Dongeng Leicester
A
A
A
PADA musim 2013/2014, kebahagiaan menaungi Kota Leicester, Inggris, karena tim sepak bola kesayangan mereka promosi ke Premier League (tingkat tertinggi kompetisi sepak bola Inggris) setelah menjuarai divisi Championship (tingkat kedua kompetisi sepak bola Inggris). Memasuki musim 2014/2015 Leicester harus berjuang mati-matian karena nyaris terdegradasi ke divisi Championship atau kembali ke sepak bola kasta kedua. Memasuki musim 2015/2016 Leicester mempunyai target yang tak muluk yaitu tetap bertahan di Premier League dengan meraup poin 40.
Target yang realistis dari sebuah klub kecil yang nilai pemainnya hanya sekitar 40 juta pound tak sebanding dengan klub besar lain di Premier League yang menggelontorkan dana hingga ratusan juta pound untuk belanja pemain. Nilai seluruh pemain Leicester bahkan masih kalah dengan bintang Manchester City yang baru direkrut tahun lalu, Kevin de Bryune, yang mencapai 55 juta pound atau bintang Manchester United Anthony Martial yang mencapai 50 juta pound. Bahkan sangat jauh lagi dengan nilai dua bintang sepak bola dunia saat ini, Christiano Ronaldo dan Lionel Messi, yang bernilai lebih dari 100 juta pound.
Namun, siapa sangka, jika hanya ingin bertahan di kompetisi dan dengan modal pemain murah, Leicester justru menjadi juara Premier League musim 2015/2016. Mungkin level kebahagiaan masyarakat Leicester sangat lebih dibandingkan musim 2013/2014. Bak cerita dongeng atau bak mission impossible yang benar-benar terjadi. Probabilitas Leicester bahkan menjadi juara adalah 1:5.000 atau hanya 0,02%.
Siapa yang akan menyangka tim murah dan tanpa juara ini justru sekarang menjadi tim paling fenomenal sejagat, mengalahkan tim-tim besar seperti Arsenal, duo Manchester, Chelsea, Liverpool, atau tim-tim papan tengah yang lain. Leicester adalah tim papan bawah yang menjelma menjadi raksasa dan mampu mengangkangi tim-tim besar.
Leicester memang fenomenal. Mereka mengubah dongeng menjadi kisah nyata dan menjadikan mimpi menjadi realita. Siapa sangka jika salah satu perusahaan pengamat bisnis sepak bola di Inggris menyebut revenue penjualan jersey mereka naik drastis dari yang hanya 1 juta pound pada musim lalu menjadi 1 miliar pound di musim ini. Nilai beberapa pemain pun melambung dan diyakini akan menambah kas Leicester. Belum lagi hak siar kompetisi tahun depan yang mereka peroleh dari Premier League dan Liga Champions. Nilai sponsorship Leicester pun diyakini akan naik.
Banyak yang mempertanyakan, resep apa yang membuat Leicester menjadi juara, padahal tidak ada pemain bintang di sana? Sulit untuk menjawab dari pendekatan statistik musim lalu maupun dari sisi sejarah. Dari sisi pelatih, Claudio Ranieri pun bukanlah pelatih yang hebat dan dengan mudah membawa tim juara. The Thinkerman (julukan Ranieri) bahkan pelatih spesialis runner-up. Namun, satu hal, mereka bekerja dengan satu tim yang kompak sehingga membuat mereka sangat solid bertahan (hanya tiga kali kalah dari dua tim) dan cepat dalam menyerang (22 kali menang dengan 64 gol hingga pekan 36). Sebagian pihak mungkin akan mengatakan hanya keberuntungan. Namun, bukankah keberuntungan bisa didatangkan jika terus berulangkali mencoba untuk menjadi yang terbaik.
Dongeng Leicester sangat menarik untuk direnungi. Mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin dan mengubah dongeng menjadi kisah nyata. Mimpi sebagai juara pun tidak ada di pikiran mereka, namun justru hal yang sangat luar biasa yang mereka dapat. Usaha Leicester patutlah menjadi contoh bagi kita semua. Tidak ada yang mustahil dalam dunia ini jika kita mau berusaha. Bayangkan, Leicester sudah melakukan 48 kali (terbanyak di klub Inggris) mencoba untuk menggapai juara atau nomor satu di sepak bola Inggris.
Bermimpi dan terus berusaha tampaknya akan mampu mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin, serta mengubah dongeng menjadi kisah nyata yang happy ending. Jika kita hanya berusaha 10 atau 11 kali, atau bahkan baru sekali, lantas menyerah, tidak ada kamus dalam dongeng keberhasilan Leicester. Jika hanya beberapa kali berusaha lantas menyerah, tidak akan bisa mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin. Jadi, pantaslah dongeng Leicester bisa memberikan kita inspirasi demi kebaikan kita semua.
Target yang realistis dari sebuah klub kecil yang nilai pemainnya hanya sekitar 40 juta pound tak sebanding dengan klub besar lain di Premier League yang menggelontorkan dana hingga ratusan juta pound untuk belanja pemain. Nilai seluruh pemain Leicester bahkan masih kalah dengan bintang Manchester City yang baru direkrut tahun lalu, Kevin de Bryune, yang mencapai 55 juta pound atau bintang Manchester United Anthony Martial yang mencapai 50 juta pound. Bahkan sangat jauh lagi dengan nilai dua bintang sepak bola dunia saat ini, Christiano Ronaldo dan Lionel Messi, yang bernilai lebih dari 100 juta pound.
Namun, siapa sangka, jika hanya ingin bertahan di kompetisi dan dengan modal pemain murah, Leicester justru menjadi juara Premier League musim 2015/2016. Mungkin level kebahagiaan masyarakat Leicester sangat lebih dibandingkan musim 2013/2014. Bak cerita dongeng atau bak mission impossible yang benar-benar terjadi. Probabilitas Leicester bahkan menjadi juara adalah 1:5.000 atau hanya 0,02%.
Siapa yang akan menyangka tim murah dan tanpa juara ini justru sekarang menjadi tim paling fenomenal sejagat, mengalahkan tim-tim besar seperti Arsenal, duo Manchester, Chelsea, Liverpool, atau tim-tim papan tengah yang lain. Leicester adalah tim papan bawah yang menjelma menjadi raksasa dan mampu mengangkangi tim-tim besar.
Leicester memang fenomenal. Mereka mengubah dongeng menjadi kisah nyata dan menjadikan mimpi menjadi realita. Siapa sangka jika salah satu perusahaan pengamat bisnis sepak bola di Inggris menyebut revenue penjualan jersey mereka naik drastis dari yang hanya 1 juta pound pada musim lalu menjadi 1 miliar pound di musim ini. Nilai beberapa pemain pun melambung dan diyakini akan menambah kas Leicester. Belum lagi hak siar kompetisi tahun depan yang mereka peroleh dari Premier League dan Liga Champions. Nilai sponsorship Leicester pun diyakini akan naik.
Banyak yang mempertanyakan, resep apa yang membuat Leicester menjadi juara, padahal tidak ada pemain bintang di sana? Sulit untuk menjawab dari pendekatan statistik musim lalu maupun dari sisi sejarah. Dari sisi pelatih, Claudio Ranieri pun bukanlah pelatih yang hebat dan dengan mudah membawa tim juara. The Thinkerman (julukan Ranieri) bahkan pelatih spesialis runner-up. Namun, satu hal, mereka bekerja dengan satu tim yang kompak sehingga membuat mereka sangat solid bertahan (hanya tiga kali kalah dari dua tim) dan cepat dalam menyerang (22 kali menang dengan 64 gol hingga pekan 36). Sebagian pihak mungkin akan mengatakan hanya keberuntungan. Namun, bukankah keberuntungan bisa didatangkan jika terus berulangkali mencoba untuk menjadi yang terbaik.
Dongeng Leicester sangat menarik untuk direnungi. Mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin dan mengubah dongeng menjadi kisah nyata. Mimpi sebagai juara pun tidak ada di pikiran mereka, namun justru hal yang sangat luar biasa yang mereka dapat. Usaha Leicester patutlah menjadi contoh bagi kita semua. Tidak ada yang mustahil dalam dunia ini jika kita mau berusaha. Bayangkan, Leicester sudah melakukan 48 kali (terbanyak di klub Inggris) mencoba untuk menggapai juara atau nomor satu di sepak bola Inggris.
Bermimpi dan terus berusaha tampaknya akan mampu mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin, serta mengubah dongeng menjadi kisah nyata yang happy ending. Jika kita hanya berusaha 10 atau 11 kali, atau bahkan baru sekali, lantas menyerah, tidak ada kamus dalam dongeng keberhasilan Leicester. Jika hanya beberapa kali berusaha lantas menyerah, tidak akan bisa mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin. Jadi, pantaslah dongeng Leicester bisa memberikan kita inspirasi demi kebaikan kita semua.
(poe)