Pakar Hukum UI: Kajati Jatim Layak Dicopot

Minggu, 22 Mei 2016 - 18:26 WIB
Pakar Hukum UI: Kajati...
Pakar Hukum UI: Kajati Jatim Layak Dicopot
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menilai, keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur, Maruli Hutagalung, dalam menangani perkara dana hibah Kadin Jatim yang nyata-nyata mengabaikan putusan pengadilan harus menjadi catatan serius korps Adyaksa. Sebab, selain dapat dikategorikan melanggar sumpah jabatan, juga menorehkan preseden buruk penegakan hukum di Indonesia.

"Iya kan sudah nyata-nyata dikatakan sebelumnya, seakan tidak peduli dengan putusan pengadilan. Akan tetap melanggar putusan itu dengan menerbitkan sprindik lagi. Jelas kan putusannya di sidang sebelum-sebelumnya bahwa perkara itu tidak dapat dibuka kembali, karena sudah berkekuatan hukum tetap dalam putusan pengadilan sebelumnya. Apalagi penetapan tersangkanya juga salah," ungkap Chudry di Jakarta, Minggu (22/5/2016).

Dikatakan Chudry, Indonesia menganut model due process of law. Bukan crime control model. Sementara yang ditunjukkan oleh Kejati Jatim itu crime control model, yakni ciri-ciri hukum acara pidana yang represif, mengutamakan penindakan kejahatan. Crime control model adalah ciri hukum acara pidana yang intisitor, tidak memberikan kewenangan atau hak subjektifitas daripada tersangka.

"Dia bilang di media bahwa pra peradilan hanya soal prosedur, itu sangat menyederhanakan hukum acara. Bukan seperti itu," urainya.

Ditambahkan Chudry, seberapa jauh daya mengikat putusan pra peradilan? Putusan pra peradilan juga merupakan bagian peradilan pidana, putusanya bersifat kongkret dan mengikat, erga omnes. Bahkan tidak hanya mengikat pada para pihak, tetapi mengikat kepada setiap publik pada erga omnes. Pra peradilan harus mengikat semua pihak, termasuk mengikat pengadilan, mengikat aparat penegak hukum, penyidik dan penuntut umum.

"Nah sudah diputuskan bahwa perkara ini tidak bisa disidik lagi, artinya ya selesai. Harus berhenti," paparnya.

Chudry mengingatkan, Kajati Jatim bahwa dirinya selaku pejabat terikat dengan sumpah jabatan. Dimana sumpah jabatan itu mengharuskan dirinya tunduk dan patuh pada UUD, UU dan peraturan perundangan, yang artinya juga putusan pengadilan.

"Dalam hukum administrasi negara, di UU nomor 30 tahun 2014, bahwa setiap pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan putusan dan tindakan faktual harus berdasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Prinsip-prinsip pemerintah yang baik. Misal ada keputusan pejabat yang bertentangan dengan hukum, pasti akan dibatalkan, karena melanggar AAUPB. Putusan pengadilan bersifat erga omnes, jadi siapa saja harus mematuhi putusan tersebut," tuturnya.

Chudry juga mengingatkan bahwa dalam teori hukum Indonesia, sumber hukum selain UU dan peraturan adalah putusan pengadilan atau yurisprudensi. Apabila ada institusi pemerintahan tidak menjalankan putusan pengadilan, maka jelas melanggar AAUPB, dan dengan sendirinya pejabat tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap UU.

"Artinya, dia sudah melanggar sumpah jabatannya. Karena telah terang benderang melanggar undang-undang, jadi sah saja bila institusi di atasnya, dalam hal ini Kejagung mencopot dia, sebelum dia diperkarakan dalam gugatan perbuatan melawan hukum oleh masyarakat," tutupnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0994 seconds (0.1#10.140)