Pilgub DKI Dua Putaran?
A
A
A
Andi Syafrani
Dosen UIN Jakarta dan Praktisi Hukum
SAMPAI saat ini mayoritas kalangan ahli hukum dan penyelenggara pemilihan berpendapat, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 diselenggarakan dua putaran. Dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah ketentuan Pasal 11 (2) Undang-Undang (UU) Nomor 29/2007, yang diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-X/2012. Dua dasar hukum itu menegaskan kekhususan DKI Jakarta sebagai daerah istimewa yang salah satu keistimewaannya adalah menyaratkan pemenang pilgub memperoleh suara 50% lebih.
Apakah dasar hukum tersebut masih dapat dipertahankan dengan situasi pelaksanaan pilkada serentak yang pada 2020 berlaku secara nasional? Penulis berkeyakinan bahwa ketentuan tersebut sudah tidak relevan dan mestinya dipertimbangkan untuk diubah oleh pembuat UU saat ini yang sedang melakukan revisi terhadap ketentuan UU Nomor 1/2015 dan UU Nomor 8/2015 dengan beberapa alasan.
Pertama, kesepakatan nasional yang telah menjadi open legal policy saat ini menetapkan bahwa pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia dilangsungkan satu putaran. Pembuat hukum telah memilih model majority system menggantikan model plurality system dengan pertimbangan efisiensi waktu dan biaya. Lagipula dengan model penurunan tingkat partisipasi pemilih dari waktu ke waktu dan tidak ada pengaruh signifikan antara minimal perolehan suara 30% atau 50%, dengan legitimasi kepemimpinan politik kepala daerah, semakin memperkuat argumen pilihan legal policy tersebut. Hasilnya, aturan yang menetapkan syarat minimal perolehan suara di dalam UU Pilkada dihapus.
Policy sistem ini harusnya berlaku untuk seluruh pelaksanaan pilkada tanpa kecuali. Perubahan kebijakan sistem dari majority ke plurality yang dimulai dengan pemberlakuan UU Nomor 8/2015 (Vide Pasal 107) harusnya diikuti oleh UU Nomor 29/2007. Ini bukan sekadar berbicara soal posisi dan dasar kekhususan, melainkan pada konsistensi perubahan kebijakan dari satu model sistem ke sistem lain. Di mana kebijakan tersebut (open legal policy) merupakan ratio legis (Arab: ‘illat ) dari sebuah produk hukum yang oleh MK sering dijadikan sebagai dasar penetapan konstitusionalitas sebuah norma UU.
Mengikuti prinsip yang dikenal dalam ilmu Ushul Fiqh (jurisprudensi hukum Islam), hukum itu berlaku dan berubah sesuai dengan keberadaan ‘illat -nya (al hukmu aduru ma’a ‘illatihi ). Ketika ‘illat-nya (kebijakan) berubah, sudah seharusnya ketentuan hukumnya juga berubah. ‘Illat yang menjadi dasar hukum ini adalah hukum itu sendiri sehingga dengan datangnya belakangan, ketentuan asas dari legal maxim "lex posterior derogat legi priori" patut dipertimbangkan dalam memahami situasi hukum ini.
Singkatnya, open legal policy para pembuat UU yang memilih sistem plurality untuk pilkada saat ini telah me-naskh (membatalkan) open legal policy lama yang memilih sistem majority. Perubahan kebijakan inilah yang harus dipahami secara kontekstual dan holistik oleh penyelenggara pemilihan dan juga aparat hukum lain. Khususnya, dalam melaksanakan Pilgub DKI Jakarta tahun depan yang merupakan bagian dari rangkaian pilkada serentak dengan daerah lain di Indonesia.
Konsisten dan sebagai turunan dari argumen di atas, sebagai alasan kedua, pilkada serentak dapat dimaknai tidak hanya serentak waktunya, tapi juga serentak dan seragam perangkat hukumnya. Dari aspek waktu, jika pilgub di Ibu Kota tetap mungkin dilaksanakan dua putaran, keserentakan itu menjadi tiada. Pada saat seluruh pilkada di daerah lain pada 2017 dan pada 2020 telah usai, masih ada kemungkinan akan tersisa satu lagi pilkada yang dilaksanakan terpisah yaitu pilgub putaran kedua di Ibu Kota. Di mana aspek serentaknya jika KPU DKI Jakarta masih dibebani lagi dengan satu putaran pada saat seluruh KPU lain sudah selesai menjalankan tugasnya?
"Ketidakserentakan" Pilgub DKI Jakarta karena ketidakselarasan hukumnya dengan daerah lain harus "diluruskan" dengan memahami konteks perubahan kebijakan yang telah diuraikan di atas. Karena, kekhususan ini sangat berbeda secara prinsip dan fundamental dengan perubahan open legal policy para pembuat undang-undang.
Berbeda halnya dengan kekhususan Pilkada Aceh dan Papua yang hanya masuk pada aspek syarat calon yakni harus bisa membaca Alquran untuk Aceh dan harus orang asli untuk Papua. Kekhususan pada dua wilayah terakhir ini tidak bertentangan dengan open legal policy pada aspek perubahan model sistem pemilihan, tapi lebih pada aspek assesoir yang tidak berhubungan dengan sistem/model dan visi serta tujuan dari diinginkannya pelaksanaan pilkada serentak secara nasional.
Di sini terlihat bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 29/2007 tidak lagi sesuai dengan kehendak para pembuat UU saat ini dan juga tidak sejalan dengan visi dan kehendak nasional untuk melaksanakan pilkada serentak secara nasional. Apakah hanya dengan berdalih tentang kekhususan Ibu Kota, kehendak nasional ini harus tetap mendapatkan pengecualian?
Para pakar hukum tata negara dan pastinya para pembuat hukum itu sendiri harus memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hal ini. Karena, ini menyangkut visi politik kepemiluan nasional yang harus diintegrasikan perangkat dan kebijakannya secara komprehensif.
Ketiga, kekhususan Ibu Kota sebagaimana telah ditegaskan oleh MK pada dasarnya menyangkut aspek bestuurvoering (pemerintahan). Meski MK mengakui ada korelasi antara aspek pemerintahan tersebut dengan aspek pemilihan kepala daerah, secara khusus pemilihan tidak menyangkut wilayah pemerintahan semata, tapi juga menyangkut hak individual warga negara (right to vote).
Dengan tetap memungkinkan ada putaran kedua dalam pilgub, secara langsung negara telah memberikan privilese kepada warga pemilih Ibu Kota. Pada saat seluruh warga di luar Ibu Kota hanya diberikan hak memilih satu kali dalam pilkada karena perubahan legal policy dan sistem pemilihan, warga Ibu Kota tetap memegang hak memilih lebih dari satu kali jika ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 29/2007 diterapkan.
Ketentuan tersebut dahulu tidak dianggap diskriminatif dan masih dianggap sesuai dengan konstitusi. Pada saat yang sama warga negara Indonesia di luar Ibu Kota pun masih diberikan hak serupa karena model dan sistem pemilihan yang berlaku juga sama. Perbedaannya hanya pada aspek persentase angka mayoritas untuk dapat digunakannya hak memilih putaran kedua.
Tetapi, kini dasar fundamental hak tersebut telah dihilangkan oleh pembuat hukum untuk warga pemilih di luar Ibu Kota. Jika hak putaran kedua pilkada ini hanya diberikan kepada warga negara pemilih di Ibu Kota, di manakah kemudian letak persamaan hukum bagi setiap warga negara dalam konteks ini?
Dengan beberapa argumen dan pertanyaan di atas, sudah seharusnya para pembuat hukum memperhatikan aspek hukum berlangsungnya pemilu secara lebih komprehensif dan integratif sehingga tidak menyisakan ada ruang pembedaan yang berdampak fundamental terhadap visi dan misi kenegaraan yang lebih besar. Dalam pembahasan revisi UU Pilkada yang berlangsung di parlemen, diharapkan pemerintah dan DPR dapat membuat kepastian dan konsistensi kebijakan dengan menetapkan Pilgub DKI Jakarta seperti wilayah lain di Indonesia, tanpa menghilangkan aspek kekhususan Ibu Kota dalam aspek pemerintahan.
Dosen UIN Jakarta dan Praktisi Hukum
SAMPAI saat ini mayoritas kalangan ahli hukum dan penyelenggara pemilihan berpendapat, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 diselenggarakan dua putaran. Dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah ketentuan Pasal 11 (2) Undang-Undang (UU) Nomor 29/2007, yang diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-X/2012. Dua dasar hukum itu menegaskan kekhususan DKI Jakarta sebagai daerah istimewa yang salah satu keistimewaannya adalah menyaratkan pemenang pilgub memperoleh suara 50% lebih.
Apakah dasar hukum tersebut masih dapat dipertahankan dengan situasi pelaksanaan pilkada serentak yang pada 2020 berlaku secara nasional? Penulis berkeyakinan bahwa ketentuan tersebut sudah tidak relevan dan mestinya dipertimbangkan untuk diubah oleh pembuat UU saat ini yang sedang melakukan revisi terhadap ketentuan UU Nomor 1/2015 dan UU Nomor 8/2015 dengan beberapa alasan.
Pertama, kesepakatan nasional yang telah menjadi open legal policy saat ini menetapkan bahwa pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia dilangsungkan satu putaran. Pembuat hukum telah memilih model majority system menggantikan model plurality system dengan pertimbangan efisiensi waktu dan biaya. Lagipula dengan model penurunan tingkat partisipasi pemilih dari waktu ke waktu dan tidak ada pengaruh signifikan antara minimal perolehan suara 30% atau 50%, dengan legitimasi kepemimpinan politik kepala daerah, semakin memperkuat argumen pilihan legal policy tersebut. Hasilnya, aturan yang menetapkan syarat minimal perolehan suara di dalam UU Pilkada dihapus.
Policy sistem ini harusnya berlaku untuk seluruh pelaksanaan pilkada tanpa kecuali. Perubahan kebijakan sistem dari majority ke plurality yang dimulai dengan pemberlakuan UU Nomor 8/2015 (Vide Pasal 107) harusnya diikuti oleh UU Nomor 29/2007. Ini bukan sekadar berbicara soal posisi dan dasar kekhususan, melainkan pada konsistensi perubahan kebijakan dari satu model sistem ke sistem lain. Di mana kebijakan tersebut (open legal policy) merupakan ratio legis (Arab: ‘illat ) dari sebuah produk hukum yang oleh MK sering dijadikan sebagai dasar penetapan konstitusionalitas sebuah norma UU.
Mengikuti prinsip yang dikenal dalam ilmu Ushul Fiqh (jurisprudensi hukum Islam), hukum itu berlaku dan berubah sesuai dengan keberadaan ‘illat -nya (al hukmu aduru ma’a ‘illatihi ). Ketika ‘illat-nya (kebijakan) berubah, sudah seharusnya ketentuan hukumnya juga berubah. ‘Illat yang menjadi dasar hukum ini adalah hukum itu sendiri sehingga dengan datangnya belakangan, ketentuan asas dari legal maxim "lex posterior derogat legi priori" patut dipertimbangkan dalam memahami situasi hukum ini.
Singkatnya, open legal policy para pembuat UU yang memilih sistem plurality untuk pilkada saat ini telah me-naskh (membatalkan) open legal policy lama yang memilih sistem majority. Perubahan kebijakan inilah yang harus dipahami secara kontekstual dan holistik oleh penyelenggara pemilihan dan juga aparat hukum lain. Khususnya, dalam melaksanakan Pilgub DKI Jakarta tahun depan yang merupakan bagian dari rangkaian pilkada serentak dengan daerah lain di Indonesia.
Konsisten dan sebagai turunan dari argumen di atas, sebagai alasan kedua, pilkada serentak dapat dimaknai tidak hanya serentak waktunya, tapi juga serentak dan seragam perangkat hukumnya. Dari aspek waktu, jika pilgub di Ibu Kota tetap mungkin dilaksanakan dua putaran, keserentakan itu menjadi tiada. Pada saat seluruh pilkada di daerah lain pada 2017 dan pada 2020 telah usai, masih ada kemungkinan akan tersisa satu lagi pilkada yang dilaksanakan terpisah yaitu pilgub putaran kedua di Ibu Kota. Di mana aspek serentaknya jika KPU DKI Jakarta masih dibebani lagi dengan satu putaran pada saat seluruh KPU lain sudah selesai menjalankan tugasnya?
"Ketidakserentakan" Pilgub DKI Jakarta karena ketidakselarasan hukumnya dengan daerah lain harus "diluruskan" dengan memahami konteks perubahan kebijakan yang telah diuraikan di atas. Karena, kekhususan ini sangat berbeda secara prinsip dan fundamental dengan perubahan open legal policy para pembuat undang-undang.
Berbeda halnya dengan kekhususan Pilkada Aceh dan Papua yang hanya masuk pada aspek syarat calon yakni harus bisa membaca Alquran untuk Aceh dan harus orang asli untuk Papua. Kekhususan pada dua wilayah terakhir ini tidak bertentangan dengan open legal policy pada aspek perubahan model sistem pemilihan, tapi lebih pada aspek assesoir yang tidak berhubungan dengan sistem/model dan visi serta tujuan dari diinginkannya pelaksanaan pilkada serentak secara nasional.
Di sini terlihat bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 29/2007 tidak lagi sesuai dengan kehendak para pembuat UU saat ini dan juga tidak sejalan dengan visi dan kehendak nasional untuk melaksanakan pilkada serentak secara nasional. Apakah hanya dengan berdalih tentang kekhususan Ibu Kota, kehendak nasional ini harus tetap mendapatkan pengecualian?
Para pakar hukum tata negara dan pastinya para pembuat hukum itu sendiri harus memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hal ini. Karena, ini menyangkut visi politik kepemiluan nasional yang harus diintegrasikan perangkat dan kebijakannya secara komprehensif.
Ketiga, kekhususan Ibu Kota sebagaimana telah ditegaskan oleh MK pada dasarnya menyangkut aspek bestuurvoering (pemerintahan). Meski MK mengakui ada korelasi antara aspek pemerintahan tersebut dengan aspek pemilihan kepala daerah, secara khusus pemilihan tidak menyangkut wilayah pemerintahan semata, tapi juga menyangkut hak individual warga negara (right to vote).
Dengan tetap memungkinkan ada putaran kedua dalam pilgub, secara langsung negara telah memberikan privilese kepada warga pemilih Ibu Kota. Pada saat seluruh warga di luar Ibu Kota hanya diberikan hak memilih satu kali dalam pilkada karena perubahan legal policy dan sistem pemilihan, warga Ibu Kota tetap memegang hak memilih lebih dari satu kali jika ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 29/2007 diterapkan.
Ketentuan tersebut dahulu tidak dianggap diskriminatif dan masih dianggap sesuai dengan konstitusi. Pada saat yang sama warga negara Indonesia di luar Ibu Kota pun masih diberikan hak serupa karena model dan sistem pemilihan yang berlaku juga sama. Perbedaannya hanya pada aspek persentase angka mayoritas untuk dapat digunakannya hak memilih putaran kedua.
Tetapi, kini dasar fundamental hak tersebut telah dihilangkan oleh pembuat hukum untuk warga pemilih di luar Ibu Kota. Jika hak putaran kedua pilkada ini hanya diberikan kepada warga negara pemilih di Ibu Kota, di manakah kemudian letak persamaan hukum bagi setiap warga negara dalam konteks ini?
Dengan beberapa argumen dan pertanyaan di atas, sudah seharusnya para pembuat hukum memperhatikan aspek hukum berlangsungnya pemilu secara lebih komprehensif dan integratif sehingga tidak menyisakan ada ruang pembedaan yang berdampak fundamental terhadap visi dan misi kenegaraan yang lebih besar. Dalam pembahasan revisi UU Pilkada yang berlangsung di parlemen, diharapkan pemerintah dan DPR dapat membuat kepastian dan konsistensi kebijakan dengan menetapkan Pilgub DKI Jakarta seperti wilayah lain di Indonesia, tanpa menghilangkan aspek kekhususan Ibu Kota dalam aspek pemerintahan.
(poe)