Banyu Biru, BIN & Relawan

Jum'at, 05 Februari 2016 - 15:13 WIB
Banyu Biru, BIN & Relawan
Banyu Biru, BIN & Relawan
A A A
Dunia kasak-kusuk baru saja diramaikan sepak terjang Banyu Biru Jarot yang mem-posting SK pengangkatannya sebagai staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN). Langkah tersebut sudah pasti memancing kontroversi karena menabrak hakikat profesi intelijen itu sendiri. Putra budayawan-politikus Eros Jarot itu pun akhirnya memilih mengundurkan diri.

Keteledoran yang ditunjukkan Banyu Biru tersebut harus diakui akibat ketidakpahamannya tentang intelijen. Bisa jadi dalam alam bawah sadarnya, dia hanya membayangkan dunia intelijen sebatas seperti James Bond: sosok ganteng yang tampil perlente, mempunyai tunggangan mobil mewah, dan setiap saat dikelilingi wanita cantik. Bisa jadi memang benar ada sosok seperti agen berkode 007 dalam dunia nyata, tapi publik tidak tahu karena kehebatannya merahasiakan identitasnya.

Namun, yang tidak bisa ditawar, inti dari profesi intelijen kerahasiaannya, bukan penampilannya. Seperti dijelaskan dalam buku Aku ”Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen, dengan tugas untuk mengambil dan mengumpulkan informasi yang akurat dan valid dari sumber primernya (the first hand information, the first hand fact), seorang intel sudah pasti dituntut mengambil posisi di jarak sangat dekat sehingga tahu persis kondisi objek sasaran.

Dengan demikian, dia niscaya harus mempunyai kebebasan bergerak di mana pun, kapan pun, dengan cara yang tidak diketahui, termasuk oleh objek sasaran. Aktivitas seperti ini biasanya diwujudkan dalam bentuk mata-mata, klandestin, penyusupan, dan pergerakan yang identik dengan misterius dan rahasia. Karena itu, sudah pasti seorang yang menjadi bagian intelijen tidak akan pernah mengatakan dirinya sedang melakukan aktivitas intelijen, menjadi anggota intelijen, apalagi mem-posting SK anggota intelijen.

Dalam dunia intelijen, ada adagium yang berbunyi: "Berani tidak dikenal, mati tidak dicari, berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki". Jika dipahami lebih dalam, adagium tersebut bukan hanya menyiratkan pentingnya kerahasiaan identitas dari seorang agen intelijen, seorang agen intelijen juga harus siap tidak populer, meskipun perannya begitu penting. Contoh gamblang bisa disaksikan dari seorang Zulkifli Lubis. Tidak banyak orang tahu siapa sosok yang dikenal sebagai bapak intelijen Indonesia, walaupun peran dia mempertahankan kemerdekaan Indonesia sangatlah besar.

Adagium tersebut juga menjelaskan begitu berat tugas yang diembannya beserta risiko yang dihadapinya, termasuk mempertaruhkan nyawanya. Dalam konteks intelijen negara, risiko demikian sepadan karena tugas intelijen untuk kepentingan masyarakat dan negara. Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono menyebut fungsi strategis intelijen dalam menghadapi kompleksitas ancaman dengan kalimat ”Tidak akan hidup tenang dan aman tanpa ada intelijen".

Berdasarkan pemahaman intelijen dan kontroversi Banyu Biru, bisa disimpulkan dia memang sebenarnya tidak memahami dunia intelijen. Dengan kata lain, dia tidak mempunyai kompetensi. Namun di sisi lain, tidak fair jika semua kesalahan harus dia tanggung sendiri. Pihak BIN, dalam hal ini Kepala BIN Sutiyoso, juga menjadi pihak yang patut dipersalahkan karena telah teledor menunjuk sembarang orang tanpa mempertimbangkan kompetensinya. Beruntung, Banyu Biru sejak awal sudah menunjukkan jati dirinya. Bagaimana jika identitasnya terungkap ketika dia sedang menjalankan misi? Tentu risikonya jauh lebih besar untuk negara ini.

Keteledoran BIN merekrut orang mestinya juga menjadi pelajaran institusi lain. Dalam kasus Banyu Biru, publik memafhumi dia bisa mendapat red carpet masuk BIN, karena dia adalah relawan pendukung Presiden Jokowi. Boleh saja BIN, BUMN, atau lain memberikan posisi kepada relawan sebagai bentuk apresiasi terhadap perjuangannya selama pilpres, tapi kompetensi harus tetap menjadi pertimbangan utama.

Sebaliknya, para relawan juga tidak boleh ngotot atau nekat begitu saja, asalkan mendapatkan posisi atau pekerjaan. Mereka hendaknya bisa mengukur baju sendiri, misalnya apakah layak menjabat posisi komisaris utama di sebuah perusahaan BUMN seperti bank. Mereka harus bertanya pada diri sendiri apakah akan bisa memberikan kontribusi strategik atau sekadar menjadi boneka pajangan yang hanya bisa memakan gaji buta. Dalam konteks ini, sikap Sukardi Rinakit yang memilih mundur dari jabatan sebagai komisaris utama Bank BTN bisa menjadi teladan kewarasan dalam mengukur diri.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4233 seconds (0.1#10.140)