Puasa, Momentum Meneguhkan Solidaritas

Senin, 04 Juli 2016 - 06:04 WIB
Puasa, Momentum Meneguhkan Solidaritas
Puasa, Momentum Meneguhkan Solidaritas
A A A
ISRAN NOOR
Ketua Umum PKPI

SAAT ini kita sudah berada di ujung bulan Ramadhan 1437 H. Ketika menjelang akhir pelaksanaan ibadah Ramadhan, lazimnya muncul aneka nuansa perasaan dalam jiwa antara lega bercampur sedih.

Lega karena berarti ini menjadi tanda sebentar lagi kita akan diwisuda karena telah usai dan lulus menjalani ujian selama sebulan penuh. Yakni, ujian kesabaran mengendalikan dan menaklukkan bukan saja nafsu biologis (nafsu lawwamah), namun juga nafsu inderawi yang dapat membatalkan atau mengurangi pahala dan kualitas puasa. Sebuah ujian yang tidak ringan dan tidak semua individu sanggup dan lulus. Sabda Nabi, jihad (ujian) terbesar (akbar) adalah jihad melawan nafsu diri sendiri.

Laiknya setelah lulus sebuah ujian, berikutnya adalah momen kenaikan kelas. Maka, pascalulus Ramadhan, harapan mencuat bagi seorang shoimin adalah tumbuh menjadi figur dengan kualitas lebih baik, dengan kembali menjadi ke fitrah, yakni menjadi pribadi dengan predikat takwa (QS 2: 183).

Namun, bersamaan dengan itu, terbesit nuansa sedih karena mesti berpisah dengan bulan yang sarat dengan aura spiritualitas positif. Ketika Ramadhan hampir usai di antara kita mungkin ada yang merasa belum puas dengan cepatnya Ramadhan berlalu karena merasa belum banyak kebaikan-kebaikan yang dilakukan.

Perasaan yang tidak sepenuhnya salah karena memang Ramdan adalah bulan istimewa. Sebagaimana sabda Nabi SAW: ”Bila umatku tahu apa yang bakal diperoleh dan janji yang akan diberikan di bulan Ramadhan, dia tentu akan menginginkan sepanjang tahun adalah Ramadhan”.

Di penghujung Ramadhan, para ulama salaf biasanya memperbanyak doa-doa agar amalan puasa diterima dan agar dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan berikutnya.

Hal ini karena tidak setiap yang menjalankan puasa otomatis diterima amalnya. Yang terjadi bisa saja sebaliknya. Seperti sabda Nabi SAW: ”Banyak yang menjalankan puasa, namun tidak mendapatkan apa-apa, kecuali hanya lapar dan dahaga”.

Menjalani puasa juga bukan sekadar memenuhi kewajiban atau ibadah. Pula bukan sebuah rutinitas belaka meskipun Ramadan secara periodik hadir sekali setiap tahun.

Sebaliknya, Ramadhan adalah bulan istimewa yang di dalamnya terdapat tiga macam dambaan setiap hamba beriman, yakni bulan penuh rahmat, ampunan (magfiroh), dan dijauhkan dari api neraka (itq min an-naar).

Dimensi Teologis dan Sosiologis Puasa


Ajaran puasa bukan semata berdimensi langit yang hanya fokus dan terkait dengan dimensi vertikal-transendental (hubungan dengan Tuhan).

Puasa sebagai syariat merupakan seperangkat aturan (holy rule) dari Tuhan untuk penduduk bumi. Sedangkan sebagai hakikat, ajaran puasa bukan saja bersifat perenial, namun juga membumi, tidak berjarak dengan historisitas kemanusiaan di ”sini” dan saat ini.

Dengan kata lain, pelaksanaan puasa tidak berdimensi tunggal (one dimension man) yang monolitik semata bersifat transendensi, menjaga jarak dari realitas historis kemanusiaan, tetapi sangat kental di dalamnya ranah aktualitas sosiologis.

Aspek sosiologis humanisme ibadah puasa penting ditekankan mengingat muaranya adalah tumbuhnya pribadi yang peduli dan berjiwa solider terhadap kemiskinan dan nasib mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.

Antara dimensi teologis dan sosiologis puasa ibarat dua sisi dari koin mata uang yang sama di mana yang satu memerlukan yang lain dan tidak terpisahkan. Inilah puasa syariat dan hakikat sekaligus, yakni puasa yang diikat oleh seperangkat aturan agama (vertikal) yang muaranya adalah untuk kebaikan di level horizontal (umat manusia).

Capaian tertinggi ibadah puasa adalah derajat takwa. Namun, secara logis derajat takwa akan sulit dicapai manakala secara sosiologis tidak berdampak moralitas kepedulian sosial pada sesama.

Dari sinilah keistimewaan Ramadhan sebagai bulan spiritual terpancar, di mana antara kesalehan individual dan sosial musti berbanding lurus.

Inilah barangkali makna Hadis Nabi, terdapat sebagian yang berpuasa hanya mendapat lapar dan dahaga. Padahal, sejatinya berpuasa tak semata menahan lapar dan dahaga, tetapi juga merupakan refleksi teologis untuk membumikan amal saleh dan solidaritas.

Sikap solidaritas dan kepedulian terhadap sesama, khususnya terhadap mereka yang kurang beruntung ini, tak pelak lagi muncul sebagai buah dari tidak enaknya menahan lapar dan dahaga yang dijalani sebulan penuh.

Bagi kalangan yang berpunya lapar dan dahaga ada batasnya, hanya dirasakan selama Ramadhan. Namun, bagi kalangan yang kurang beruntung, rasa dahaga dan lapar merupakan kondisi yang biasa dialami setiap saat tanpa tahu kapan akan berakhir.

Dalam kajian teori psikologi agama, model keberagaman di atas, yang tidak mendikotomikan antara dimensi teologis dan sosiologis dalam perilaku keagamaan, populer dengan istilah keberagamaan intrinsik. Sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmad dari Gordon W Alport (2006), dalam model intrinsik, motif keberagamaan diletakkan di atas segala motif pribadi.

Puasa intrinsik adalah orang yang menjalankan puasa karena semata-mata kehendak Ilahi, ima-nan wahtisa-ban. Inilah mungkin jenis puasa seperti difirmankan Tuhan dalam Hadis Qudsi: ”Puasa hanyalah untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya”.

Jenis yang sebaliknya adalah keberagamaan ekstrinsik, yakni beragama lebih untuk tujuan-tujuan pribadi. Perilaku keagamaan, dalam model ini bersifat instrumental dan utilitarian, yakni keberagamaan sebagai modus, digunakan untuk menggapai agenda personel sang pemeluk.

Inilah yang barangkali oleh ahli psikologi agama kemudian disebut sebagai paradoks terbesar keberagamaan. Yakni tidak kongruennya antara perilaku keagamaan dengan dimensi etis sosiologis sebagai ”bekas” atau jejak keberagamaan.

Dalam konteks inilah sudah semestinya diperkuat puasa intrinsik, yakni puasa semata atas dasar iman dan keikhlasan. Tuhan menyebutkan goal puasa yang demikian adalah derajat takwa (QS 2: 183). Derajat takwa adalah berdimensi transendental, namun secara sosiologis, sebagai indikator, setidaknya dapat dilacak pada empat perilaku positif (QS 3: 133-135).

Pertama, komitmen seorang muslim meneguhkan solidaritas sesama dengan mendermakan hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Kedua, pribadi yang mampu mengendalikan emosi, menahan marah, menghormati pihak lain. Ketiga, pribadi yang kesatria. Kalau khilaf, segera memohon maaf dan kesediaan memaafkan kesalahan saudaranya yang lain.

Wallahualam
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7039 seconds (0.1#10.140)