DPR Jangan Paksakan Revisi UU KPK

Jum'at, 19 Februari 2016 - 06:08 WIB
DPR Jangan Paksakan Revisi UU KPK
DPR Jangan Paksakan Revisi UU KPK
A A A
JAKARTA - DPR diminta untuk tidak memaksakan revisi Undang-undang No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pasalnya, sejak RUU KPK diusulkan masuk Program Legilasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2016, RUU ini terus menuai polemik, baik itu di internal DPR, pemerintah maupun publik. Bahkan, sudah dua kali jadwal rapat paripurna DPR dengan agenda usulan RUU KPK menjadi usul inisiatif DPR dibatalkan.

"DPR harus mendengarkan aspirasi rakyat, harus menghentikan pembahasan revisi UU KPK. Tidak ada alasan untuk merevisi, karena KPK sendiri telah merasa cukup. Malah (KPK) berpendapat bahwa poin-poin revisi itu melemahkan," tandas Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar kepada KORAN SINDO di Jakarta, Kamis 18 Februari malam.

Fickar mengakui, ada kesan para pengusul RUU KPK ini memaksakan kehendaknya agar UU KPK segera direvisi. Terlebih, dirinya melihat banyak argumen-argumen yang diungkapkan oleh para pengusul terkesan dipaksakan.

Seperti yang diungkapkan Hendrawan Supratikno dari Fraksi PDIP. Dia menyatakan, UU KPK harus memiliki tiga prinsip check and balances, menghargai HAM, dan menjunjung supremasi hukum. "Itu adalah pernyataan yang seolah-olah logis dan seolah-olah UU KPK belum memilikinya," ujarnya.

Padahal, ketiga prinsip itu telah dimiliki dalam UU KPK. Pertama prinsip check and balances. Sebagai lembaga negara yang independen KPK dalam melaksanakan kewenangan yudisialnya harus bebas dari intervensi kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun kekuasaan uang.

KPK sebagai lembaga negara secara manajerial keuangan tetap diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tapi, secara politik hukum KPK selama ini diawasi oleh DPR dan Presiden, serta secara yudisial diawasi oleh mekanisme hukum baik melalui praperadilan, judicial review ataupun gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

"Jika KPK dalam menjalankan tugas berdasar UU melakukan penyalahgunaan wewenang, bahkan jika dilakukan oleh pribadi-pribadi komisioner, dapat dilakukan penuntutan secara pidana," jelasnya.

Karena itu, merupakan sesat pikir KPK diletakkan dalam suatu sistem ketatanegaraan dan harus dikontrol oleh lembaga pengawas. Karena, KPK bukan lembaga politik melainkan lembaga penegakan hukum. Jika PDIP tetap memaksakan kehendaknya, sama saja dengan PDIP dan parpol pengusul lainnya ingin mempolitisir KPK melalui lembaga yang dinamakan Dewan Pengawas KPK.

Kemudian, UU KPK juga tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Karena, jika KPK melanggar prinsip HAM maka artinya melawan konstitusi yakni UUD 1945. UU KPK sebagai bagian dari sistem hukum pidana yang secara menyeluruh tunduk pada prinsip-prinsip HAM juga terkandung dalam KUHP. Buktinya, KPK masih tunduk pada prinsip-prinsip "hapusnya hak penuntutan dan menjalankan pidana" seperti misalnya, non bis in idem, meninggalnya tersangka atau terdakwa, daluarsa, serta amnesti dan abolisi.

"Jadi sesat pikir jika menganggap UU KPK tidak menghargai HAM. HAM itu sudah sepenuhnya dihargai oleh UU KPK karena UU KPK tidak menegasikan/mengingkari sistem hukum Indonesia secara komprehensif," terangnya.

Kemudian terakhir, UU KPK lahir sebagai anak kandung reformasi yang justru sangat menghargai supremasi hukum. Sehingga, hak penyadapan, hak mengangkat penyelidik dan penyidik independen dan SP3 bukanlah hal-hal yang melanggar dan tidak menghargai hukum. Karena, keseluruhan itu semua berdasarkan hukum serta ditopang oleh putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuatnya.

Dengan demikian, tidak benar UU KPK tidak memiliki tata kelola yang baik. Justru hasrat besar untuk merevisi UU KPK didasari pada niat yang patut diragukan, bahkan dicurigai sebagai upaya untuk merusak tata kelola organisasi KPK yang baik. Pengusul revisi UU KPK telah terbebani oleh beban politik para elite yang khawatir sewaktu-waktu menjadi sasaran KPK.

"Pikiran bahwa korupsi yang masih kronis bahkan masif di seluruh bagian tubuh Indonesia dan memiskinkan masyarakat sepertinya tidak dirasakan oleh para pengusul," tukasnya.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1394 seconds (0.1#10.140)