Anggaran Masuk di Bank
A
A
A
TAK sedikit anggaran daerah hanya mengendap di bank pembangunan daerah (BPD) dan sejumlah bank swasta, sehingga dana tersebut tidak bisa dibelanjakan secara tepat untuk pembangunan di daerah. Atas kenyataan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerukan kepada kepala daerah, terutama para gubernur, untuk segera membelanjakan anggaran tersebut. Anggaran daerah yang termonitor disimpan di BPD mencapai Rp90 triliun pada akhir Desember 2015. Dan empat bulan kemudian tepatnya akhir April lalu, anggaran daerah yang "menganggur" menggelembung menjadi sebesar Rp220 triliun. Karena itu, Presiden Jokowi sudah meminta Kementerian Keuangan agar anggaran daerah yang hanya disimpan di bank diubah saja menjadi surat utang agar bisa diputar untuk kepentingan pembangunan.
Presiden Jokowi sangat menyayangkan sikap pemerintah daerah yang tidak peka terhadap penggunaan anggaran yang seharusnya. Mantan gubernur DKI Jakarta itu sudah mengantongi data-data daerah yang menyimpan anggaran cukup besar. Namun, Presiden tak bersedia membeberkan dari daerah mana saja dengan alasan untuk menghindari kegaduhan. "Tidak perlu saya bacakan, ribut nanti. Mana yang nyimpen paling banyak jadi ribut nanti," tegasnya. Di hadapan para gubernur, wali kota, dan bupati se-Indonesia, orang nomor satu di Indonesia itu menyatakan pemerintah pusat pontang-panting cari dana untuk ditransfer ke daerah tetapi di daerah hanya disimpan di bank.
Tindakan pemerintah daerah yang memendam anggaran pembangunan di bank, oleh Presiden Jokowi dinilai melanjutkan kebiasaan buruk yang berhubungan dengan perencanaan anggaran daerah. Karena itu, saat Presiden memberikan pembekalan pada penutupan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2016, di Istana Negara Jakarta, kemarin, meminta kepada pemerintah daerah terutama gubernur memfokuskan perencanaan anggaran pada program kerja pada daerah masing-masing bukan dibagi secara merata. Pemerintah pusat menginginkan orientasi anggaran daerah bukan pada money follow function, melainkan menjadi money follow program . Selain itu, para wakil rakyat di daerah diminta mengawal dan mengontrol kegiatan penganggaran agar tepat sasaran.
Perilaku pemerintah daerah yang menunda membelanjakan anggaran pembangunan dan memilih menyimpan di bank adalah sebuah persoalan klasik. Para pemerintah daerah bukannya tidak paham kalau tindakan tersebut adalah sebuah pelanggaran besar, tetapi mereka punya alasan tersendiri mengapa memarkir anggaran daerah di BPD yang kemudian ditempatkan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang bunganya dibayar BI. Misalnya menyangkut kebijakan Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang masih membingungkan. Daripada melakukan tindakan salah dalam penggunaan anggaran, lalu memilih jalan aman dengan menyimpan di bank.
Benarkah alasan itu? Apa pun alasannya, rasanya sulit untuk membenarkan tindakan pemerintah daerah tersebut karena secara langsung sudah menghambat laju pembangunan di daerah, yang justru sangat diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Memang, penggunaan anggaran harus dilakukan dengan hati-hati, karena itu bukan berarti sekadar membelanjakan tetapi wajib dialokasikan pada sektor-sektor produktif, terutama berkaitan dengan pembangunan infrastruktur di daerah yang jauh dari memadai.
Tindakan pemerintah daerah menyimpan anggaran pembangunan di bank, baik BPD maupun bank swasta berimplikasi kepada kenaikan suku bunga deposito secara nasional. Karena dana yang tersedia cukup besar, menurut Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, dengan sendirinya menjadi incaran industri perbankan. Akibatnya, kalangan perbankan berlomba-lomba menawarkan suku bunga deposito yang tinggi untuk menggaet nasabah sebanyak-banyaknya. Tentu banyak implikasi lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi terutama pembukaan lapangan pekerjaan di tengah masyarakat.
Sebelumnya, Presiden Jokowi sudah menyemprot para pembantunya yang dinilai belum maksimal melakukan penyerapan anggaran. Hal itu terbukti dari pertumbuhan perekonomian nasional pada kuartal pertama 2016 masih di bawah target. Pemerintah menargetkan pertumbuhan sebesar 5,3%, tetapi fakta berbicara lain dengan realisasi hanya sekitar 4,92%. Karena itu, sangat bisa dipahami jika Presiden Jokowi memarahi para kepala daerah yang bermain-main dengan anggaran dalam arti tidak membelanjakan sesuai peruntukannya. Tentu marah saja tidak cukup, harus ada sanksi tegas bagi yang melanggar.
Presiden Jokowi sangat menyayangkan sikap pemerintah daerah yang tidak peka terhadap penggunaan anggaran yang seharusnya. Mantan gubernur DKI Jakarta itu sudah mengantongi data-data daerah yang menyimpan anggaran cukup besar. Namun, Presiden tak bersedia membeberkan dari daerah mana saja dengan alasan untuk menghindari kegaduhan. "Tidak perlu saya bacakan, ribut nanti. Mana yang nyimpen paling banyak jadi ribut nanti," tegasnya. Di hadapan para gubernur, wali kota, dan bupati se-Indonesia, orang nomor satu di Indonesia itu menyatakan pemerintah pusat pontang-panting cari dana untuk ditransfer ke daerah tetapi di daerah hanya disimpan di bank.
Tindakan pemerintah daerah yang memendam anggaran pembangunan di bank, oleh Presiden Jokowi dinilai melanjutkan kebiasaan buruk yang berhubungan dengan perencanaan anggaran daerah. Karena itu, saat Presiden memberikan pembekalan pada penutupan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2016, di Istana Negara Jakarta, kemarin, meminta kepada pemerintah daerah terutama gubernur memfokuskan perencanaan anggaran pada program kerja pada daerah masing-masing bukan dibagi secara merata. Pemerintah pusat menginginkan orientasi anggaran daerah bukan pada money follow function, melainkan menjadi money follow program . Selain itu, para wakil rakyat di daerah diminta mengawal dan mengontrol kegiatan penganggaran agar tepat sasaran.
Perilaku pemerintah daerah yang menunda membelanjakan anggaran pembangunan dan memilih menyimpan di bank adalah sebuah persoalan klasik. Para pemerintah daerah bukannya tidak paham kalau tindakan tersebut adalah sebuah pelanggaran besar, tetapi mereka punya alasan tersendiri mengapa memarkir anggaran daerah di BPD yang kemudian ditempatkan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang bunganya dibayar BI. Misalnya menyangkut kebijakan Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang masih membingungkan. Daripada melakukan tindakan salah dalam penggunaan anggaran, lalu memilih jalan aman dengan menyimpan di bank.
Benarkah alasan itu? Apa pun alasannya, rasanya sulit untuk membenarkan tindakan pemerintah daerah tersebut karena secara langsung sudah menghambat laju pembangunan di daerah, yang justru sangat diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Memang, penggunaan anggaran harus dilakukan dengan hati-hati, karena itu bukan berarti sekadar membelanjakan tetapi wajib dialokasikan pada sektor-sektor produktif, terutama berkaitan dengan pembangunan infrastruktur di daerah yang jauh dari memadai.
Tindakan pemerintah daerah menyimpan anggaran pembangunan di bank, baik BPD maupun bank swasta berimplikasi kepada kenaikan suku bunga deposito secara nasional. Karena dana yang tersedia cukup besar, menurut Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, dengan sendirinya menjadi incaran industri perbankan. Akibatnya, kalangan perbankan berlomba-lomba menawarkan suku bunga deposito yang tinggi untuk menggaet nasabah sebanyak-banyaknya. Tentu banyak implikasi lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi terutama pembukaan lapangan pekerjaan di tengah masyarakat.
Sebelumnya, Presiden Jokowi sudah menyemprot para pembantunya yang dinilai belum maksimal melakukan penyerapan anggaran. Hal itu terbukti dari pertumbuhan perekonomian nasional pada kuartal pertama 2016 masih di bawah target. Pemerintah menargetkan pertumbuhan sebesar 5,3%, tetapi fakta berbicara lain dengan realisasi hanya sekitar 4,92%. Karena itu, sangat bisa dipahami jika Presiden Jokowi memarahi para kepala daerah yang bermain-main dengan anggaran dalam arti tidak membelanjakan sesuai peruntukannya. Tentu marah saja tidak cukup, harus ada sanksi tegas bagi yang melanggar.
(poe)