LGBT, Kebebasan versus Penyimpangan

Jum'at, 04 Maret 2016 - 16:32 WIB
LGBT, Kebebasan versus Penyimpangan
LGBT, Kebebasan versus Penyimpangan
A A A
DR H Deding Ishak SH MM
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI

Gerakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) belakangan kian menyita perhatian publik. Atas nama kebebasan, kaum LGBT merasa bebas menentukan orientasi seksual mereka dan tidak perlu malu-malu lagi menunjukkan identitas mereka di hadapan publik. Mereka bahkan menuntut negara untuk melegalisasi hubungan sesama jenis. Gerakan ini tentu saja mengusik ketenteraman hidup bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral, dan susila.

Liberalisme tampaknya telah membuka pintu sebebas-bebasnya bagi gerakan apa pun yang dianggap mendukung kebebasan manusia dengan anggapan melepaskan (membebaskan) manusia dari keterkungkungan hukum negara, adat, maupun agama. Dalih yang digunakan adalah memanusiakan manusia atas dasar kemanusiaan. Kebebasan yang ”kebablasan” ini menjadikan LGBT bebas bergerak dan berhasil melegalkan aktivitasnya di beberapa negara di dunia.

Perspektif Konstitusi
Kebebasan sejatinya merupakan ruh dalam demokrasi. Tanpa kebebasan, sistem demokrasi ibarat mati. Kebebasan akan membuka ruang partisipasi bagi semua warga negara berperan aktif dalam setiap kebijakan negara sehingga apa pun kebijakan yang dilahirkan negara dapat mengakomodasi kepentingan warga negaranya.

Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, kebebasan (baca: hak asasi manusia) juga dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB XA Pasal 28A tentang HAM: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Pasal ini mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk hidup dan mengembangkan kehidupannya. Pasal 28C ayat (1) lebih jauh menjelaskan: ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaatkan dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”

Namun, hal yang sering dilupakan dalam Bab Kebebasan ini adalah kewajiban menghormati HAM orang lain. Pasal 28J ayat (1) mengunci kebebasan dengan kalimat: ”Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Ayat (2) bahkan memberi proteksi yang lebih kuat lagi: ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Pasal 28J Ayat (2) adalah kunci untuk tidak membiarkan kebebasan seseorang melanggar kebebasan orang lain. Pasal ini menjadi semacam katup pengaman agar kebebasan seseorang tidak disalahgunakan untuk mengancam kebebasan orang lain. Sistem demokrasi mensyaratkan ada kebebasan adalah betul, tetapi kebebasan itu juga tentu wajib menghormati kebebasan orang lain.

Desain kebebasan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini penting untuk menjamin kebebasan dapat dilaksanakan tanpa melanggar kebebasan orang lain. Jika ada kebebasan yang bernama hak asasi manusia (HAM), sudah seyogianya ada juga yang bernama kewajiban asasi manusia (KAM) atau kewajiban menghormati kebebasan orang lain.

Gerakan LGBT adalah melanggar nilai-nilai moral, norma susila, dan ajaran agama yang berlaku di Indonesia. Artinya, gerakan ini hanya mengatasnamakan kebebasan dengan melanggar norma susila dan agama yang berada di Indonesia. Jika dibiarkan, LGBT merupakan ancaman terhadap kebebasan dalam menjalankan agama di Indonesia karena perilaku LGBT menyimpang dari ajaran agama. Sebab itulah, perilaku LGBT tidak bisa dibiarkan di Indonesia. Pembiaran terhadap perilaku LGBT adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kaum LGBT akan senantiasa menjadi ”penumpang gelap” demokrasi (baca: kebebasan).

Perspektif Agama
Tidak ada agama apa pun di Indonesia yang membenarkan perilaku LGBT. Islam bahkan sangat mengecam perilaku seks menyimpang tersebut. Dalam terminologi agama, LGBT sering dikaitkan dengan sejarah Nabi Luth AS saat menghadapi perilaku kaumnya yang dikenal dengan perilaku sodomi. Perilaku kaum Nabi Luth yang bertentangan dengan fitrah dan moral itu mendapat hukuman dari Allah dengan memutarbalikkan negeri mereka sehingga penduduk Sadum, termasuk istri Nabi Luth sendiri, terbenam bersamaan dengan terbaliknya negeri itu.

Dalam agama Kristen dan Islam, sejarah tersebut menjadi bersinonim dengan dosa besar yang tak terampuni, yang menjatuhkan mereka ke dalam kemusnahan akibat murka Tuhan. Kendati pelaku seks menyimpang telah dihancurkan oleh Tuhan ratusan abad yang lalu, perilaku ini tetap ada di tengah kehidupan manusia. Siksaan keras yang ditimpakan kepada kaum terdahulu tidak diambil sebagai pelajaran.

Persepsi Islam terhadap naluri seks adalah sebagi fitrah manusia. Islam memandang bahwa ia merupakan suatu kekuatan alami yang terdapat dalam diri manusia. Naluri seks memerlukan penyaluran biologis dalam bentuk perkawinan. Islam tidak menganggap bahwa naluri seks merupakan sesuatu yang jahat dan tabu bagi manusia. Tetapi, Islam mengaturnya sesuai dengan fitrahnya. Karena itu, Islam sangat menentang penyimpangan seks, semacam LGBT, yang dapat merusak eksistensi fitrahnya. LGBT merupakan suatu perbuatan keji yang dapat merusak akal fitrah dan akhlak manusia. Islam bersikap tegas terhadap perbuatan terlarang ini.

Dalam konteks ini perlu ada proteksi dini terhadap maraknya gerakan LGBT. Pertama, dari segi regulasi pemerintah bersama DPR sudah saatnya membentuk undang-undang anti-LGBT. Kedua, pemerintah bersama masyarakat hendaknya perlu melakukan pendekatan yang integral terhadap perilaku LGBT di tengah masyarakat dengan terus melakukan penyadaran kepada pelaku dan simpatisan LGBT serta segera melakukan kampanye besar-besaran untuk memberikan penyuluhan tentang bahaya LGBT. Ketiga, institusi pendidikan tinggi perlu mendirikan Pusat Kajian dan Penanggulangan LGBT.

Tujuan utama dari kaum LGBT tentu untuk mendapat pengakuan dari negara bahwa kelompok LGBT adalah sah atau legal secara hukum. Ini targetnya. Jika target ini sudah tercapai, mereka akan mendapat proteksi dari negara untuk menggiring masyarakat memiliki orientasi seks yang menyimpang atau menikah sesama jenis. Dan, di antara kelompok masyarakat itu, bukan tak mungkin adalah anak dan cucu kita! Naudzubillahi min dzaalik! *
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4798 seconds (0.1#10.140)