Siapa Harus Dipilih?
A
A
A
Siapa yang harus dipilih? Siapa yang harus dicoblos? Pertanyaan tersebut perlu disampaikan sebelum menyalurkan hak suara dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar secara serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota pada Rabu (9/12) besok.Sekilas pertanyaan tersebut sangat sederhana. Tanpa pertanyaan itu pun, siapa pun tetap bisa menyalurkan suaranya. Namun jika para pemilik suara menggunakan sedikit waktu dan sedikit memaksa rasionalitas untuk menjawab pertanyaan tersebut, hasilnya akanberbeda. Pilihan akan lebih berbobot dan hasil pilkada lebih berkualitas karena berhasil menelurkan pemimpin yang lebih baik dari beberapa pilihan yang ada.Hal ini sangat berbeda jika pemilih hanya mendasari pilihan hanya berdasarkan asal pilih, kepatuhan atas dukungan partai politik (parpol), atau bahkan karena pengaruh politik uang. Mengapa demikian? Pertanyaan kecil tentang siapa harus dipilih di antara sejumlah pasang kandidat yang bertarung dalam pilkada di masingmasing kabupaten/kota dan provinsi akan mempunyai spektrum luas, karena pertanyaan tersebut mendasari pemilih untuk menentukan pilihannya secara rasional dan berdasar hati nurani.Dalam banyak kasus, partai politik dalam menentukan dukungan kandidat lebih banyak mengedepankan kepentingan elite per elite parpol atau oligarki. Elite yang memegang kendali parpol sering kali menganggap pilkada sebagai suatu permainan politik belaka. Karena itu, ujung dari keseluruhan kontestasi pilkada sangat pendek: jika tidak sebatas mengejar keuntungan finansial dari politik transaksional yang mereka lakukan dengan calon kandidat, mereka semata mengejar kekuasaan.Akibatnya, sering kali muncul gap antara kepentingan rakyat dan kandidat yang ditampilkan. Rakyat berharap kandidat yang terpilih bisa mewujudkan harapan untuk memperbaiki kesejahteraan dan melakukan perubahan lebih baik untuk masa depan daerahnya. Namun karena pemimpin yang terpilih merasa hanya mempunyai ikatan pragmatis dengan segelintir elite parpol, mereka sudah pasti akan berpikir bagaimana mengakumulasi keuntungan dari kekuasaan tersebut dan membagikannya dengan oligarki yang menopang kekuasaannya.Politik uang tak kalah sering membuat pemilih tidak mau berpikir panjang. Jika hal ini menjadi pendorong mayoritas pemilih, pemimpin yang terpilih kelak tidak akan merasa mempunyai ikatan dengan rakyat karena mereka merasa telah membayar lunas suara mereka. Beban para pemimpin yang terlahir dari perilaku politik demikian hanyalah bagaimana bisa mengembalikan investasi politik yang mereka gelontorkan atau bagaimana bisa membagi sumbersumber keuangan kepada mereka yang turut memberi sumbangan.Bila kemudian menyempatkan diri bertanya siapa yang harus dipilih, rasionalitas pemilih serta-merta akan melambung jauh dan menyahut pada satu persatu personalitas kandidat. Pemilih akan mencari referensi siapa kandidat tersebut, bagaimana pengalamannya, juga bagaimana latar belakang pendidikannya.Atau jika kandidat tersebut merupakan incumbent, pertanyaan akan meluncur deras tentang apakah yang bersangkutan selama ini melakukan KKN atau apakah bisa melakukan perubahan daerah lebih baik dibandingkan sebelumnya. Pertanyaan akan semakin berbobot jika dipertandingkan antara satu pasang kandidat dan kandidat yang lain.Memang tidak mudah untuk bisa mendapat jawaban dari berbagai pertanyaan tersebut. Apalagi, bagi pemilih yang latar belakang pendidikannya rendah. Kendati demikian, mereka bisa mendapat sedikit jawaban atau informasi dari berbagai cara, seperti obrolan di warungkopi, diperempatanjalan, danlainnya.Sedikitbanyakreferensi yang mereka dapatkan, hasilnya akan jauh lebih baik ketimbang yang asal-asalan atau hanya berdasarkan pertimbangan pragmatis. Masih ada satu hari bagi pemilih untuk bertanya dan mencari jawaban tentang siapa yang harus dipilih, sebelum menentukan pilihan siapa yang harus dicoblos.Ikhtiar tersebut dalam konteks kepemimpinan daerah saat ini sangat relevan karena tidak banyak di antara mereka sukses membangun daerahnya. Sebaliknya, kisah tentang korupsi menjadi domain utama kisah sepak terjang kepala daerah. Waktu satu hari tersisa untuk mengungkit rasionalitas dan menggugah sensitivitas nurani akan menjadi sangat berharga karena pemilih akan mempertaruhkan nasib diri dan daerahnya untuk lima tahun ke depan. Selamat berpilkada!!
(bhr)