Manfaat Pemilu Dinilai Baru Sekadar Sarana Pergantian Kepemimpinan
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan Umum (Pemilu) secara demokratis yang telah diselenggarakan empat kali berturut-turut pascareformasi dinilai belum efektif dan masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah (PR).
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu-Demokrasi (SPD) August Mellaz mengakui berkaca dari empat kali pemilu, sistem demokrasi di Indonesia sudah terbangun dan berkembang.
Lebih dari itu, kata dia, ada harapan pula dari dunia internasional agar pemilu Indonesia yang merupakan negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia mampu menjadi role model demokrasi.
Namun, kata dia, faktanya pemilu baru berhasil menimbulkan konsensus bersama dan menjadi satu-satunya mekanisme pergantian kepemimpinan secara reguler dan damai.
Menurut dia, berdasarkan pelaksanaan pemilu yang sudah berlangsung, masih terlihat adanya ketidaksesuaian antara tujuan atau misi Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Dasar 1954.
Pasca Pemilu 2014, kata dia, terjadi fenomena menguatnya gejala parlementarisasi presidensialisme di Indonesia.
"Di mana Presiden yang terpilih dengan tingkat legitimasi popular vote yang tinggi jarang menikmati dukungan signifikan mayoritas kursi di DPR," kata August saat berbicara dalam diskusi bertema Membaca Ulang Problematika Kepemiluan Indonesia dan Alternatif Gagasan Tentang Sistem Pemilu di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/5/2016).
Sementara itu, lanjut dia, tujuan-tujuan lain yang menjadi mandat rakyat belum sepenuhnya terwujud. Misalnya menghasilkan pemerintahan yang kuat, parlemen yang efektif, partipasipasi politik yang mengikat.
"Termasuk penyederhanaan partai," katanya.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu-Demokrasi (SPD) August Mellaz mengakui berkaca dari empat kali pemilu, sistem demokrasi di Indonesia sudah terbangun dan berkembang.
Lebih dari itu, kata dia, ada harapan pula dari dunia internasional agar pemilu Indonesia yang merupakan negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia mampu menjadi role model demokrasi.
Namun, kata dia, faktanya pemilu baru berhasil menimbulkan konsensus bersama dan menjadi satu-satunya mekanisme pergantian kepemimpinan secara reguler dan damai.
Menurut dia, berdasarkan pelaksanaan pemilu yang sudah berlangsung, masih terlihat adanya ketidaksesuaian antara tujuan atau misi Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Dasar 1954.
Pasca Pemilu 2014, kata dia, terjadi fenomena menguatnya gejala parlementarisasi presidensialisme di Indonesia.
"Di mana Presiden yang terpilih dengan tingkat legitimasi popular vote yang tinggi jarang menikmati dukungan signifikan mayoritas kursi di DPR," kata August saat berbicara dalam diskusi bertema Membaca Ulang Problematika Kepemiluan Indonesia dan Alternatif Gagasan Tentang Sistem Pemilu di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/5/2016).
Sementara itu, lanjut dia, tujuan-tujuan lain yang menjadi mandat rakyat belum sepenuhnya terwujud. Misalnya menghasilkan pemerintahan yang kuat, parlemen yang efektif, partipasipasi politik yang mengikat.
"Termasuk penyederhanaan partai," katanya.
(dam)