatan hukum, karena justru akan seperti menambah bara dalam sekam. Semangatnya adalah mengembalikan toleransi, bukan semata mencari siapa yang paling bersalah.
Ada beberapa hal yang patut pemerintah dan masyarakat upayakan. Pertama, langkah yang paling awal harus dilakukan adalah mengembalikan kondusivitas suasana setelah kerusuhan terjadi. Suasana yang dibiarkan tegang dan dingin justru akan memperuncing situasi dan sangat mudah untuk disuluti. Pemerintah dan juga masyarakat harus bekerja sama untuk saling menciptakan suasana yang kondusif.
Kedua, peran tokoh masyarakat dan pemuka agama sangat diperlukan dalam meredam amarah masyarakat. Ketika isu SARA terjadi, tokoh masyarakat dan pemuka agamalah yang didengarkan langsung oleh masyarakat. Jika keduanya bisa meredakan amarah masyarakat, masalah bisa diminimalisasi bahkan dihindari. Akan sangat berbahaya jika pemuka masyarakat membiarkan potensi konflik yang muncul.
Ketiga, hampir dalam semua kasus SARA selalu ada motif yang menjadi dasar dari ketegangan terkait SARA. Masalah-masalah dalam hubungan sehari-hari seperti api dalam sekam yang selalu siap untuk menjadi api yang membakar dengan hebat ketika pemicunya tepercik. Sering kali motifnya adalah kecemburuan sosial terutama di sektor ekonomi yang akhirnya menjadi kebencian kelompok. Jika akar masalah ini tidak dibereskan maka akan selalu ada bahaya laten yang mengintai.
Keempat, bangun kembali kebersamaan setelah sebelumnya membangun rasa saling memahami antarpihak yang berkonflik. Kesepahaman ini sangat diperlukan agar tidak terjadi kecurigaan yang tidak perlu.
Kelima, butuh kebijaksanaan dalam menindak. Ketika terjadi kasus kerusuhan berlatar belakang SARA, pemerintah harus bertindak layaknya orang tua dalam menghadapi dua anaknya yang bertengkar sengit. Orang tua sekalipun menilai ada salah satu anak ada yang lebih bersalah dibanding anak yang lain, tidak bisa serta-merta menuding dan menghukum begitu saja. Karena akan lahir dendam yang menjadi tambahan bahan bakar bagi api dalam sekam itu.
Dalam hal ini, orangtua akan membereskan masalah dan menunjukkan arah yang benar sambil tetap menjaga kebanggaan (dignity) kedua anaknya. Begitu pula pemerintah harus bersikap dalam masalah konflik berlatar belakang SARA. Pemerintah wajib mencari siapa yang salah, namun dalam menindaknya tetap mempertimbangkan perasaan para pihak yang berkonflik.
Keenam, mari kita mengingat kembali keindonesiaan kita. Bangsa ini adalah bangsa yang terbentuk bukan atas dasar rasa curiga dan iri. Para founding fathers tidak berpikir untung-rugi dalam membangun negara. Semangatnya adalah Indonesia yang menjadi rumah bagi segenap bangsa Indonesia. Mari kembali gelorakan semangat itu.
Konflik berbau SARA memang bukan barang baru bagi bangsa yang besar dan kompleks ini. Namun sekalipun begitu, tetap saja konflik SARA bukanlah suatu hal yang bisa ditoleransi. Penanganannya harus segera, namun dengan tetap mempertimbangkan pendekatan kemanusiaan agar masalahnya bisa selesai sepenuhnya. Kita tidak bisa hanya menggunakan pendekatan hukum, karena justru akan seperti menambah bara dalam sekam. Semangatnya adalah mengembalikan toleransi, bukan semata mencari siapa yang paling bersalah.
Ada beberapa hal yang patut pemerintah dan masyarakat upayakan. Pertama, langkah yang paling awal harus dilakukan adalah mengembalikan kondusivitas suasana setelah kerusuhan terjadi. Suasana yang dibiarkan tegang dan dingin justru akan memperuncing situasi dan sangat mudah untuk disuluti. Pemerintah dan juga masyarakat harus bekerja sama untuk saling menciptakan suasana yang kondusif.
Kedua, peran tokoh masyarakat dan pemuka agama sangat diperlukan dalam meredam amarah masyarakat. Ketika isu SARA terjadi, tokoh masyarakat dan pemuka agamalah yang didengarkan langsung oleh masyarakat. Jika keduanya bisa meredakan amarah masyarakat, masalah bisa diminimalisasi bahkan dihindari. Akan sangat berbahaya jika pemuka masyarakat membiarkan potensi konflik yang muncul.
Ketiga, hampir dalam semua kasus SARA selalu ada motif yang menjadi dasar dari ketegangan terkait SARA. Masalah-masalah dalam hubungan sehari-hari seperti api dalam sekam yang selalu siap untuk menjadi api yang membakar dengan hebat ketika pemicunya tepercik. Sering kali motifnya adalah kecemburuan sosial terutama di sektor ekonomi yang akhirnya menjadi kebencian kelompok. Jika akar masalah ini tidak dibereskan maka akan selalu ada bahaya laten yang mengintai.
Keempat, bangun kembali kebersamaan setelah sebelumnya membangun rasa saling memahami antarpihak yang berkonflik. Kesepahaman ini sangat diperlukan agar tidak terjadi kecurigaan yang tidak perlu.
Kelima, butuh kebijaksanaan dalam menindak. Ketika terjadi kasus kerusuhan berlatar belakang SARA, pemerintah harus bertindak layaknya orang tua dalam menghadapi dua anaknya yang bertengkar sengit. Orang tua sekalipun menilai ada salah satu anak ada yang lebih bersalah dibanding anak yang lain, tidak bisa serta-merta menuding dan menghukum begitu saja. Karena akan lahir dendam yang menjadi tambahan bahan bakar bagi api dalam sekam itu.
Dalam hal ini, orangtua akan membereskan masalah dan menunjukkan arah yang benar sambil tetap menjaga kebanggaan (dignity) kedua anaknya. Begitu pula pemerintah harus bersikap dalam masalah konflik berlatar belakang SARA. Pemerintah wajib mencari siapa yang salah, namun dalam menindaknya tetap mempertimbangkan perasaan para pihak yang berkonflik.
Keenam, mari kita mengingat kembali keindonesiaan kita. Bangsa ini adalah bangsa yang terbentuk bukan atas dasar rasa curiga dan iri. Para founding fathers tidak berpikir untung-rugi dalam membangun negara. Semangatnya adalah Indonesia yang menjadi rumah bagi segenap bangsa Indonesia. Mari kembali gelorakan semangat itu.
(kri)