Anak Jujur Bangsa Mujur
A
A
A
MALAM di Jakarta sudah semakin larut pada Senin 18 April 2016. Embusan angin pun kian bertambah dingin. Tapi kondisi itu tak menghentikan Djaka Susila, Wakil Pemimpan Redaksi Koran SINDO menceritakan pendidikan dan perilaku anaknya, Tama yang berusia empat tahun.
Tama sudah mengenyam pendidikan playgroup selama 1,5 tahun di bawah naungan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI)
Djaka terlihat ekspresif menceritakan pendidikan Tama yang diperoleh di dalam keluarga dan playgroup. Bagi Djaka, orangtua dan keluarga adalah pendidik terbaik, terutama sebelum anak mengenyam pendidikan formal. Orangtua merupakan pemberi teladan terbaik untuk mengajarkan nilai-nilai hidup, termasuk nilai antikorupsi.
Nilai-nilai itu di antaranya kejujuran, disiplin, tidak melakukan pelanggaran, tidak mengambil hak orang lain, mandiri, serta peduli terhadap sesama dan lingkungan. Semua ditanamkan Djaka kepada Tama, sama seperti diperoleh Djaka dari orangtuanya.
"Sikap dan prinsip itu penting untuk masa depan anak. Kita sebagai orangtua hanya bisa persiapkan mereka karena mereka akan hidup di masa mereka," ujar Djaka.
Pria asal Solo, Jawa Tengah ini menarik napas sejenak kemudian mengisahkan ungkapan dan sikap jujur Tama. Suatu ketika Djaka bersama keluarga hendak berlibur ke luar Jakarta. Djaka menyampaikan kepada Tama agar istirahat cepat saat malam hari sebelum esok pagi berangkat.
Saat hendak menuju kamar tidurnya, Tama ditanya ibundanya mau ke mana. Tama mengucapkan hendak tidur karena biar bisa ikut liburan keesokan harinya bersama ayah. "Dan, ternyata benar dia tidur. Nah itu jujur dengan sikap, perbuatan," kata Djaka.
Dia melanjutkan, kejujuran Tama berkaitan dengan kebiasaan tidur siang yang sudah sejak awal diterapkan Djaka dan istri. Suatu hari Tama pulang dengan sepedanya. Djaka dengan lembut menegur Tama. Terjadi percakapan singkat antara keduanya.
"Saya tanya, dari mana Mas Tama? Kok enggak tidur siang? Dia jawab, baru habis main sepeda, ayah. Tadi enggak tidur siang. Nah, aku melihatnya, ini kan dia mengakui, jujur," ungkap Djaka.
Nah, kejujuran Djaka pernah ditanggih secara tak langsung oleh Tama. Suatu hari Djaka tak pulang ke rumah karena harus menunaikan dan menyelesaikan tugas. Sebab hari itu ada kejadian penting. Djaka pun menginap di kantor.
Saat pulang ke rumah pagi harinya, Djaka disambut Tama yang menanyakan kenapa dirinya tidak pulang tadi malam. Dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami Tama, Djaka terbuka dan dengan jujur menjelaskan alasannya. "Masak kita orangtua ajarkan anak jujur, kita sendiri enggak jujur. Dia (Tama) akhirnya bisa menerima dan paham alasan saya," tuturnya.
Beberapa hari lalu, Djaka bersama istri dan dua anaknya, termasuk Tama menonton film keluarga The Jungle Book di bioskop. Djaka mengantre untuk membeli tiket. Beberapa detik kemudian, Djaka mengajak Tama untuk mendampinginya di barisan antrean. Serta merta Tama menanyakan kepada ayahnya kenapa tidak langsung maju saja.
Dengan penuh kasih sayang, Djaka menyampaikan, kita tak boleh mendahului atau menyerobot orang lain. Siapa yang belakangan datang maka harus antre.
Tama manggut-manggut. Djaka sebenarnya ingin menyampaikan kepada Tama tak boleh mengambil urutan depan antrean karena itu hak orang lain. Karena merasa capek, Tama akhirnya meninggalkan Djaka dan kembali ke sang ibu yang tersenyum.
"Di usia empat tahun kan anak belum mengerti hak. Budaya antre itu untuk ajarkan anak tertib, disiplin, dan enggak ambil hak orang lain," tutur Djaka.
Ihwal budaya antre ini rupanya terpahat dalam diri Tama. Tak berselang lama setelah peristiwa bioskop itu, Djaka hendak menjemput Tama di playgroup-nya. Setiba di sana, Djaka menyaksikan Tama sedang menyentuh kakinya yang terkena sampah. Tama langsung berlari ke teman sebayanya yang sedang mengantre menuju keran air.
"Mas Tama langsung masuk ke tengah antrean. Beberapa detik dia sadar, dia langsung kembali ke antrean paling belakang," ungkap Djaka tertawa.
Dia melanjutkan, bersama istrinya selalu mendidik Tama agar tak boleh mengambil barang orang lain, termasuk milik teman-teman apapun bentuknya. Pendidikan itu rupanya membekas di sanubari Tama.
Tama bahkan akhirnya sering kali meminta izin lebih dahulu kepada temannya saat hendak meminjam buku, mainan, dan sepeda. "Dia juga sampai bilang ke temannya kalau mau pakai mainan punya teman lain harus pinjam dan izin dahulu. Dia sendiri lho yang inisiatif kasi tahu begitu," ungkapnya.
Sikap mandiri Tama tercermin saat mandi dan makan yang dilakukannya sendiri. Ini bermula dari arahan Djaka dan sang istri. Kemandirian Tama juga terlihat dari kemampuannya membersihkan dan menyuci sepeda kesukaannya.
Soal cuci sepeda, Djaka menuturkan, semula dirinya mencuci motor dan mobil. Tama dengan saksama memperhatikan kerja ayahnya. Sesekali Tama menanyakan, sabun apa yang dipakai. Dan, akhirnya Tama secara mandiri mencuci sepedanya.
"Sikap antikorupsi seharusnya dimulai dari itu semua," kata Djaka.
Djaka dan istri juga memberikan kebebasan Tama dan adiknya untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas.
Menurut Djaka, tugas orangtua hanya mengarahkan agar anak dapat mengeluarkan kemampuan sesuai minat dan bakat. Dengan sedikit berkelakar, Djaka mengutip ucapan Albert Einstein dan Kahlil Gibran.
"Tidak mungkin menyuruh burung belajar berenang. Kahlil Gibran bilang, anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri," ucap Djaka menutup cerita.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Thony Saut Situmorang mengatakan, yang rawan di bangsa dan negara kita saat ini ialah kecenderungan karakter dan integritas yang lemah dan berubah-ubah. Waktu belum menjabat baik, setelah menjabat menjadi jahat.
"Padahal karekter yang baik adalah sustainable (berkesinambungan), teguh, kuat, solid dan tidak luluh oleh tekanan apapun," kata Saut kepada KORAN SINDO.
Menurut dia, karakter dan integritas yang lemah itu menjadi masalah ketika kita membahas Sistem Integritas Nasional (SIN). Dibandingkan seorang ayah, biasanya ibu relatif lebih banyak bergaul dengan anak.
Karenanya Saut berpandangan, seorang ayah harus memperbanyak interaksi dengan anak. Selanjutnya, Saut mengungkapkan orangtua bisa membentuk budaya kejujuran, kebenaran, dan keadilan sejak awal.
Yang melakukan kesalahan harus ditegur dan memberikan penghargaan kalau anak benar, jujur, dan adil. Keterpanduan sosok ibu dan ayah memberikan pendidikan kejujuran dan integritas kepada anak bisa menjadi faktor jaminan kecemerlangan masa depan bangsa.
"Anak-anak harus dididik dengan konsisten tentang kejujuran, kebenaran, dan keadilan karena dengan itu pasti generasi dan masa depan bangsa ini cemerlang," ungkap Saut.
Tama sudah mengenyam pendidikan playgroup selama 1,5 tahun di bawah naungan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI)
Djaka terlihat ekspresif menceritakan pendidikan Tama yang diperoleh di dalam keluarga dan playgroup. Bagi Djaka, orangtua dan keluarga adalah pendidik terbaik, terutama sebelum anak mengenyam pendidikan formal. Orangtua merupakan pemberi teladan terbaik untuk mengajarkan nilai-nilai hidup, termasuk nilai antikorupsi.
Nilai-nilai itu di antaranya kejujuran, disiplin, tidak melakukan pelanggaran, tidak mengambil hak orang lain, mandiri, serta peduli terhadap sesama dan lingkungan. Semua ditanamkan Djaka kepada Tama, sama seperti diperoleh Djaka dari orangtuanya.
"Sikap dan prinsip itu penting untuk masa depan anak. Kita sebagai orangtua hanya bisa persiapkan mereka karena mereka akan hidup di masa mereka," ujar Djaka.
Pria asal Solo, Jawa Tengah ini menarik napas sejenak kemudian mengisahkan ungkapan dan sikap jujur Tama. Suatu ketika Djaka bersama keluarga hendak berlibur ke luar Jakarta. Djaka menyampaikan kepada Tama agar istirahat cepat saat malam hari sebelum esok pagi berangkat.
Saat hendak menuju kamar tidurnya, Tama ditanya ibundanya mau ke mana. Tama mengucapkan hendak tidur karena biar bisa ikut liburan keesokan harinya bersama ayah. "Dan, ternyata benar dia tidur. Nah itu jujur dengan sikap, perbuatan," kata Djaka.
Dia melanjutkan, kejujuran Tama berkaitan dengan kebiasaan tidur siang yang sudah sejak awal diterapkan Djaka dan istri. Suatu hari Tama pulang dengan sepedanya. Djaka dengan lembut menegur Tama. Terjadi percakapan singkat antara keduanya.
"Saya tanya, dari mana Mas Tama? Kok enggak tidur siang? Dia jawab, baru habis main sepeda, ayah. Tadi enggak tidur siang. Nah, aku melihatnya, ini kan dia mengakui, jujur," ungkap Djaka.
Nah, kejujuran Djaka pernah ditanggih secara tak langsung oleh Tama. Suatu hari Djaka tak pulang ke rumah karena harus menunaikan dan menyelesaikan tugas. Sebab hari itu ada kejadian penting. Djaka pun menginap di kantor.
Saat pulang ke rumah pagi harinya, Djaka disambut Tama yang menanyakan kenapa dirinya tidak pulang tadi malam. Dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami Tama, Djaka terbuka dan dengan jujur menjelaskan alasannya. "Masak kita orangtua ajarkan anak jujur, kita sendiri enggak jujur. Dia (Tama) akhirnya bisa menerima dan paham alasan saya," tuturnya.
Beberapa hari lalu, Djaka bersama istri dan dua anaknya, termasuk Tama menonton film keluarga The Jungle Book di bioskop. Djaka mengantre untuk membeli tiket. Beberapa detik kemudian, Djaka mengajak Tama untuk mendampinginya di barisan antrean. Serta merta Tama menanyakan kepada ayahnya kenapa tidak langsung maju saja.
Dengan penuh kasih sayang, Djaka menyampaikan, kita tak boleh mendahului atau menyerobot orang lain. Siapa yang belakangan datang maka harus antre.
Tama manggut-manggut. Djaka sebenarnya ingin menyampaikan kepada Tama tak boleh mengambil urutan depan antrean karena itu hak orang lain. Karena merasa capek, Tama akhirnya meninggalkan Djaka dan kembali ke sang ibu yang tersenyum.
"Di usia empat tahun kan anak belum mengerti hak. Budaya antre itu untuk ajarkan anak tertib, disiplin, dan enggak ambil hak orang lain," tutur Djaka.
Ihwal budaya antre ini rupanya terpahat dalam diri Tama. Tak berselang lama setelah peristiwa bioskop itu, Djaka hendak menjemput Tama di playgroup-nya. Setiba di sana, Djaka menyaksikan Tama sedang menyentuh kakinya yang terkena sampah. Tama langsung berlari ke teman sebayanya yang sedang mengantre menuju keran air.
"Mas Tama langsung masuk ke tengah antrean. Beberapa detik dia sadar, dia langsung kembali ke antrean paling belakang," ungkap Djaka tertawa.
Dia melanjutkan, bersama istrinya selalu mendidik Tama agar tak boleh mengambil barang orang lain, termasuk milik teman-teman apapun bentuknya. Pendidikan itu rupanya membekas di sanubari Tama.
Tama bahkan akhirnya sering kali meminta izin lebih dahulu kepada temannya saat hendak meminjam buku, mainan, dan sepeda. "Dia juga sampai bilang ke temannya kalau mau pakai mainan punya teman lain harus pinjam dan izin dahulu. Dia sendiri lho yang inisiatif kasi tahu begitu," ungkapnya.
Sikap mandiri Tama tercermin saat mandi dan makan yang dilakukannya sendiri. Ini bermula dari arahan Djaka dan sang istri. Kemandirian Tama juga terlihat dari kemampuannya membersihkan dan menyuci sepeda kesukaannya.
Soal cuci sepeda, Djaka menuturkan, semula dirinya mencuci motor dan mobil. Tama dengan saksama memperhatikan kerja ayahnya. Sesekali Tama menanyakan, sabun apa yang dipakai. Dan, akhirnya Tama secara mandiri mencuci sepedanya.
"Sikap antikorupsi seharusnya dimulai dari itu semua," kata Djaka.
Djaka dan istri juga memberikan kebebasan Tama dan adiknya untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas.
Menurut Djaka, tugas orangtua hanya mengarahkan agar anak dapat mengeluarkan kemampuan sesuai minat dan bakat. Dengan sedikit berkelakar, Djaka mengutip ucapan Albert Einstein dan Kahlil Gibran.
"Tidak mungkin menyuruh burung belajar berenang. Kahlil Gibran bilang, anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri," ucap Djaka menutup cerita.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Thony Saut Situmorang mengatakan, yang rawan di bangsa dan negara kita saat ini ialah kecenderungan karakter dan integritas yang lemah dan berubah-ubah. Waktu belum menjabat baik, setelah menjabat menjadi jahat.
"Padahal karekter yang baik adalah sustainable (berkesinambungan), teguh, kuat, solid dan tidak luluh oleh tekanan apapun," kata Saut kepada KORAN SINDO.
Menurut dia, karakter dan integritas yang lemah itu menjadi masalah ketika kita membahas Sistem Integritas Nasional (SIN). Dibandingkan seorang ayah, biasanya ibu relatif lebih banyak bergaul dengan anak.
Karenanya Saut berpandangan, seorang ayah harus memperbanyak interaksi dengan anak. Selanjutnya, Saut mengungkapkan orangtua bisa membentuk budaya kejujuran, kebenaran, dan keadilan sejak awal.
Yang melakukan kesalahan harus ditegur dan memberikan penghargaan kalau anak benar, jujur, dan adil. Keterpanduan sosok ibu dan ayah memberikan pendidikan kejujuran dan integritas kepada anak bisa menjadi faktor jaminan kecemerlangan masa depan bangsa.
"Anak-anak harus dididik dengan konsisten tentang kejujuran, kebenaran, dan keadilan karena dengan itu pasti generasi dan masa depan bangsa ini cemerlang," ungkap Saut.
(dam)