PKS & PPP Nilai Usulan Parliamentary Threshold 7% Tak Rasional
A
A
A
JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak usulan Partai Nasdem yang menginginkan Parliamentary Threshold (PT) atau ambang batas parlemen dinaikkan menjadi tujuh persen.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) mengaku, partainya sepakat Parliamentary Threshold dinaikkan, namun tidak sampai tujuh persen.
"Kami rasional saja berkisar empat persen sampai lima persen, apakah nanti disepakati lima persen atau empat persen, paling tidak di angka sekitar segitu," kata Hidayat Nur Wahid di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Dia menganggap tidak rasional jika PT langsung dinaikkan menjadi tujuh persen. "Dan juga kurang praktis, karena akan terlalu banyak nanti yang akan tergusur hanya karena tidak menjalani 7 persen," ucapnya.
Diakui HNW, pihaknya ingin agar hanya sekitar delapan hingga sepuluh partai politik (parpol) yang masuk parlemen pada 2019 mendatang. "Itu menurut saya bangsa Indonesia ini ternyata terdiri dari partai, latar belakangnya nasionalis Islami terdiri dari background-nya, tradisionalis dan modernis," pungkasnya.
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga keberatan jika PT dinaikkan menjadi tujuh persen, sebagaimana usulan Partai Nasdem. Usulan Nasdem itu dianggap tidak rasional.
(Baca: Soal Revisi UU Pemilu, Golkar Akan Bahas di Rapimnas)
Namun PPP tak mempersoalkannya, karena Nasdem memiliki hak untuk mengusulkan hal demikian. "Tapi berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu, PPP sangat keberatan dengan PT berada pada tujuh persen," ucap Wakil Ketua Umum PPP Reni Marlinawati.
Jika PT dinaikkan menjadi tujuh persen, PPP menganggap akan banyak suara pemilih yang tidak terpakai pada pemilu. "Dulu ketika 3,5 persen itu hampir 20 juta suara pemilih yang tidak terpakai, apalagi sekarang," ujar Ketua Fraksi PPP di DPR ini.
Dia pun menilai, jika dinaikkan, idealnya PT sekitar empat hingga 4,5 persen. "Jadi tidak terlalu jauh, jadi semakin tinggi presentase yang ditetapkan itu akan semakin jauh suara pemilih terbuang," ungkapnya.
Namun lanjut dia, PPP sedang melakukan kajian untuk menentukan angka PT yang ideal. "Kajian itu berdasarkan rasionalitas," pungkasnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) mengaku, partainya sepakat Parliamentary Threshold dinaikkan, namun tidak sampai tujuh persen.
"Kami rasional saja berkisar empat persen sampai lima persen, apakah nanti disepakati lima persen atau empat persen, paling tidak di angka sekitar segitu," kata Hidayat Nur Wahid di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Dia menganggap tidak rasional jika PT langsung dinaikkan menjadi tujuh persen. "Dan juga kurang praktis, karena akan terlalu banyak nanti yang akan tergusur hanya karena tidak menjalani 7 persen," ucapnya.
Diakui HNW, pihaknya ingin agar hanya sekitar delapan hingga sepuluh partai politik (parpol) yang masuk parlemen pada 2019 mendatang. "Itu menurut saya bangsa Indonesia ini ternyata terdiri dari partai, latar belakangnya nasionalis Islami terdiri dari background-nya, tradisionalis dan modernis," pungkasnya.
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga keberatan jika PT dinaikkan menjadi tujuh persen, sebagaimana usulan Partai Nasdem. Usulan Nasdem itu dianggap tidak rasional.
(Baca: Soal Revisi UU Pemilu, Golkar Akan Bahas di Rapimnas)
Namun PPP tak mempersoalkannya, karena Nasdem memiliki hak untuk mengusulkan hal demikian. "Tapi berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu, PPP sangat keberatan dengan PT berada pada tujuh persen," ucap Wakil Ketua Umum PPP Reni Marlinawati.
Jika PT dinaikkan menjadi tujuh persen, PPP menganggap akan banyak suara pemilih yang tidak terpakai pada pemilu. "Dulu ketika 3,5 persen itu hampir 20 juta suara pemilih yang tidak terpakai, apalagi sekarang," ujar Ketua Fraksi PPP di DPR ini.
Dia pun menilai, jika dinaikkan, idealnya PT sekitar empat hingga 4,5 persen. "Jadi tidak terlalu jauh, jadi semakin tinggi presentase yang ditetapkan itu akan semakin jauh suara pemilih terbuang," ungkapnya.
Namun lanjut dia, PPP sedang melakukan kajian untuk menentukan angka PT yang ideal. "Kajian itu berdasarkan rasionalitas," pungkasnya.
(maf)