OTT dan Reshuffle
A
A
A
Ada dua berita yang menyita perhatian masyarakat pekan ini. Pertama, rencana reshuffle kabinet kerja jilid kedua oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski masyarakat masih dibuat penasaran kapan reshuffle akan diumumkan dan siapa menteri yang akan terkena pergeseran, isu pergantian ini tetap menarik.
Kedua, informasi teranyar dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dua oknum jaksa dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah (Jateng) serta Bupati Subang Ojang Sohandi. Ketiganya ditangkap terkait kasus dugaan suap pada penanganan kasus dugaan korupsi dana BPJS pada 2014.
Tentang reshuffle, banyak pihak yakin itu hanya menunggu waktu saja untuk diumumkan. Artinya, jika menunggu waktu untuk diumumkan Presiden Jokowi sudah mengantongi format baru Kabinet Kerja. Namun, ada pihak yang mengatakan mundurnya pengumuman reshuffle karena masih ada tarik ulur kepentingan, baik kepentingan politik maupun kepentingan kebutuhan untuk menunjang kinerja Presiden.
Ya, kedua hal tersebut seolah menjadi lagu yang enak untuk didengar masyarakat dalam isu reshuffle . Tapi satu hal yang pasti, hanya Presiden Jokowi yang mengetahui kapan dan siapa yang akan diganti.
Sinyal reshuffle menguat setelah Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan meminta media massa menunggu pengumumannya. Hal senada diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Entah hanya ungkapan kepada masyarakat atau memang benar, hanya kecil kepentingan politik dari reshuffle ini.
Pergantian hanya didasarkan pada kualitas kerja para pembantu Presiden. Nama-nama menteri yang akan diganti pun mencuat melalui media sosial ataupun analisis dari para pengamat. Jika mengacu pada kualitas, memang pada akhirnya yang mengetahui pasti ukurannya adalah Presiden. Pihak lain akan menggunakan ukuran sendiri karena pada intinya kualitas bersifat subyektif, tidak ada ukuran pasti.
Kasus OTT terhadap oknum jaksa dan kepala daerah juga menjadi lagu yang ingin didengarkan oleh masyarakat. Bukan kali ini saja KPK melakukan OTT terhadap oknum aparat atau kepala daerah. Sejak 2006 KPK telah menangkap 49 kepala daerah dan yang terbanyak pada 2014 yaitu 14 kepala daerah (KORAN SINDO, edisi Selasa, 12 April 2016).
Kasus oknum jaksa yang ditangkap KPK juga bukan lagu baru, karena pada kasus PT Brantas Abipraya (BA) yang diungkap pada akhir Maret 2016 kemarin menyangkut perkara yang tengah dikerjakan oleh Kejati DKI Jakarta. Kasus oknum jaksa di Kejari Praya, NTB, juga jaksa Urip Tri Gunawan merupakan lagu lama yang pernah didengar oleh masyarakat.
Melihat kasus penangkapan oknum jaksa tersebut seolah menambah daftar kinerja negatif Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung terus menuai kritik lantaran kinerja yang kurang bagus seperti eksekusi ganda kasus tol JORR, mutasi petinggi jaksa yang menuai protes, beberapa kali kalah di persidangan praperadilan, dll, membuat kinerja Kejagung mendapat sorotan masyarakat.
Belum lagi adanya tudingan keterkaitan kasus korupsi dana Bansos Pemprov Sumatera Utara (Sumut) yang melibatkan Gubernur Sumut nonaktif Gatot Pudjo Nugroho dan politisi Partai Nasdem Patrice Rio Capella.
Lalu, apa kaitan kedua berita besar di atas? Tentu jika mengacu pada kualitas kerja (tentu mengesampingkan kepentingan politik) wajar jika kinerja Jaksa Agung M Prasetyo dalam memimpin Kejagung ditinjau oleh Presiden Jokowi.
Jaksa Agung yang dulunya kader Partai Nasdem ini tentu harus dipertimbangkan untuk diganti karena melihat catatan-catatan di atas selain akan lebih baik jika kejagung dijauhkan dari kader-kader politik karena dikhawatirkan bermain kepentingan kelompok.
Jadi, OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap dua oknum jaksa baru-baru ini harus menjadi pertimbangan Presiden Jokowi untuk menilai kinerja Jaksa Agung, jika reshuffle mengacu pada kualitas kinerja. Namun, jika mengacu pada kepentingan politik, bisa jadi kinerja Kejagung akan terus terdengar seperti lagu sumbang di telinga masyarakat.
Kedua, informasi teranyar dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dua oknum jaksa dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah (Jateng) serta Bupati Subang Ojang Sohandi. Ketiganya ditangkap terkait kasus dugaan suap pada penanganan kasus dugaan korupsi dana BPJS pada 2014.
Tentang reshuffle, banyak pihak yakin itu hanya menunggu waktu saja untuk diumumkan. Artinya, jika menunggu waktu untuk diumumkan Presiden Jokowi sudah mengantongi format baru Kabinet Kerja. Namun, ada pihak yang mengatakan mundurnya pengumuman reshuffle karena masih ada tarik ulur kepentingan, baik kepentingan politik maupun kepentingan kebutuhan untuk menunjang kinerja Presiden.
Ya, kedua hal tersebut seolah menjadi lagu yang enak untuk didengar masyarakat dalam isu reshuffle . Tapi satu hal yang pasti, hanya Presiden Jokowi yang mengetahui kapan dan siapa yang akan diganti.
Sinyal reshuffle menguat setelah Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan meminta media massa menunggu pengumumannya. Hal senada diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Entah hanya ungkapan kepada masyarakat atau memang benar, hanya kecil kepentingan politik dari reshuffle ini.
Pergantian hanya didasarkan pada kualitas kerja para pembantu Presiden. Nama-nama menteri yang akan diganti pun mencuat melalui media sosial ataupun analisis dari para pengamat. Jika mengacu pada kualitas, memang pada akhirnya yang mengetahui pasti ukurannya adalah Presiden. Pihak lain akan menggunakan ukuran sendiri karena pada intinya kualitas bersifat subyektif, tidak ada ukuran pasti.
Kasus OTT terhadap oknum jaksa dan kepala daerah juga menjadi lagu yang ingin didengarkan oleh masyarakat. Bukan kali ini saja KPK melakukan OTT terhadap oknum aparat atau kepala daerah. Sejak 2006 KPK telah menangkap 49 kepala daerah dan yang terbanyak pada 2014 yaitu 14 kepala daerah (KORAN SINDO, edisi Selasa, 12 April 2016).
Kasus oknum jaksa yang ditangkap KPK juga bukan lagu baru, karena pada kasus PT Brantas Abipraya (BA) yang diungkap pada akhir Maret 2016 kemarin menyangkut perkara yang tengah dikerjakan oleh Kejati DKI Jakarta. Kasus oknum jaksa di Kejari Praya, NTB, juga jaksa Urip Tri Gunawan merupakan lagu lama yang pernah didengar oleh masyarakat.
Melihat kasus penangkapan oknum jaksa tersebut seolah menambah daftar kinerja negatif Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung terus menuai kritik lantaran kinerja yang kurang bagus seperti eksekusi ganda kasus tol JORR, mutasi petinggi jaksa yang menuai protes, beberapa kali kalah di persidangan praperadilan, dll, membuat kinerja Kejagung mendapat sorotan masyarakat.
Belum lagi adanya tudingan keterkaitan kasus korupsi dana Bansos Pemprov Sumatera Utara (Sumut) yang melibatkan Gubernur Sumut nonaktif Gatot Pudjo Nugroho dan politisi Partai Nasdem Patrice Rio Capella.
Lalu, apa kaitan kedua berita besar di atas? Tentu jika mengacu pada kualitas kerja (tentu mengesampingkan kepentingan politik) wajar jika kinerja Jaksa Agung M Prasetyo dalam memimpin Kejagung ditinjau oleh Presiden Jokowi.
Jaksa Agung yang dulunya kader Partai Nasdem ini tentu harus dipertimbangkan untuk diganti karena melihat catatan-catatan di atas selain akan lebih baik jika kejagung dijauhkan dari kader-kader politik karena dikhawatirkan bermain kepentingan kelompok.
Jadi, OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap dua oknum jaksa baru-baru ini harus menjadi pertimbangan Presiden Jokowi untuk menilai kinerja Jaksa Agung, jika reshuffle mengacu pada kualitas kinerja. Namun, jika mengacu pada kepentingan politik, bisa jadi kinerja Kejagung akan terus terdengar seperti lagu sumbang di telinga masyarakat.
(kur)