Sumber Waras Bukan Pertarungan Opini
A
A
A
IBARAT bola salju, kasus penyimpangan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras semakin bergulir dan membesar. Kasus tersebut juga sudah menyedot sebagian besar ruang perhatian publik.
Kondisi ini terjadi karena kontroversi kasus ini menyeret tokoh yang tengah paling menjadi perhatian publik saat ini, yakni Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ketokohannya dan aneka kontroversi yang membalutnya selama ini menjadikan kasus Sumber Waras sebagai pusat perhatian publik, seperti tecermin dalam pemberitaan media mainstream maupun media sosial.
Kuatnya tarikan telah menyeret massa dalam dua kutub yang berseberangan pemikiran dan sikap. Satu sama lain saling membentur dan mempertarungkan opini.
Satu pihak mereka yang berkeyakinan Ahok memang bersalah dalam kasus tersebut seperti hasil laporan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan harus menanggung perbuatannya.
Pihak lain adalah mereka yang berjuang mati-matian membelanya. Sikap demikian sebagian besar merefleksikan pemandangan sebelumnya bahwa Ahok adalah orang baik, jujur, dan tidak pernah salah.
Saking kerasnya pertaungan opini, materi perdebatan tidak lagi berkutat pada salah atau tidaknya Ahok secara hukum dalam kasus pembelian RS Sumber Waras, tapi sudah melebar ke persoalan politik.
Salah satunya menyambar ke persoalan kredibilitas BPK, di antaranya mantan Ketua BPK DKI Jakarta Efdinal dan Ketua BPK Hary Azhar Azis yang namanya turut disebut dalam Panama Papers.
Kerasnya pertarungan opini dalam kasus Ahok bisa dipahami karena kasus tersebut “meledak” ketika pertarungan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 sudah memanas. Ahok sendiri merupakan salah satu kandidat terkuat dalam kontes politik tersebut. Ancaman hukum bukan hanya akan merugikan Ahok pribadi, tapi juga bisa menghancurkan harapan para pendukung beratnya dan membubarkan aneka kepentingan yang berjajaran di belakangnya.
Karena itu, segala upaya akan dilakukan untuk memenangkan pertarungan opini tersebut. Point of no return, kedua pihak sama-sama tidak akan mengundurkan niat sejengkal pun karena begitu mahalnya harga yang harus dikorbankan, bahkan membahayakan kepentingan mereka, termasuk masa depan investasi yang sudah mereka benamkan dalam reklamasi teluk Jakarta.
Namun, pertarungan opini tersebut hanyalah tetap sebatas pertarungan opini. Kemenangan atau kekalahan Ahok pada kasus Sumber Waras tidak akan tergantung pada siapa yang memenangkan pertarungan opini tersebut. Sebab, semuanya pasti akan kembali ke koridor seharusnya, yakni penegakan hukum.
Sudah pasti hukum tidak akan melihat siapa orangnya, tapi perbuatan apa yang telah dilakukannya. Ahok belum tentu mengambil keuntungan dari jual beli RS Sumber Waras, tapi bisa jadi keputusannya memperkaya orang lain.
Berdasarkan hasil laporan investigasi BPK yang sudah diserahkan ke KPK, pembelian RS Sumber Waras telah merugikan negara Rp191, 3 miliar. Itulah yang harus dipertanggungjawabkan.
Belum lagi adanya penyimpangan lain mulai penunjukan lokasi pengadaan RS Sumber Waras yang tidak sesuai ketentuan, penganggaran dalam APBD DKI Jakarta 2014 yang tidak sesuai kepentingan, penetapan lokasi tanah tidak melalui proses studi kelayakan dan kajian teknis yang wajar, hingga lahan yang diserahkan kepada Pemprov DKI yang tidak sesuai yang ditawarkan.
Kini bola sepenuhnya berada di tangan KPK. Tentu semua pihak di lembaga antirasuah tersebut fokus melakukan penyelidikan tanpa terpengaruh aneka opini yang silih berganti bermunculan.
KPK harus menunjukkan tajinya untuk menegakkan hukum terhadap siapa pun yang melakukan korupsi tanpa pandang bulu, apalagi dugaan kasus RS Sumber Waras menyangkut uang negara ratusan miliar.
Kondisi ini terjadi karena kontroversi kasus ini menyeret tokoh yang tengah paling menjadi perhatian publik saat ini, yakni Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ketokohannya dan aneka kontroversi yang membalutnya selama ini menjadikan kasus Sumber Waras sebagai pusat perhatian publik, seperti tecermin dalam pemberitaan media mainstream maupun media sosial.
Kuatnya tarikan telah menyeret massa dalam dua kutub yang berseberangan pemikiran dan sikap. Satu sama lain saling membentur dan mempertarungkan opini.
Satu pihak mereka yang berkeyakinan Ahok memang bersalah dalam kasus tersebut seperti hasil laporan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan harus menanggung perbuatannya.
Pihak lain adalah mereka yang berjuang mati-matian membelanya. Sikap demikian sebagian besar merefleksikan pemandangan sebelumnya bahwa Ahok adalah orang baik, jujur, dan tidak pernah salah.
Saking kerasnya pertaungan opini, materi perdebatan tidak lagi berkutat pada salah atau tidaknya Ahok secara hukum dalam kasus pembelian RS Sumber Waras, tapi sudah melebar ke persoalan politik.
Salah satunya menyambar ke persoalan kredibilitas BPK, di antaranya mantan Ketua BPK DKI Jakarta Efdinal dan Ketua BPK Hary Azhar Azis yang namanya turut disebut dalam Panama Papers.
Kerasnya pertarungan opini dalam kasus Ahok bisa dipahami karena kasus tersebut “meledak” ketika pertarungan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 sudah memanas. Ahok sendiri merupakan salah satu kandidat terkuat dalam kontes politik tersebut. Ancaman hukum bukan hanya akan merugikan Ahok pribadi, tapi juga bisa menghancurkan harapan para pendukung beratnya dan membubarkan aneka kepentingan yang berjajaran di belakangnya.
Karena itu, segala upaya akan dilakukan untuk memenangkan pertarungan opini tersebut. Point of no return, kedua pihak sama-sama tidak akan mengundurkan niat sejengkal pun karena begitu mahalnya harga yang harus dikorbankan, bahkan membahayakan kepentingan mereka, termasuk masa depan investasi yang sudah mereka benamkan dalam reklamasi teluk Jakarta.
Namun, pertarungan opini tersebut hanyalah tetap sebatas pertarungan opini. Kemenangan atau kekalahan Ahok pada kasus Sumber Waras tidak akan tergantung pada siapa yang memenangkan pertarungan opini tersebut. Sebab, semuanya pasti akan kembali ke koridor seharusnya, yakni penegakan hukum.
Sudah pasti hukum tidak akan melihat siapa orangnya, tapi perbuatan apa yang telah dilakukannya. Ahok belum tentu mengambil keuntungan dari jual beli RS Sumber Waras, tapi bisa jadi keputusannya memperkaya orang lain.
Berdasarkan hasil laporan investigasi BPK yang sudah diserahkan ke KPK, pembelian RS Sumber Waras telah merugikan negara Rp191, 3 miliar. Itulah yang harus dipertanggungjawabkan.
Belum lagi adanya penyimpangan lain mulai penunjukan lokasi pengadaan RS Sumber Waras yang tidak sesuai ketentuan, penganggaran dalam APBD DKI Jakarta 2014 yang tidak sesuai kepentingan, penetapan lokasi tanah tidak melalui proses studi kelayakan dan kajian teknis yang wajar, hingga lahan yang diserahkan kepada Pemprov DKI yang tidak sesuai yang ditawarkan.
Kini bola sepenuhnya berada di tangan KPK. Tentu semua pihak di lembaga antirasuah tersebut fokus melakukan penyelidikan tanpa terpengaruh aneka opini yang silih berganti bermunculan.
KPK harus menunjukkan tajinya untuk menegakkan hukum terhadap siapa pun yang melakukan korupsi tanpa pandang bulu, apalagi dugaan kasus RS Sumber Waras menyangkut uang negara ratusan miliar.
(dam)