Serangan LGBT
A
A
A
DI tengah kencangnya pusaran pro-kontra kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), pedangdut tersohor Saipul Jamil harus berurusan dengan polisi.
Dia diciduk Polres Jakarta Utara atas laporan seorang remaja mengenai pencabulan yang dilakukan di rumahnya yang berada di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, kemarin. Dengan tetap menjunjung asas praduga tak bersalah, jika benar terbukti melakukan pencabulan, mantan suami Dewi Persik tersebut bisa disebut melakukan proses penularan perilaku sehingga sang korban akan mengikuti perilakunya.
Namun pada kasus ini, sang korban masih mempunyai daya imun yang kuat untuk tidak tertular sehingga melawan dan melaporkan presenter Duo Pedang yang berpasangan dengan pedangdut Nazar tersebut ke polisi. Saipul Jamil disebut melakukan proses penularan karena perilaku LGBT adalah penyakit yang memang bisa menular. Dalam sebuah diskusi yang digelar televisi swasta, Dr Fidiansjah, seorang psikiater, mengungkapkan LGBT merupakan penyakit jiwa atau gangguan psikologi.
Penyakit jiwa tersebut bisa menular. Prosesnya dari mengikuti pola, menjadi karakter, menjadi kepribadian, membentuk kebiasaan, dan akhirnya menjadi penyakit. Harus diakui, kecenderungan LGBT untuk menularkan penyakitnya sangat besar. Dalam konteks sosiologis, kelompok kecil selalu berkecenderungan melebarkan pengaruhnya untuk memperkuat posisinya.
Dari sisi psikologis, mereka tentu membutuhkan pelampiasan kebutuhan seksual. Karena kecilnya kaum mereka, kelompok pun memilih untuk mencari mangsa baru dan menularkan penyakitnya. Kira-kira seperti inilah yang terjadi pada Saipul Jamil. Namun, belakangan, progesivitas yang ditunjukkan kalangan LGBT tidak sebatas individu. Gerakan mereka terlihat semakin melembaga dengan membangun jaringan, semakin terbuka dan berani serta sistematis.
Hal ini, di antaranya, terbukti dengan keberanian mereka menggugat pemerintah dan menyerang balik Many Pacquiao saat petinju dunia asal Filipina tersebut membuat statemen yang menyinggung mereka. Mereka semakin mendapat angin ketika kekuatan kapitalis mendukung mereka seperti ditunjukkan Nike yang membatalkan kontrak iklan dengan Pacquiao. Lebih dahsyat lagi lembaga dunia UNDP mendukung pergerakan mereka dengan mengucurkan dana ratusan miliar rupiah untuk beberapa negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Dana tersebut tentu akan menjadi amunisi untuk mengintensifkan serangan mereka untuk mengeliminasi “belenggu” yang selama ini mengungkung pergerakan LGBT di Indonesia. Dari gelagatnya, berdasarkan laporan Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan LGBT Nasional Indonesia mereka akan menggunakan strategi proxy war , dengan memanfaatkan simpul-simpul strategis seperti LSM, media, dan kelompok lain.
Berdasar laporan tersebut, target yang ingin dicapai bukan sekadar perlindungan dan advokasi terhadap LGBT, tetapi mengakui secara resmi keberadaan kelompok LGBT. Konsekuensinya dari pengakuan tersebut sudah pasti akan mengarah pada pengakuan hak LGBT untuk melakukan kawin sesama jenis seperti terjadi di 23 negara yang melegalkan perkawinan sejenis.
Selain itu mereka menarget persoalan orientasi seksual dan identitas gender dalam kurikulum pendidikan nasional. Arah dari target ini sudah pasti konstruksi budaya bangsa yang menjadikan LGBT sebagai bagian di dalamnya. Berangkat dari fakta tersebut, pemerintah tentu harus serius merespons serangan LGBT dengan bersikap tegas. LGBT bukanlah HAM dan tidak ada urusannya dengan gerakan HAM karena sejatinya HAM adalah fitrah manusia yang diciptakan berpasangan antara lelaki dan perempuan sebagaimana adanya hukum alam semisal timur-barat, positif-negatif.
Memberikan ruang gerak pada LGBT untuk berkembang sama halnya menyemaikan bibit penyakit jiwa yang bisa memusnahkan manusia -yang disebut Dubes RI untuk Jepang Yusron Ihza Mahendra sebagai genosida varian II- dan peradabannya.
Dia diciduk Polres Jakarta Utara atas laporan seorang remaja mengenai pencabulan yang dilakukan di rumahnya yang berada di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, kemarin. Dengan tetap menjunjung asas praduga tak bersalah, jika benar terbukti melakukan pencabulan, mantan suami Dewi Persik tersebut bisa disebut melakukan proses penularan perilaku sehingga sang korban akan mengikuti perilakunya.
Namun pada kasus ini, sang korban masih mempunyai daya imun yang kuat untuk tidak tertular sehingga melawan dan melaporkan presenter Duo Pedang yang berpasangan dengan pedangdut Nazar tersebut ke polisi. Saipul Jamil disebut melakukan proses penularan karena perilaku LGBT adalah penyakit yang memang bisa menular. Dalam sebuah diskusi yang digelar televisi swasta, Dr Fidiansjah, seorang psikiater, mengungkapkan LGBT merupakan penyakit jiwa atau gangguan psikologi.
Penyakit jiwa tersebut bisa menular. Prosesnya dari mengikuti pola, menjadi karakter, menjadi kepribadian, membentuk kebiasaan, dan akhirnya menjadi penyakit. Harus diakui, kecenderungan LGBT untuk menularkan penyakitnya sangat besar. Dalam konteks sosiologis, kelompok kecil selalu berkecenderungan melebarkan pengaruhnya untuk memperkuat posisinya.
Dari sisi psikologis, mereka tentu membutuhkan pelampiasan kebutuhan seksual. Karena kecilnya kaum mereka, kelompok pun memilih untuk mencari mangsa baru dan menularkan penyakitnya. Kira-kira seperti inilah yang terjadi pada Saipul Jamil. Namun, belakangan, progesivitas yang ditunjukkan kalangan LGBT tidak sebatas individu. Gerakan mereka terlihat semakin melembaga dengan membangun jaringan, semakin terbuka dan berani serta sistematis.
Hal ini, di antaranya, terbukti dengan keberanian mereka menggugat pemerintah dan menyerang balik Many Pacquiao saat petinju dunia asal Filipina tersebut membuat statemen yang menyinggung mereka. Mereka semakin mendapat angin ketika kekuatan kapitalis mendukung mereka seperti ditunjukkan Nike yang membatalkan kontrak iklan dengan Pacquiao. Lebih dahsyat lagi lembaga dunia UNDP mendukung pergerakan mereka dengan mengucurkan dana ratusan miliar rupiah untuk beberapa negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Dana tersebut tentu akan menjadi amunisi untuk mengintensifkan serangan mereka untuk mengeliminasi “belenggu” yang selama ini mengungkung pergerakan LGBT di Indonesia. Dari gelagatnya, berdasarkan laporan Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan LGBT Nasional Indonesia mereka akan menggunakan strategi proxy war , dengan memanfaatkan simpul-simpul strategis seperti LSM, media, dan kelompok lain.
Berdasar laporan tersebut, target yang ingin dicapai bukan sekadar perlindungan dan advokasi terhadap LGBT, tetapi mengakui secara resmi keberadaan kelompok LGBT. Konsekuensinya dari pengakuan tersebut sudah pasti akan mengarah pada pengakuan hak LGBT untuk melakukan kawin sesama jenis seperti terjadi di 23 negara yang melegalkan perkawinan sejenis.
Selain itu mereka menarget persoalan orientasi seksual dan identitas gender dalam kurikulum pendidikan nasional. Arah dari target ini sudah pasti konstruksi budaya bangsa yang menjadikan LGBT sebagai bagian di dalamnya. Berangkat dari fakta tersebut, pemerintah tentu harus serius merespons serangan LGBT dengan bersikap tegas. LGBT bukanlah HAM dan tidak ada urusannya dengan gerakan HAM karena sejatinya HAM adalah fitrah manusia yang diciptakan berpasangan antara lelaki dan perempuan sebagaimana adanya hukum alam semisal timur-barat, positif-negatif.
Memberikan ruang gerak pada LGBT untuk berkembang sama halnya menyemaikan bibit penyakit jiwa yang bisa memusnahkan manusia -yang disebut Dubes RI untuk Jepang Yusron Ihza Mahendra sebagai genosida varian II- dan peradabannya.
(hyk)