Voucher untuk Raskin

Kamis, 21 Juli 2016 - 12:46 WIB
Voucher untuk Raskin
Voucher untuk Raskin
A A A
TAHUN depan masyarakat penerima beras miskin (raskin) cukup menggunakan voucher atau kupon. Penggunaan voucher bagi program beras untuk masyarakat miskin salah satu keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memastikan bahwa program raskin berjalan tepat sasaran.

Program voucher yang diharapkan mulai berlaku awal 2017 akan dibagikan kepada rumah tangga miskin dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS). Keistimewaan voucher tersebut tidak hanya berlaku untuk menebus beras, tetapi juga berlaku untuk membeli telur dan bahan pokok lain dengan harga yang berlaku di pasar, warung, dan toko.

Melalui mekanisme pemberian voucher tersebut, Jokowi sebagai orang nomor satu di negeri ini meyakini akan lebih efektif dibandingkan program yang berjalan saat ini karena subsidi yang dikeluarkan pemerintah menjadi tepat sasaran. Peluang subsidi untuk orang miskin dipermainkan atau menangguk untung di balik bantuan kemiskinan bagi orang yang tak bertanggung jawab semakin ketat.

Meski demikian, pemerintah menyadari bahwa program voucher tersebut tidak sepenuhnya memungkinkan diberlakukan ke semua wilayah atau daerah. Karena itu, pemerintah akan menerbitkan kebijakan khusus untuk wilayah atau daerah yang tidak menggunakan voucher.

Lebih jauh, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan dan Penanggulangan Kemiskinan Bambang Widianto dalam jumpa pers di Istana Negara kemarin membeberkan setidaknya terdapat tiga alasan mendasar pemerintah menerbitkan voucher untuk program beras bagi rakyat miskin.

Pertama, selama ini penyaluran raskin tidak tepat jumlah. Berdasarkan pedoman pembagian raskin setiap keluarga mendapat 15 kilogram (kg) per keluarga, namun kenyataan di lapangan setiap keluarga hanya memperoleh 6-7 kg yang biasanya dibagi rata di beberapa daerah.

Kedua, seringkali terjadi pengenaan uang tebusan untuk mendapatkan raskin di berbagai daerah dengan bermacam alasan yang sebenarnya dibuat-buat oleh oknum yang ingin mendapatkan keuntungan ilegal. Dengan mekanisme penggunaan voucher, dengan sendirinya dapat menghilangkan uang tebusan.

Ketiga, pembagian raskin masih selalu mengundang kisruh karena dinilai tidak tepat sasaran. Selain sasarannya tidak tepat karena raskin diterima masyarakat mampu, juga raskin sering diselewengkan dengan bukti beredarnya beras subsidi tersebut di pasar. Nanti penyaluran voucher didasarkan data yang dikeluarkan BPS.

Terlepas dari rencana pemerintah untuk menghadirkan program voucher bagi masyarakat miskin guna mendapatkan beras, ternyata angka kemiskinan hingga Maret 2016 mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Berdasarkan publikasi terbaru BPS yang diumumkan pekan lalu, penduduk miskin mencapai 10,86% dari total populasi atau 28,01 juta orang per Maret 2016. Menilik angka kemiskinan tersebut, telah terjadi penurunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 11,22% dari total populasi atau sebanyak 28,59 juta orang.

Kalau dicermati lebih jauh, angka kemiskinan yang dilansir BPS bila dilihat dari sisi persentase, Pulau Maluku dan Papua tercatat sebagai pulau yang paling banyak dihuni orang miskin sekitar 22,09% dari total populasi kedua pulau di ujung timur Indonesia itu. Menyusul Pulau Bali dan Nusa Tenggara sekitar 14,96% dari total populasi kedua pulau itu.

Dilihat dari sisi absolut, sudah pasti Pulau Jawa paling banyak menampung orang miskin di negeri ini, yakni 14,97 juta orang, menyusul Pulau Sumatera dengan penduduk miskin sebanyak 6,28 juta orang. Hal itu tidak perlu dipertanyakan mengapa Pulau Jawa secara absolut paling banyak penduduk miskinnya? Karena, Pulau Jawalah yang paling banyak dan padat penduduknya.

Penurunan angka kemiskinan tersebut diklaim pemerintah sebagai dampak dari upaya selama ini dalam pengendalian harga barang, terutama kebutuhan pokok. Hal itu tercermin dari laju angka inflasi yang rendah sekitar 3% hingga 4%, dan didukung penyaluran dana desa yang langsung memutar roda perekonomian di wilayah perdesaan.

Klaim pemerintah sah saja. Namun, bila dikaitkan kondisi perekonomian yang terus melambat dalam setahun terakhir, ini sebuah fenomena yang aneh. Lazimnya, ketika pertumbuhan ekonomi melemah, angka kemiskinan menguat alias naik.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3433 seconds (0.1#10.140)