Memanfaatkan Momentum Ramadhan
A
A
A
AKHIRNYA sidang isbat untuk penentuan memulai ibadah puasa Ramadhan, Minggu 5 Juni 2016 malam, mengeluarkan keputusan bulat, pada hari ini umat Islam di Indonesia akan memulai ibadah puasa di bulan Ramadhan. Keputusan sidang tersebut memang ditunggu-tunggu dan melegakan karena mayoritas umat Islam Indonesia bersamaan memulai ibadah puasanya. Namun, sekalipun misalnya putusan sidang isbat di Kementerian Agama kemarin berbicara lain, toh bangsa akan bisa menerimanya dengan baik. Bangsa ini sudah terbiasa dengan perbedaan dan menganggapnya hanya masalah cara.
Harusnya bangsa ini memang selalu menjadi bangsa yang majemuk yang sangat menghargai perbedaan. Pertandanya sudah jelas, bahkan untuk level penentuan memulai bulan Ramadhan juga penentuan Lebaran kita sudah terbiasa untuk menghadapi perbedaan. Kesamaan waktu memulai puasa Ramadhan dan Lebaran merupakan berkah, namun ketika berbeda sama sekali tidak dianggap sebagai kerugian. Umat Islam di negeri ini bisa memahami dan menghargai dasar pikir dan ilmu di balik masing-masing keputusan. Ketika di level keluarga pun terjadi perbedaan umumnya bisa dihadapi dengan baik.
Lalu, tentu kita bertanya-tanya, jika untuk urusan beragama yang transenden saja kita bisa menerima perbedaan seperti itu, kenapa dalam banyak urusan kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara ketika muncul perbedaan pilihan memunculkan ketegangan yang intens, bahkan seringkali berujung pada kekerasan? Untuk urusan politik misalnya para pendukung kubu yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) bahkan bisa lebih bermusuhan dibandingkan para jagonya yang kadangkala justru berkawan. Kenapa kita terlalu sensitif dan tegang untuk urusan kehidupan sehari-hari, sementara kita bisa dengan membanggakannya menunjukkan kemampuan dalam menghargai pilihan dalam beragama?
Momen Ramadhan ini ada baiknya dijadikan sarana untuk menurunkan tensi emosi bangsa ini yang masih saja tinggi karena urusan politik yang tak kunjung usai. Sudah selayaknya berbagai nilai-nilai baik yang terkandung dalam puasa Ramadhan bisa kita pancarkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai perbedaan politik memunculkan perpecahan yang tak bisa diselesaikan. Ada baiknya juga mengingat pepatah lama bahwa luka itu bisa sembuh, tapi bekasnya tidak hilang. Jangan sampai urusan politik menyebabkan luka dalam hubungan keseharian dengan lingkungan kita.
Ramadhan juga harus menjadi pengingat bahwa sebagai warga negara memikirkan sesama adalah hal yang esensial. Kita dituntut untuk lebih memperhatikan lingkungan sekitar, memperhatikan nasib dan kesejahteraan sesama bangsa Indonesia. Masalah kesejahteraan ini tentu menjadi sorotan penting karena kita tahu bahwa Indonesia salah satu negara dengan kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia dengan indeks rasio gini yang menunjukkan kesenjangan itu ada pada angka 0,42, jauh lebih parah dibandingkan masa-masa lampau.
Satu hal yang juga penting dalam memaksimalkan momentum Ramadhan ini adalah para elite politik bangsa ini harus menyudahi tontonan yang tidak nikmat mengenai ketegangan internal dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Masyarakat ingin pemerintah menjadi penyelesai masalah yang ada di publik, bukan penambah masalah baru. Ketidak-kompakan yang muncul selama ini ada baiknya dikomunikasikan dalam momentum Ramadhan ini dalam bulan yang biasanya orang akan lebih terbuka untuk silaturahmi. Masyarakat tentu akan berbahagia misalnya nanti melihat menteri-menteri yang saling bersitegang dan juga para elite partai politik yang tidak akur saling mengunjungi dalam momen sahur atau buka puasa bersama.
Para elite politik tentu ingat rumus dasar dalam politik, yaitu mengutamakan persamaan, bukan menebalkan perbedaan. Semoga Ramadan kali ini bisa dimanfaatkan bangsa ini untuk menciptakan oase yang meneduhkan hiruk-pikuk selama ini.
Harusnya bangsa ini memang selalu menjadi bangsa yang majemuk yang sangat menghargai perbedaan. Pertandanya sudah jelas, bahkan untuk level penentuan memulai bulan Ramadhan juga penentuan Lebaran kita sudah terbiasa untuk menghadapi perbedaan. Kesamaan waktu memulai puasa Ramadhan dan Lebaran merupakan berkah, namun ketika berbeda sama sekali tidak dianggap sebagai kerugian. Umat Islam di negeri ini bisa memahami dan menghargai dasar pikir dan ilmu di balik masing-masing keputusan. Ketika di level keluarga pun terjadi perbedaan umumnya bisa dihadapi dengan baik.
Lalu, tentu kita bertanya-tanya, jika untuk urusan beragama yang transenden saja kita bisa menerima perbedaan seperti itu, kenapa dalam banyak urusan kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara ketika muncul perbedaan pilihan memunculkan ketegangan yang intens, bahkan seringkali berujung pada kekerasan? Untuk urusan politik misalnya para pendukung kubu yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) bahkan bisa lebih bermusuhan dibandingkan para jagonya yang kadangkala justru berkawan. Kenapa kita terlalu sensitif dan tegang untuk urusan kehidupan sehari-hari, sementara kita bisa dengan membanggakannya menunjukkan kemampuan dalam menghargai pilihan dalam beragama?
Momen Ramadhan ini ada baiknya dijadikan sarana untuk menurunkan tensi emosi bangsa ini yang masih saja tinggi karena urusan politik yang tak kunjung usai. Sudah selayaknya berbagai nilai-nilai baik yang terkandung dalam puasa Ramadhan bisa kita pancarkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai perbedaan politik memunculkan perpecahan yang tak bisa diselesaikan. Ada baiknya juga mengingat pepatah lama bahwa luka itu bisa sembuh, tapi bekasnya tidak hilang. Jangan sampai urusan politik menyebabkan luka dalam hubungan keseharian dengan lingkungan kita.
Ramadhan juga harus menjadi pengingat bahwa sebagai warga negara memikirkan sesama adalah hal yang esensial. Kita dituntut untuk lebih memperhatikan lingkungan sekitar, memperhatikan nasib dan kesejahteraan sesama bangsa Indonesia. Masalah kesejahteraan ini tentu menjadi sorotan penting karena kita tahu bahwa Indonesia salah satu negara dengan kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia dengan indeks rasio gini yang menunjukkan kesenjangan itu ada pada angka 0,42, jauh lebih parah dibandingkan masa-masa lampau.
Satu hal yang juga penting dalam memaksimalkan momentum Ramadhan ini adalah para elite politik bangsa ini harus menyudahi tontonan yang tidak nikmat mengenai ketegangan internal dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Masyarakat ingin pemerintah menjadi penyelesai masalah yang ada di publik, bukan penambah masalah baru. Ketidak-kompakan yang muncul selama ini ada baiknya dikomunikasikan dalam momentum Ramadhan ini dalam bulan yang biasanya orang akan lebih terbuka untuk silaturahmi. Masyarakat tentu akan berbahagia misalnya nanti melihat menteri-menteri yang saling bersitegang dan juga para elite partai politik yang tidak akur saling mengunjungi dalam momen sahur atau buka puasa bersama.
Para elite politik tentu ingat rumus dasar dalam politik, yaitu mengutamakan persamaan, bukan menebalkan perbedaan. Semoga Ramadan kali ini bisa dimanfaatkan bangsa ini untuk menciptakan oase yang meneduhkan hiruk-pikuk selama ini.
(poe)