Komplikasi Yuridis RUU Terorisme

Senin, 20 Juni 2016 - 19:48 WIB
Komplikasi Yuridis RUU Terorisme
Komplikasi Yuridis RUU Terorisme
A A A
Dave Akbarshah Fikarno Laksono
Anggota Panja RUU Terorisme Komisi I DPR RI



REVISI
Undang-Undang (RUU) Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah memunculkan sekian pertanyaan yuridis. Beragam pertanyaan ini lahir karena pemerintah kerap kecolongan dalam menyusun skenario kebijakan tanpa secara utuh menyandingkannya dengan logika hukum yang semestinya. Dari sekian klausul yang diubah dalam draf revisi yang diajukan pemerintah ke DPR ini, ada beragam poin revisi yang patut ditilik secara kritis.

Kritisisme ini semakin mendesak jika melihat fakta pemberantasan aksi teror yang tidak saja belum menunjukkan hasil optimal, namun juga kerap melanggar ketentuan hukum dalam pelaksanaannya. Karena itu, menjadi sangat wajar jika sekiranya draf revisi tersebut diuji secara holistik demi terbentuknya peraturan hukum yang komprehensif, realistik, dan berkepastian.

Enam Isu

Dalam draf revisi RUU Terorisme yang merupakan hak usul pemerintah ini, ada enam isu besar yang kian relevan untuk dikaji bersama. Pertama, yurisdiksi pemidanaan. Dalam klausul Pasal 12b ayat (5) dan ayat (6) RUU disebutkan bahwa terhadap pelaku maupun warga negara yang terindikasi terlibat kegiatan terorisme, pejabat berwenang dapat mencabut kewarganegaraannya. Klausul inilah yang berpotensi menciptakan teroris tanpa negara (stateless terrorist).

Lalu, pertanyaannya, siapa dan negara mana yang berwenang mengambil tindakan hukum terhadap pelaku teror ini? Logika penghukuman ini justru membuat negara kian terbatas dalam menjerat terduga teroris, apalagi jika kedudukannya di luar negeri. Klausul kerja sama internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Nomor 15/2003 menjadi kehilangan relevansinya.

Kedua, masa penahanan. Dalam klausul Pasal 25 RUU dikatakan bahwa jangka waktu penahanan dapat diperpanjang dengan merujuk pada kepentingan penegakan hukum. Meski demikian, jangka waktu yang diusulkan berdurasi sedemikian panjang yakni berjumlah total 450 hari atau lima belas bulan. Jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 25 UU 15/2003, jangka waktu yang ditentukan hanya enam bulan.

Pertanyaan mendasar atas klausul ini, untuk apa masa penahanan yang begitu panjang ini? Lantas apa relevansinya dengan pengungkapan kasus? Pertanyaan ini laik diajukan sebab walau bagaimanapun status hukum seseorang yang diduga melakukan aksi teror belum mendapatkan vonis hakim terkait beban kesalahan yang harus ditimpakan kepadanya. Lagi pula, bukankah ketentuan ini bertentangan dengan doktrin peradilan yang cepat?

Ketiga, regulasi penyadapan. Klausul Pasal 31 RUU menyatakan bahwa penyidik hanya wajib melaporkan atau mempertanggungjawabkan tindakan penyadapan ini kepada atasannya. Klausul ini juga berpotensi menimbulkan moral hazard sebab membuka peluang penyalahgunaan pelanggaran privasi warga negara untuk suatu tujuan lain di luar upaya pengungkapan terorisme. Maka itu, tidaklah mengherankan jika sebagian pihak menuding pemerintah sedang menghidupkan kembali pasal karet subversif bermodus pemberantasan terorisme.

Keempat, perihal kompensasi. Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 15/2003 menyatakan bahwa setiap korban atau ahli warisnya berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. Ayat 2 pasal ini menjelaskan bahwa terhadap kompensasi tersebut, pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. Norma ini bermasalah ketika tidak menegaskan ada kewajiban imperatif bagi negara dalam memberikan kompensasi bagi korban atau ahli warisnya.

Prinsip fakultatif yang tercermin pada ayat 1 pasal ini membuka ruang bagi ketidakjelasan kompensasi yang dimaksud, bahkan besar kemungkinan yang diberikan bukanlah kompensasi, namun restitusi, yang pembiayaannya dibebankan kepada pelaku. Jika yang terjadi adalah seperti ini, ketentuan Pasal 36 ini hanya berhenti menjadi lip service yuridis belaka. Menjadi masalah pula ketika ruang kelabu ganti kerugian ini tidak diatur lebih terang dalam draf revisi yang diajukan pemerintah.

Kelima, lokalisasi paksa terduga teroris. Usulan kontroversial ini tertuang dalam ketentuan Pasal 43a ayat (1) RUU yang menyatakan bahwa penyidik atau penuntut umum dapat membawa atau menempatkan terduga teroris pada tempat tertentu selama enam bulan sebagai bentuk upaya pencegahan. Langkah ekstra yudisial ini, selain bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, juga menempatkan pemerintah pada kebingungan gramatikal menyangkut terminologi pencegahan.

Keenam, pelibatan TNI. Draf revisi ini serbaparsialistik. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) angka 10 UU Nomor 34/2004 tentang TNI, salah satu tugas pokok TNI adalah membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang. Jika kita konsisten dengan logika yang dibangun dalam Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU IV/2006 terkait pembatalan Pasal 53 UU Nomor 30/2002 (UU KPK), frasa “diatur dalam undang undang” dapat dimaknai dengan pengaturan lebih lanjut tugas perbantuan TNI tersebut tidak harus dalam suatu undang-undang tersendiri, namun dapat saja melekat atau tercantel dalam suatu undang-undang.

Maka itu, klausul Pasal 43b ayat (2) RUU yang hanya melakukan repetisi gramatikal, tanpa sama sekali mengelaborasi lanjut apa dan bagaimana wujud perbantuan tersebut, menjadikan kontroversi pelibatan TNI kian kelabu.

Lebih Tajam

Terhadap enam isu yang disampaikan tersebut, sudah sepatutnya pemerintah menajamkan nalar, tujuan, dan mekanisme pemberantasan terorisme melalui elaborasi holistik setiap klausul yang dituangkan dalam draf RUU Terorisme. Hal ini sangatlah penting sebab ketika pemerintah telah menempatkan terorisme sebagai kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan (extraordinary crimes), konsekuensinya perangkat yuridis untuk memberantas kejahatan ini pun haruslah realistik dan aplikatif.

Sulit untuk dibayangkan ada langkah pemberantasan aksi teror yang berhasil guna jika pe-merintah masih saja menyodorkan klausul buram, parsial, dan inkonsisten dalam disain peraturan hukumnya. Sebab, jika tidak, lokus wacananya bukan lagi pada inefektivitas dan inefisiensi kebijakan, namun klaim penegakan hukum yang menerobos prinsip universal kehidupan umat manusia.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6141 seconds (0.1#10.140)