Kebutuhan dan Aturan
A
A
A
TRANSPORTASI berbasis online di Jakarta kembali “digugat”. Bukan oleh para pengguna transportasi berbasis online tersebut, namun oleh para operator lapangan transportasi yang tidak berbasis online.
Senin, 14 Maret 2016 lalu ribuan pengemudi taksi dari berbagai kelompok yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) “menggugat” keberadaan transportasi berbasis online karena dianggap ilegal.
Mereka memprotes karena pemerintah seolah membiarkan keberadaan transportasi berbasis online untuk menarik penumpang, padahal tidak mempunyai aturan. Sedangkan transportasi yang tidak berbasis online harus memenuhi aturan untuk mendapatkan penumpang. Kondisi ini yang membuat persaingan menjadi tidakfair karena hal itu bersinggungan dengan tarif yang diberlakukan.
Di sisi lain, para pengguna transportasi berbasis online merasa nyaman-nyaman saja dan tidak merasa dirugikan bahkan merasa diuntungkan. Selain konon tarif yang jauh lebih murah, juga untuk memperolehnya sudah sangat gampang. Tinggal duduk dan memegang gadget, transportasi berbasis online ini akan datang sendiri untuk menjemput.
Ada dua teriakan berbeda antara operator transportasi di lapangan dan para pengguna. Para pengguna merasa diuntungkan, sedangkan transportasi konvensional (untuk mengatakan transportasi tak berbasis online) merasa dirugikan.
Lalu, bagaimana peran pemerintah untuk mengakomodasi dua suara berbeda tersebut? Pemerintah sepertinya masih kesulitan untuk mencari solusi yang konkret untuk persoalan ini.
Di jajaran pemerintah bahkan muncul suara yang berbeda seperti ketika Kementerian Perhubungan menyatakan melarang transportasi berbasis online juga aparat kepolisian menangkapnya, namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta untuk membatalkan pelarangan tersebut karena masyarakat membutuhkan.
Ada dua pendekatan yang dilakukan pemerintah sehingga akhirnya menimbulkan gejolak yaitu antara kebutuhan dan aturan. Bagi para pengguna, sepertinya kecenderungannya tidak memedulikan aturan karena keberadaan transportasi berbasis online adalah kebutuhan yang menjadi solusi persoalan mobilitas mereka.
Pendekatan mana yang sebaiknya dilakukan pemerintah? Kebutuhan atau aturan? Akan lebih bijak jika pemerintah mengedepankan aturan agar tidak merugikan pihak-pihak lain salah satunya transportasi konvensional. Memang dengan mengedepankan aturan, sepertinya pemerintah tidak menghiraukan kebutuhan di masyarakat.
Nah, inilah yang dibutuhkan agar pemerintah bergerak cepat. Sayangnya, pemerintah belum bisa bergerak cepat menyelesaikan persoalan ini. Buktinya, bentrokan sosial di lapangan sudah terjadi beberapa bulan atau bahkan setahun yang lalu. Atau, kalaupun belum muncul konflik sosial, kemunculan transportasi online ini bisa diantisipasi lebih cepat.
Intinya adalah pemerintah harus bertindak cepat dengan pendekatan aturan untuk menyelesaikan persoalan ini. Kecepatan ini agar kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan transportasi ini bisa dipenuhi dengan baik.
Jadi, aturanlah yang nanti menyesuaikan teknologi yang berkembang saat ini seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Para menteri semestinya bisa langsung menerjemahkan maksud Wapres JK tentang solusi transportasi berbasis online di Tanah Air.
Gagasan yang cukup menarik ketika pemerintah mengarahkan transportasi online ini diwadahi dalam koperasi sehingga mereka nanti bisa terkontrol dengan baik. Apa pun caranya pemerintah harus cepat menyelesaikan persoalan ini.
Pemerintah harus pintar-pintar mengakomodasi kepentingan masyarakat, operator transportasi konvensional, dan teknologi yang sudah sangat berkembang. Bagaimana membuat ketiganya bisa fit adalah tugas pemerintah.
Ke depan antara kebutuhan dan aturan bisa berjalan beriringan tanpa memunculkan konflik sosial yang beberapa bulan terakhir sering terjadi. Sekali lagi, semua pihak harus tetap berpegangan pada aturan yang berlaku.
Senin, 14 Maret 2016 lalu ribuan pengemudi taksi dari berbagai kelompok yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) “menggugat” keberadaan transportasi berbasis online karena dianggap ilegal.
Mereka memprotes karena pemerintah seolah membiarkan keberadaan transportasi berbasis online untuk menarik penumpang, padahal tidak mempunyai aturan. Sedangkan transportasi yang tidak berbasis online harus memenuhi aturan untuk mendapatkan penumpang. Kondisi ini yang membuat persaingan menjadi tidakfair karena hal itu bersinggungan dengan tarif yang diberlakukan.
Di sisi lain, para pengguna transportasi berbasis online merasa nyaman-nyaman saja dan tidak merasa dirugikan bahkan merasa diuntungkan. Selain konon tarif yang jauh lebih murah, juga untuk memperolehnya sudah sangat gampang. Tinggal duduk dan memegang gadget, transportasi berbasis online ini akan datang sendiri untuk menjemput.
Ada dua teriakan berbeda antara operator transportasi di lapangan dan para pengguna. Para pengguna merasa diuntungkan, sedangkan transportasi konvensional (untuk mengatakan transportasi tak berbasis online) merasa dirugikan.
Lalu, bagaimana peran pemerintah untuk mengakomodasi dua suara berbeda tersebut? Pemerintah sepertinya masih kesulitan untuk mencari solusi yang konkret untuk persoalan ini.
Di jajaran pemerintah bahkan muncul suara yang berbeda seperti ketika Kementerian Perhubungan menyatakan melarang transportasi berbasis online juga aparat kepolisian menangkapnya, namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta untuk membatalkan pelarangan tersebut karena masyarakat membutuhkan.
Ada dua pendekatan yang dilakukan pemerintah sehingga akhirnya menimbulkan gejolak yaitu antara kebutuhan dan aturan. Bagi para pengguna, sepertinya kecenderungannya tidak memedulikan aturan karena keberadaan transportasi berbasis online adalah kebutuhan yang menjadi solusi persoalan mobilitas mereka.
Pendekatan mana yang sebaiknya dilakukan pemerintah? Kebutuhan atau aturan? Akan lebih bijak jika pemerintah mengedepankan aturan agar tidak merugikan pihak-pihak lain salah satunya transportasi konvensional. Memang dengan mengedepankan aturan, sepertinya pemerintah tidak menghiraukan kebutuhan di masyarakat.
Nah, inilah yang dibutuhkan agar pemerintah bergerak cepat. Sayangnya, pemerintah belum bisa bergerak cepat menyelesaikan persoalan ini. Buktinya, bentrokan sosial di lapangan sudah terjadi beberapa bulan atau bahkan setahun yang lalu. Atau, kalaupun belum muncul konflik sosial, kemunculan transportasi online ini bisa diantisipasi lebih cepat.
Intinya adalah pemerintah harus bertindak cepat dengan pendekatan aturan untuk menyelesaikan persoalan ini. Kecepatan ini agar kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan transportasi ini bisa dipenuhi dengan baik.
Jadi, aturanlah yang nanti menyesuaikan teknologi yang berkembang saat ini seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Para menteri semestinya bisa langsung menerjemahkan maksud Wapres JK tentang solusi transportasi berbasis online di Tanah Air.
Gagasan yang cukup menarik ketika pemerintah mengarahkan transportasi online ini diwadahi dalam koperasi sehingga mereka nanti bisa terkontrol dengan baik. Apa pun caranya pemerintah harus cepat menyelesaikan persoalan ini.
Pemerintah harus pintar-pintar mengakomodasi kepentingan masyarakat, operator transportasi konvensional, dan teknologi yang sudah sangat berkembang. Bagaimana membuat ketiganya bisa fit adalah tugas pemerintah.
Ke depan antara kebutuhan dan aturan bisa berjalan beriringan tanpa memunculkan konflik sosial yang beberapa bulan terakhir sering terjadi. Sekali lagi, semua pihak harus tetap berpegangan pada aturan yang berlaku.
(kur)