Kabinet Kerja atau Kabinet Gaduh
A
A
A
GADUH, gaduh, dan gaduh lagi. Inilah realitas yang dipertontonkan pemerintah di hadapan rakyatnya. Kegaduhan seolah silih berganti tanpa penyelesaian. Belum tuntas kegaduhan lama, muncul kegaduhan baru yang tensinya justru kian memekakkan telinga dan menimbulkan frustrasi publik: kapan kabinet bisa kompak dan fokus bekerja maksimal untuk mewujudkan segala janji yang pernah diobral selama pemilihan presiden?
Kegaduhan akibat konflik internal kabinet teranyar secara telanjang disuguhkan empat menteri, yakni Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli versus Menteri ESDM Sudirman Said dan Menteri Desa Marwan Jafar versus Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Dua menteri pertama berbenturan dalam kasus tarik ulur offshore atau onshore tentang pembangunan fasilitas regasifikasi gas alam cair (LNG) di Blok Masela dan dua menteri lainnya terlibat psywar pada kasus Garuda Indonesia sebagai dampak keterlambatan Menteri Desa dalam penerbangan ke Yogyakarta.
Sangat naif jika saling serang dan saling menjatuhkan di antara mereka hanya dianggap sebatas perbedaan pendapat. Konflik yang mereka tunjukkan ibarat puncak gunung es dari pertarungan kepentingan. Dalam konteks ini, logika politik who get what, when and how sangat kental terasa. Kepentingan yang mereka perebutkan bisa berupa kue proyek yang diukur dengan besaran rupiah atau kekuasaan yang diukur dengan jabatan.
Megaproyek Blok Masela sudah tentu sangat menggiurkan karena akan melibatkan turunan proyek lain yang nilainya sangat besar. Adapun berikutnya kasus kontroversi telah berbelok menjadi manuver politik perebutan pos Kementerian Desa, Transmigrasi dan Daerah Tertinggal yang kini berubah sangat strategis setelah penambahan portofolio desa dan transmigrasi dari sebelumnya yang hanya mencakup daerah tertinggal.
Dalam konteks ini, PDIP mengincar posisi yang kini dipegang koleganya di Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yakni PKB. Pertarungan ini mendapat momentum dengan merebaknya kembali wacana reshuffle. Fakta adanya pertarungan kepentingan di kabinet menegaskan kembali bahwa Kabinet Kerja yang terbelah menjadi fraksi-fraksi—berlatar kelompok kepentingan atau partai politik—sudah saling terkam dan tikam. Pertarungan yang sudah terjadi sejak awal berjalannya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) bukannya kian reda, tapi justru kian runcing dan menjurus ke zero sum game. Konsolidasi politik gagal total, termasuk reshuffle kabinet jilid I yang sebenarnya diharapkan menjadi pintu masuk konsolidasi pemerintahan.
Kegaduhan yang terus berulang dan kegagalan konsolidasi tentu memicu frustrasi publik dan membangun skeptisisme baru tentang pemerintahan ke depan. Sebuah media nasional yang selama mengawal pemerintahan dengan sepenuh hati pun mulai menunjukkan frustrasinya dengan kondisi pemerintahan melalui headline-nya yang berjudul ”Ketegasan Presiden Ditunggu”. Ketegasan dimaksud tentu dalam rangka menyelesaikan kegaduhan dan mengambil kebijakan sehingga tidak menimbulkan kontroversi.
Ketegasan Presiden Jokowi sebagai pemimpin memang sangat penting untuk menyelesaikan persoalan tersebut dan selanjutnya membangun kesamaan visi, menyatukan jajarannya dalam barisan yang sama, dan memberikan motivasi untuk bersama-sama mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Dalam teori kepemimpinan apa pun, sulit bagi seorang pemimpin untuk mewujudkan targetnya tanpa mewujudkan peran kepemimpinannya tersebut.
Peran kepemimpinan Jokowi sebenarnya sudah digarisbawahi Indobarometer saat mengevaluasi setahun pemerintahan Jokowi-JK sebagai biang menjauhnya Nawacita dari harapan. Entah kenapa hal tersebut tidak menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan. Jika kegaduhan internal kabinet semakin parah, fokus perhatian pun bukan sebatas pada peran kepemimpinan, tapi mengarah pada pertanyaan akan kewibawaan Jokowi di depan para menteri. Jika begitu adanya, akan sungguh memprihatinkan. Tanpa adanya perubahan, Kabinet Kerja pasti akan menjadi Kabinet Gaduh. *
Kegaduhan akibat konflik internal kabinet teranyar secara telanjang disuguhkan empat menteri, yakni Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli versus Menteri ESDM Sudirman Said dan Menteri Desa Marwan Jafar versus Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Dua menteri pertama berbenturan dalam kasus tarik ulur offshore atau onshore tentang pembangunan fasilitas regasifikasi gas alam cair (LNG) di Blok Masela dan dua menteri lainnya terlibat psywar pada kasus Garuda Indonesia sebagai dampak keterlambatan Menteri Desa dalam penerbangan ke Yogyakarta.
Sangat naif jika saling serang dan saling menjatuhkan di antara mereka hanya dianggap sebatas perbedaan pendapat. Konflik yang mereka tunjukkan ibarat puncak gunung es dari pertarungan kepentingan. Dalam konteks ini, logika politik who get what, when and how sangat kental terasa. Kepentingan yang mereka perebutkan bisa berupa kue proyek yang diukur dengan besaran rupiah atau kekuasaan yang diukur dengan jabatan.
Megaproyek Blok Masela sudah tentu sangat menggiurkan karena akan melibatkan turunan proyek lain yang nilainya sangat besar. Adapun berikutnya kasus kontroversi telah berbelok menjadi manuver politik perebutan pos Kementerian Desa, Transmigrasi dan Daerah Tertinggal yang kini berubah sangat strategis setelah penambahan portofolio desa dan transmigrasi dari sebelumnya yang hanya mencakup daerah tertinggal.
Dalam konteks ini, PDIP mengincar posisi yang kini dipegang koleganya di Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yakni PKB. Pertarungan ini mendapat momentum dengan merebaknya kembali wacana reshuffle. Fakta adanya pertarungan kepentingan di kabinet menegaskan kembali bahwa Kabinet Kerja yang terbelah menjadi fraksi-fraksi—berlatar kelompok kepentingan atau partai politik—sudah saling terkam dan tikam. Pertarungan yang sudah terjadi sejak awal berjalannya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) bukannya kian reda, tapi justru kian runcing dan menjurus ke zero sum game. Konsolidasi politik gagal total, termasuk reshuffle kabinet jilid I yang sebenarnya diharapkan menjadi pintu masuk konsolidasi pemerintahan.
Kegaduhan yang terus berulang dan kegagalan konsolidasi tentu memicu frustrasi publik dan membangun skeptisisme baru tentang pemerintahan ke depan. Sebuah media nasional yang selama mengawal pemerintahan dengan sepenuh hati pun mulai menunjukkan frustrasinya dengan kondisi pemerintahan melalui headline-nya yang berjudul ”Ketegasan Presiden Ditunggu”. Ketegasan dimaksud tentu dalam rangka menyelesaikan kegaduhan dan mengambil kebijakan sehingga tidak menimbulkan kontroversi.
Ketegasan Presiden Jokowi sebagai pemimpin memang sangat penting untuk menyelesaikan persoalan tersebut dan selanjutnya membangun kesamaan visi, menyatukan jajarannya dalam barisan yang sama, dan memberikan motivasi untuk bersama-sama mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Dalam teori kepemimpinan apa pun, sulit bagi seorang pemimpin untuk mewujudkan targetnya tanpa mewujudkan peran kepemimpinannya tersebut.
Peran kepemimpinan Jokowi sebenarnya sudah digarisbawahi Indobarometer saat mengevaluasi setahun pemerintahan Jokowi-JK sebagai biang menjauhnya Nawacita dari harapan. Entah kenapa hal tersebut tidak menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan. Jika kegaduhan internal kabinet semakin parah, fokus perhatian pun bukan sebatas pada peran kepemimpinan, tapi mengarah pada pertanyaan akan kewibawaan Jokowi di depan para menteri. Jika begitu adanya, akan sungguh memprihatinkan. Tanpa adanya perubahan, Kabinet Kerja pasti akan menjadi Kabinet Gaduh. *
(poe)