Antisipasi Ancaman ISIS
A
A
A
AKANKAH Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menyasar Indonesia sebagai target aksi terorisme selanjutnya? Pertanyaan ini patut menjadi perhatian karena jangan sampai keamanan Indonesia kembali terkoyak, seperti dialami Prancis akhir pekan kemarin yang memakan 129 korban jiwa dan ratusan lain terluka. Jangan sampai masyarakat tidak berdosa kembali menjadi korban seperti saat rangkaian aksi terorisme –mulai bom Bali I hingga JW Marriott II.
ISIS harus menjadi fokus perhatian karena mereka telah menghadirkan ancaman nyata. Sebelum menghadirkan kekacauan di Prancis, kelompok jihadis yang diproklamasikan Abubakar Al-Baghdadi pada 2014 telah memorak-porandakan Suriah dan Irak serta mengambil sebagian wilayah negeri yang terpuruk tersebut sebagai daerah kekuasaan mereka.
Ancaman ISIS secara faktual, kini sudah menjadi mimpi buruk bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Bukan tidak mungkin Indonesia juga menjadi salah satu target dari aksi terorisme mereka. Dari pragmatisme gerakan yang mereka tunjukkan, ISIS akan melakukan apa pun dan dengan cara apa pun untuk mewujudkan misi mereka.
Cerita tentang pemenggalan kepala, pemerkosaan, dan penghancuran situs Islam, juga menunjukkan mereka adalah kelompok barbarian yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan universal dan agama. Karena itu, mereka tidak saja akan menyasar negara-negara Barat, tetapi negara mana pun yang mereka kehendaki, termasuk Indonesia.
Secara spesifik, aparat keamanan Indonesia harus secara serius mengantisipasi karena ISIS faktual sudah menyebarkan pengaruhnya di Tanah Air. Dengan memanfaatkan saluran teknologi informasi, mereka menyebarkan doktrin jihadis mereka kepada berbagai kalangan. ISIS bahkan sudah mempunyai pengikut. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, ribuan orang WNI sudah berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan gerakan jihadis tersebut.
Laporan terbaru, di tengah gempuran Rusia dan AS beserta sekutunya, ISIS terus merekrut WNI untuk menambah kekuatan mereka. Beberapa hari lalu sekitar 36 WNI ditangkap di Malaysia karena diduga akan bergabung dengan ISIS. Kondisi tersebut tidak hanya menunjukkan betapa kuatnya doktrinasi ideologi mereka, tetapi juga kuatnya finansial yang mereka miliki.
Keberadaan WNI sebagai simpatisan dan anggota ISIS inilah yang harus diwaspadai aparat keamanan. Apalagi, di tengah tekanan terhadap ISIS yang kian kuat, termasuk gempuran Prancis yang tengah meluapkan murkanya pascatragedi Paris, sangat mungkin anggota ISIS eksodus dari wilayah Suriah dan Irak. Bukan tidak mungkin pula WNI anggota ISIS kembali ke Tanah Air untuk melanjutkan misi jihadis mereka.
Antisipasi penting yang perlu dilakukan adalah bagaimana aparat intelijen mampu mendeteksi segala gerak-gerik mereka, sehingga ancaman terorisme sudah bisa dihentikan sebelum mereka beraksi. Berkaca pada tragedi Paris dan teror Metrojet, ISIS mampu merancang suatu aksi dengan sangat rapi, terukur, dan terkoordinasi dengan baik, sehingga aparat intelijen Prancis yang sebenarnya sejak serangan Charlie Hebdo sudah siaga tetap gagal mengendus rencana serangan Paris. Begitu pun Rusia sama sekali tidak mengendus rencana teror terhadap pesawat mereka hingga 224 orang menjadi korban.
Selain mempertajam kemampuan intelijen, pemerintah perlu menderadikalisasi WNI anggota ISIS yang balik ke Tanah Air. Hal ini pentingnya karena kenekatan mereka meninggalkan harta benda dan keluarga demi mempertaruhkan nyawa bersama ISIS menunjukkan doktrinasi ISIS telah menancap kuat dalam pikiran mereka. Tanpa upaya penyadaran, mereka setiap saat akan digerakkan ISIS untuk melaksanakan aksi terorisme.
Tidak kalah pentingnya, pemerintah bersama ormas agama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memberikan pemahaman kepada umat seperti apa ISIS. Hal ini penting karena banyaknya WNI yang bergabung dengan ISIS membuktikan banyak masyarakat yang rentan terpengaruh simbol dan jargon agama yang menjadi jualan ISIS. Di sisi lain, pemahaman tentang siapa dan bagaimana ISIS akan mempersempit ruang gerak ISIS untuk melebarkan pengaruh dan melakukan aksi terorisme di Tanah Air.
ISIS harus menjadi fokus perhatian karena mereka telah menghadirkan ancaman nyata. Sebelum menghadirkan kekacauan di Prancis, kelompok jihadis yang diproklamasikan Abubakar Al-Baghdadi pada 2014 telah memorak-porandakan Suriah dan Irak serta mengambil sebagian wilayah negeri yang terpuruk tersebut sebagai daerah kekuasaan mereka.
Ancaman ISIS secara faktual, kini sudah menjadi mimpi buruk bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Bukan tidak mungkin Indonesia juga menjadi salah satu target dari aksi terorisme mereka. Dari pragmatisme gerakan yang mereka tunjukkan, ISIS akan melakukan apa pun dan dengan cara apa pun untuk mewujudkan misi mereka.
Cerita tentang pemenggalan kepala, pemerkosaan, dan penghancuran situs Islam, juga menunjukkan mereka adalah kelompok barbarian yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan universal dan agama. Karena itu, mereka tidak saja akan menyasar negara-negara Barat, tetapi negara mana pun yang mereka kehendaki, termasuk Indonesia.
Secara spesifik, aparat keamanan Indonesia harus secara serius mengantisipasi karena ISIS faktual sudah menyebarkan pengaruhnya di Tanah Air. Dengan memanfaatkan saluran teknologi informasi, mereka menyebarkan doktrin jihadis mereka kepada berbagai kalangan. ISIS bahkan sudah mempunyai pengikut. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, ribuan orang WNI sudah berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan gerakan jihadis tersebut.
Laporan terbaru, di tengah gempuran Rusia dan AS beserta sekutunya, ISIS terus merekrut WNI untuk menambah kekuatan mereka. Beberapa hari lalu sekitar 36 WNI ditangkap di Malaysia karena diduga akan bergabung dengan ISIS. Kondisi tersebut tidak hanya menunjukkan betapa kuatnya doktrinasi ideologi mereka, tetapi juga kuatnya finansial yang mereka miliki.
Keberadaan WNI sebagai simpatisan dan anggota ISIS inilah yang harus diwaspadai aparat keamanan. Apalagi, di tengah tekanan terhadap ISIS yang kian kuat, termasuk gempuran Prancis yang tengah meluapkan murkanya pascatragedi Paris, sangat mungkin anggota ISIS eksodus dari wilayah Suriah dan Irak. Bukan tidak mungkin pula WNI anggota ISIS kembali ke Tanah Air untuk melanjutkan misi jihadis mereka.
Antisipasi penting yang perlu dilakukan adalah bagaimana aparat intelijen mampu mendeteksi segala gerak-gerik mereka, sehingga ancaman terorisme sudah bisa dihentikan sebelum mereka beraksi. Berkaca pada tragedi Paris dan teror Metrojet, ISIS mampu merancang suatu aksi dengan sangat rapi, terukur, dan terkoordinasi dengan baik, sehingga aparat intelijen Prancis yang sebenarnya sejak serangan Charlie Hebdo sudah siaga tetap gagal mengendus rencana serangan Paris. Begitu pun Rusia sama sekali tidak mengendus rencana teror terhadap pesawat mereka hingga 224 orang menjadi korban.
Selain mempertajam kemampuan intelijen, pemerintah perlu menderadikalisasi WNI anggota ISIS yang balik ke Tanah Air. Hal ini pentingnya karena kenekatan mereka meninggalkan harta benda dan keluarga demi mempertaruhkan nyawa bersama ISIS menunjukkan doktrinasi ISIS telah menancap kuat dalam pikiran mereka. Tanpa upaya penyadaran, mereka setiap saat akan digerakkan ISIS untuk melaksanakan aksi terorisme.
Tidak kalah pentingnya, pemerintah bersama ormas agama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memberikan pemahaman kepada umat seperti apa ISIS. Hal ini penting karena banyaknya WNI yang bergabung dengan ISIS membuktikan banyak masyarakat yang rentan terpengaruh simbol dan jargon agama yang menjadi jualan ISIS. Di sisi lain, pemahaman tentang siapa dan bagaimana ISIS akan mempersempit ruang gerak ISIS untuk melebarkan pengaruh dan melakukan aksi terorisme di Tanah Air.
(hyk)