Guru Honorer Menanti Jokowi

Rabu, 25 November 2015 - 06:40 WIB
Guru Honorer Menanti Jokowi
Guru Honorer Menanti Jokowi
A A A
NASIB guru di Indonesia tidak pernah selesai dibicarakan sejak zaman revolusi sampai era reformasi sekarang. Makhluk ini lebih banyak menderita dibanding sejahtera. Padahal jika kita mencermati sejarah, boleh dikatakan, Indonesia dibangun oleh guru. Para pendiri negeri adalah mereka yang pernah menjadi guru sebelum terjun dalam dunia politik seperti Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Moh Hatta, bahkan Jenderal Sudirman juga seorang guru, termasuk Bung Karno. Masih banyak lainnya. Semestinya pada hari ini, saat guru Indonesia merayakan harinya, tidak ada lagi cerita guru Indonesia melakukan demonstrasi berteriak untuk urusan nasi.

Kenyataannya, kondisi guru saat ini bukan makin semringah, tetapi justru resah karena terabaikan oleh pemerintah. Betapa tidak, beberapa saat lalu, khususnya guru tidak tetap atau guru honorer sempat terhibur janji pemerintah yang akan memperbaiki nasib mereka. Tetapi, hari ini para guru tersebut harus gigit jari sebab pemerintah tidak memenuhi janjinya alias tidak jadi melakukan pengangkatan guru honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Presiden Jokowi dalam pidatonya pernah mengungkapkan bahwa di Indonesia ada sekitar 300.000 sekolah dengan 2 juta guru dan 40 juta siswa. Tentu yang disebut adalah guru pemerintah. Berapa jumlah guru yang ada? Berdasarkan data dari Kemendikbud, jumlah guru ada 3.015.315 dengan rincian yang sudah PNS sebanyak 1,6 juta, sementara guru tetap yayasan ada 717.257 dan guru tidak tetap 91.963 orang. Meminjam data dari Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) ada sekitar 2,8 juta guru di seluruh Indonesia dengan rincian sekitar 55% guru PNS dan 45% guru honorer.

Data ini juga mirip dengan yang dimiliki Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menyebutkan, jumlah guru honorer hampir sama dengan guru PNS atau sekitar 1,7 juta orang. Dalam kerjanya, antara guru honorer tidak beda dengan guru PNS dari ukuran waktu dan ilmu termasuk tanggung jawabnya. Yang berbeda adalah bayarannya. Guru PNS menerima bayaran jelas karena mengacu pada aturan pemerintah, sementara guru honorer tidak jelas dan masing-masing berbeda honornya.

Kehadiran para guru honorer atau guru tidak tetap muncul karena pemerintah belum mampu menyediakan sekolah di banyak tempat, terutama yang jauh dari kota. Menyadari pentingnya pendidikan, masyarakat mendirikan lembaga pendidikan atau yayasan pendidikan. Namun, kembali lagi, pemerintah belum mampu menyediakan tenaga guru sehingga muncullah guru tidak tetap, guru yang bukan PNS, selanjutnya dikenal sebagai guru honorer. Mayoritas guru honorer bekerja di desa-desa, perbatasan negara, dan wilayah terpencil di Indonesia.

***

Makin hari lembaga pendidikan makin banyak seiring kesadaran masyarakat perlunya sekolah. Praktis guru honorer juga bertambah karena pemerintah tidak mampu menyediakan guru PNS. Niat mulia para guru mengabdi pada dunia pendidikan kenyataannya tidak sejalan dengan program dan prioritas pemerintah yang terkesan mengesampingkan dunia pendidikan. Maka itu, kondisi guru honorer yang jumlahnya cukup besar menjadi sangat kompleks dari urusan status kepegawaian sampai kesejahteraan dan masa depannya.

Mereka bukan PNS juga bukan buruh sehingga standar honor dipakai tidak mengacu pada upah minimum provinsi (UMP). Banyak guru honorer menerima penghasilan setiap bulannya jauh di bawah UMP. Lucunya, ketika kaum buruh menuntut kenaikan upah di banyak tempat, kelompok guru honorer ikut bergabung dalam unjuk rasa. Tetapi, ketika UMP dikoreksi pemerintah dan membaik, hal ini hanya berlaku untuk buruh, sedangkan honor guru tetap tidak jelas. Ini karena pemerintah menganggap guru bukan buruh.

Sebetulnya dalam standar internasional honorer, terutama guru honorer, mereka termasuk dalam bagian buruh. Semestinya jika guru honorer di Indonesia belum bisa diangkat tidak ada salahnya pemerintah menyesuaikan penghasilan guru dengan pendapatan buruh. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 14 ayat 1 disebutkan, guru dan dosen berhak mendapat upah sesuai kebutuhan minimum. Dengan kata lain, pemerintah juga punya kewajiban memberi penghasilan layak sesuai dengan kebutuhan minimum. Menurut Ketua Umum PGRI Sulistyo, masih sangat banyak guru honorer dibayar jauh dari UMP, bahkan ada yang hanya dibayar Rp200.000 per bulan dengan waktu kerja tidak berbeda dengan guru pemerintah.

Kita sepakat bahwa menjadi guru adalah pekerjaan yang mulia. Apa jadinya sebuah bangsa tanpa kehadiran makhluk bernama guru? Mungkin banyak orang sepakat bahwa guru bukanlah buruh sebab seorang guru harus lebih pandai dari seorang buruh. Tetapi, dalam hal kesejahteraan dan penghasilan guru honorer yang tidak seragam dan suka-suka nilainya akibat tidak ada standar pengupahan, ada baiknya, sejenak, pengaturan gaji guru honorer menumpang “kendaraan” pada organisasi buruh. Sampai kapan? Sampai pemerintah memiliki kemampuan menghargai atau mengangkat nasib guru honorer ke jenjang yang layak.

Sejatinya, apakah itu guru honorer atau guru pemerintah pada hakikatnya mereka tetap guru. Guru yang menjadikan bangsa ini bisa “membaca”, memiliki harga diri, dan sejajar dengan bangsa lain. Namun, bukan cerita hari ini saja ada guru, begitu usai mengajar di sekolah atau kelas, kemudian nyambi sebagai tukang ojek, tukang tambal ban, sopir angkot, dan sebagainya. Ironisnya, yang tambal ban atau naik ojek dan angkot tidak lain adalah para muridnya.

Bisa dibayangkan bagaimana seorang guru mengajar di kelas sementara pikirannya melayang keluar kelas memikirkan beras di rumahnya sudah habis. Padahal, guru harus fokus mengajar agar murid pandai dan kelak mampu memimpin negeri ini dengan baik. Guru yang baik haruslah lebih baik dari muridnya dengan terus menimba ilmu, belajar tiada henti untuk diberikan kembali kepada para murid. Pendeknya, meminjam istilah sekarang, guru adalah garda terdepan dalam proses revolusi mental. Tetapi, bagaimana dia akan menjadi agen perubahan jika hidupnya tidak tenang?

Juga, bukan cerita kosong tentang banyak guru yang “tidak pernah” melihat lembar kertas surat keputusan (SK) pengangkatan dirinya sebagai PNS sebab begitu menerima secarik kertas tersebut langsung masuk rumah gadai. SK guru miliknya dijaminkan ke rumah gadai atau bank atau lebih parah lagi kepada rentenir guna mendapatkan uang memenuhi kebutuhan hidup dan fasilitas sebagai seorang pengajar misal membeli sepeda motor agar lancar mengajar atau komputer dan sebaginya.

Mendikbud, suatu hari di Padang, guru wajib melek media dengan cara banyak membaca majalah dan koran. Tentu sangat baik dan ideal anjurannya, apalagi rutin membuka internet mencari informasi, tetapi harus diakui itu hanya bisa dilakukan guru yang hidup di perkotaan dengan gaji layak. Untuk guru di daerah, itu barang mewah. Butuh media untuk melihat jendela dunia agar guru pandai dan berkualitas, tetapi itu tidak murah.

Berharap kepada pemerintah untuk menjelaskan penundaan pengangkatan guru honorer menjadi PNS. Hal tersebut sudah sempat dijanjikan dan sekarang membuat para guru honorer kecewa. Jika tidak bisa diangkat menjadi PNS, perlu dipikirkan para guru honorer ini disertakan pada sertifikasi guru sehingga bisa mendapat tunjangan profesi guru. Perasaan guru honorer dizalimi pemerintah dengan pembatalan pengangkatan ini semakin mengganggu dalam kegiatan mengajar. Tentu dapat berdampak buruk terhadap situasi pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah.

*Redaksi KORAN SINDO menerima artikel dari pembaca untuk mengisi rubrik Opini. Panjang artikel 800–1.000 kata (5.000–6.500 karakter) dan bisa dikirimkan ke email opini.sindo@mncgroup.com. Harap mencantumkan curriculum vitae, foto terbaru,
serta nomor rekening.

Jika setelah seminggu sejak tanggal pengiriman artikel belum ada konfirmasi langsung dari Redaksi, artikel yang dikirim dianggap dikembalikan ke penulis.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5345 seconds (0.1#10.140)