Tax Amnesty di Antara Tata Kelembagaan

Senin, 25 Juli 2016 - 13:04 WIB
Tax Amnesty di Antara Tata Kelembagaan
Tax Amnesty di Antara Tata Kelembagaan
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya


DI TENGAH hiruk-pikuk kebijakan tax amnesty, muncul keraguan terkait kemampuan perbankan menampung banjir dana yang diperkirakan ribuan triliun rupiah. Tendensi penguatan nilai tukar rupiah serta indeks harga saham memunculkan optimisme pemerintah terhadap keberhasilan tax amnesty.

Di sisi lain, beberapa kalangan meragukan kesiapan perbankan dan pasar uang dalam menyerap banjir dana tersebut melalui produk-produk keuangan. Dalam skala lebih besar, apakah aliran dana ini mampu mempertahankan sistem kestabilan keuangan, karena grojokan dana ini mendorong perekonomian kita semakin panas (efek inflatoir), jika tidak dikelola dengan hati-hati.

Dalam hal ini, kerja sama otoritas keuangan dan moneter: Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta pemerintah, menjadi krusial.

Kita mengenal Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) sebagai forum sentral yang berwenang menciptakan dan memelihara kestabilan sistem keuangan di Indonesia. Sasaran utama pembentukan kelompok ini yakni untuk mencegah dan menangani berbagai jenis krisis keuangan.

Komite ini beranggotakan beberapa otoritas keuangan yang terdiri atas pemerintah dalam hal ini menteri keuangan sekaligus sebagai Ketua, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS.

OJK yang terlahir dari rahim BI pada 2011 tergolong sebagai anggota yang paling muda. Semenjak lahirnya, OJK turut membawa beberapa efek penyegaran pada tubuh kelembagaan sistem keuangan di Indonesia.

Paling mencolok tentu yang terkait dengan pengawasan mikroprudensial yang selama ini digawangi oleh BI. Dengan beralihnya urusan mikroprudensial (efektif sejak 2014), praktis sistem koordinasi di antara keduanya akan menjadi kunci perhatian.

Garis sempadan pembagian wewenang sudah disepakati bahwa urusan makroprudensial akan tetap dikelola BI, sedangkan mikroprudensialnya dikelola OJK.

Jika merunut pada sejarah perkembangan sektor moneter Indonesia, pada awalnya BI memonopoli tampuk kebijakan dengan mengakuisisi tiga tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di sektor moneter, yakni menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank.

Namun seiring krisis moneter yang memuncak pada 1998 dan sempat muncul kembali dengan daya yang lebih kecil pada 2008, muncul anggapan BI sudah cukup kerepotan untuk mengatasi dinamika sektor perbankan secara bersamaan dengan fungsi penjagaan stabilitas makro.

Tuntutan untuk memunculkan lembaga independen baru yang memisahkan fungsi pengawas dan regulator industri keuangan terus menggelinding bak bola salju. Tuntutan ini baru benar-benar direspons di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan menginisiasi pembentukan OJK.

Sejalan dengan perubahan kelembagaan, OJK mengambil alih tupoksi yang berkenaan dengan pengaturan dan pengawasan bank yang belakangan dinomenklaturkan sebagai urusan mikroprudensial. OJK juga mengakuisisi wewenang dari Bapepam-LK, sehingga jangkauan tugasnya diperluas hingga pasar modal dan industri keuangan nonbank.

Bagaimana dengan peran BI di masa kini? Peran BI tentu krusial untuk menjaga sistem keuangan, khususnya dari sisi makroprudensial. Inti dari makroprudensial sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan adalah mencapai dan memelihara stabilitas nilai tukar rupiah, serta menjaga stabilitas laju inflasi sebagai salah satu determinan utamanya.

Selain itu, BI tetap mengatur tingkat suku bunga dan mengawasi secara ketat cadangan devisa. Pertanyaannya, apakah kondisi mikroprudensial tidak saling memengaruhi dengan stabilitas makroprudensial? Jawabannya sangat jelas, perubahan dan permasalahan dalam ruang mikroprudensial, tentu tetap berpengaruh sangat besar pada makroprudensial.

Kesehatan perbankan (yang tergolong urusan mikroprudensial) tetap memiliki pengaruh yang beragam terhadap kestabilan makroprudensial. Masih hangat terkenang bagaimana kontroversialnya krisis di Bank Century hingga FKSSK “memaksa” negara harus mengeluarkan dana bailout, untuk menghindari dampak sistemik terhadap stabilitas makro di Indonesia.

Pengalaman tersebut memperkuat aroma, kecepatan dan keakuratan pola koordinasi menjadi kunci strategis dalam mitigasi perekonomian Indonesia dari risiko krisis. Tentu sangat tidak mengenakkan jika kita lagi-lagi harus mengalami krisis moneter, sehingga BI dan OJK perlu terus dimotivasi agar masing-masing institusi mampu menjaga kinerjanya secara prima.

Tantangan Koordinasi dan Kelembagaan

Berdirinya OJK sebagai pendamping BI masih menyisakan beberapa ketidakpuasan beberapa kalangan. Sedikitnya ada dua topik yang memancing perdebatan mengenai perlu tidaknya kehadiran OJK, yakni keraguan sistem koordinasi serta desain kelembagaan yang masih cenderung simpang siur di antara BI dan OJK.

Begitu pentingnya koordinasi dan kelembagaan pernah dicontohkan pada beberapa negara yang lebih dulu menerapkan pemisahan antara urusan mikroprudensial dan makroprudensial, dan terbukti tidak seluruh negara mampu menjalankan secara mulus dalam jangka panjang.

Meski hubungan koordinasi BI dan OJK terlihat tampak baik-baik saja, perlu diselisik lebih dalam apakah memang dalam proses sinergitasnya telah berjalan dalam arah positif.

Dari berbagai pengalaman, kita cukup sering terbelenggu pada tradisi perubahan kelembagaan yang banyak menyita waktu akibat pemisahan ataupun merger pada beberapa institusi. Dan, tampaknya fenomena ini kembali berlaku pada pembagian peran antara BI dan OJK.

Pada kenyataannya masih banyak kegiatan perbankan yang didasarkan pada aturan BI, seperti sistem pembayaran. Pengaturan sistem pembayaran masih sulit untuk disepakati apakah termasuk kategori mikroprudensial atau makroprudensial, dan jika tidak segera diatasi perdebatan ini akan menjurus pada bibit perselisihan.

Contoh lain yang masih mengundang perdebatan mengenai pemilahan antara urusan mikro dan makroprudensial adalah penetapan batas plafon suku bunga deposito pada kelompok bank tertentu. Dari sini muncul kembali pertanyaan, apakah penentuan tingkat suku bunga merupakan urusan mikroprudensial atau makroprudensial?

Menarik untuk dilihat, apakah OJK akan mampu menjawab tantangan publik sebagai lembaga yang ideal untuk pengelolaan mikroprudensial. Tentu kita tidak berharap kehadiran OJK hanya menjadi aspirin (obat pereda demam) yang manfaatnya bersifat temporer.

Namun menurut penulis, alangkah lebih baiknya untuk sementara ini OJK tetap dipertahankan sebagai lembaga independen pengawas perbankan dan industri keuangan nonbank, karena proses pengembalian wewenang pun membutuhkan biaya kelembagaan tak sedikit.

Langkah tambahannya perlu diiringi pembangunan sistem koordinasi yang akurat dan desain kelembagaan (wewenang) yang clear antara BI dan OJK. Apalagi di tengah kembalinya banjir dana luar negeri ke dalam negeri, kestabilan sistem keuangan wajib tertakar dengan baik.

Kerja sama dan harmonisasi antarlembaga di dalam FKSSK menjadi wajib hukumnya. Termasuk menghilangkan informasi yang tak berimbang, karena hal itu akan mendorong munculnya biaya transaksi yang mahal, dalam bentuk lambatnya keputusan, munculnya rente ekonomi, yang berdampak pada inefisiensi kebijakan dan kelembagaan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5029 seconds (0.1#10.140)