Menjemput Keadilan
A
A
A
SEDULUR Sikep sedang memperjuangkan nasib tanah leluhurnya yang terancam pabrik semen. Ini ancaman kehancuran lingkungan dalam arti luas, termasuk lenyapnya sumber air kehidupan bagi manusia dan semua makhluk yang menghuni pegunungan Kendeng.
Perlu dicatat, pegunungan ini merupakan suatu wilayah kehidupan semua makhluk yang lebih tua dari pemerintahan raja-raja Jawa, jauh lebih tua lagi dari pemerintahan kaum penjajah maupun pemerintahan negara Republik Indonesia.
Apalagi, sekadar dibanding dengan pemerintahan daerah Jawa Tengah, yang sekarang dipimpin orang yang ideologi partainya mengabdi kepentingan kaum Marhaen, ”wong cilik” dan mereka yang tertindas oleh kekuatan apa pun. Di bawah pemerintahan orang yang berpegang pada ideologi partai seperti itu, haruskah rakyatnya berjuang sendiri mati-matian mempertahankan tanah leluhur dan hak hidup mereka dari segala jenis ancaman kehancuran?
Kalau pemerintah Jawa Tengah yaitu ”ndoro” Toewan Gubernur memberi mereka pengayoman dan perlindungan, itu bukan tanda kemurahan hati. Pemerintah memberi pengayoman dan perlindungan itu bukan karena kemurahan hati, melainkan karena memang begitulah kewajibannya. Sejak dulu Sedulur Sikep tak pernah mengharapkan kebaikan hati dalam corak apa pun. Kalau pemerintah sudah mau menjalankan tugas utamanya, Sedulur Sikep sudah merasa berbahagia.
Dalam minggu-minggu ini mereka sedang merancang cara terbaik untuk memperjuangkan hak hidup mereka, dengan langkah penuh kelembutan, berakhlak mulia, dan tanpa melakukan apa pun yang bisa dianggap gawe kapitunaning liyan. Memperjuangkan hak harus ditempuh dengan cara-cara yang hak, yang benar, bukan yang batil.
***
Perjuangan Sedulur Sikep itu mereka sebut ”menjemput keadilan”. Kelihatannya, ungkapan metaforik itu menggambarkan beberapa kemungkinan.
Pertama, mungkin Sedulur Sikep merasa khawatir bahwa mereka tak bisa memenangkan perjuangan keadilan pada zaman ketika keadilan sudah telanjur menjadi barang dagangan seperti sekarang ini.
Kedua, keadilan itu barang mahal, dan bisa bersikap ”jual mahal”, ibarat putri cantik, sehingga apa boleh buat, Sedulur Sikep mengalah, dan bersedia menjemputnya di pusat pemerintahan di Semarang.
Ketiga, keadilan tidak bisa diserahkan pada mekanisme birokrasi pengadilan negeri kita, yang telah membuat dirinya sendiri tak bisa dipercaya. Maka itu, perjuangan hukum menegakkan keadilan harus juga disertai sedikit warna politik: proses pengambilan keputusan wajib dikawal secara ketat agar keadilan tidak dimain-mainkan begitu saja.
Keempat, dalam hidup, apa yang sudah merupakan hak itu pun tak dengan sendirinya bisa kita raih. Apa yang sudah merupakan hak kita itu masih wajib diperjuangkan. Dan, Sedulur Sikep pun kini memperjuangkannya.
***
Apa yang mereka lakukan? Ada suatu ritus yang sudah menjadi tradisi yang disakralkan di masyarakat setempat yaitu lamporan. Lampor itu hama penyakit tanaman, yang membuat tanaman Sedulur Sikep rusak dan membuat mereka menderita. Selain itu, terjadi pagebluk, banyak orang sakit. Ini suatu fenomena menakutkan bagi siapa saja di lingkungan masyarakat Sedulur Sikep tersebut.
Mereka menyelenggarakan ritus itu di Sonokeling, sebuah rumah besar yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara adat. Rakyat membawa obor sebagai simbol melawan dan mengusir lampor, yang merupakan sumber penyakit yang menakutkan tadi. Tetapi, yang mereka lawan sekarang bukan lampor jenis itu, melainkan lampor baru.
Adakah lampor model baru? Ada. Semua kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat disamakan dengan lampor yang mengundang kesulitan dalam hidup petani. Pengadilan dianggap salah satu rumah lampor.
Selesai ritus lamporan mereka menyelenggarakan brokohan: suatu ritus berupa doa bersama, mohon keselamatan bagi seluruh warga Sedulur Sikep dan lingkungan alam tempat mereka berdomisili.
Sesudah itu mereka berjalan menuju Kudus, di makam Mbah Gareng yaitu seorang tokoh dalam Perang Jawa dulu. Pangeran Diponegoro memberinya tugas menjaga kelestarian hidup seluruh lingkungan pegunungan Kendeng tadi. Maka itu, para petani, Sedulur Sikep pun ”menghadap” di makam tersebut. Di sana para tokoh agama di Kudus sudah menanti mereka. Kemudian mereka berdoa bersama demi kemenangan perjuangan Sedulur Sikep.
Dari Kudus, mereka menuju Demak, untuk sowan ke Kadilangu, makam Kanjeng Sunan Kalijaga. Di sini pun mereka berdoa untuk kemenangan perjuangan Sedulur Sikep tadi. Semua ini bersifat simbolik untuk menguatkan jiwa mereka yang sedang merana. Sowan kepada para leluhur dianggap dapat memberikan suatu suasana kejiwaan yang adem, ayem, sejuk, nyaman, dan tidak terbakar kemarahan.
Ini perkara penting agar langkah perjuangan mereka menjemput keadilan, dan kemudian memperoleh keadilan itu sendiri, tidak dinodai kekerasan. Sedulur Sikep tak menyukai kekerasan, dalam wujud apa pun.
Dari Kadilangu, sesudah acara berdoa di makan Kanjeng Sunan Kalijaga selesai dengan baik, mereka meneruskan perjalanan -dengan wajah tertunduk- menuju pengadilan negeri Semarang. Mereka berjalan menunduk karena mereka tak bermaksud menantang siapa pun.
Tapi, wajah yang tertunduk itu tetap waspada. Di depan, di kiri dan kanan, maupun di belakang mereka boleh jadi ada musuh yang mengamat-amati sambil menyelinap diam-diam dalam kegelapan.
Ini sebuah perjalanan panjang kaum tani yang disebut Sedulur Sikep dari pegunungan Kendeng. Bisa saja mereka mengerahkan seluruh petani supaya keadaan kelihatan agak ”nggegirisi”, dan tampak lebih dramatik. Tapi, mereka tidak sedang bermain drama. Mereka bukan aktor. Dramatik atau tidak, hal itu tidak begitu penting bagi mereka.
Jumlah petani yang dilibatkan di dalam perjuangan menjemput keadilan ini tidak banyak. Mungkin sekitar seratus, atau seratus lima puluhan orang.
Di Pengadilan Negeri Semarang mereka akan menanti dengan tertib. Di sana petani memperlihatkan adab sopan santun kaum tani yang mengerti etika. Mereka hanya menanti dan menanti dengan tertib, tanpa sorak-sorai. Tidak ada yang bisa disorakkan. Tidak ada yang bisa disambut dengan teriakan.
Menunggu ya menunggu. Dan, mereka menunggu dengan sabar, sesabar pegunungan Kendeng yang tua, menghadapi ulah manusia yang bakal merusak kelestariannya.
Tapi, sesabar apa pun, pegunungan itu bisa menunjukkan sikap alamnya. Alam bisa ramah, bisa keras. Tergantung siapa yang dihadapi. Ada momen ketika dia harus marah, dengan kemarahan alam yang besar, pada siapa yang mengancamnya. Dia bisa mendatangkan sebuah goro-goro.
Ndoro Toewan Gubernur, di mana dan sedang apakah Ndoro Toewan ketika tetesan air mata Sedulur Sikep membasahi baju mereka, menetes di bumi Semarang, pusat pemerintahan Ndoro Toewan? Apakah Ndoro Toewan tak ikut nelangsa seperti mereka, anak-anak Ndoro Toewan yang harus dilindungi?
Apakah kata Ndoro Toewan mendengar sindiran mereka bahwa kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat juga tergolong lampor, sumber penyakit, sumber malapetaka bagi rakyat? Ndoro Toewan, jangan membisu bagai batu-batu pegunungan Kendeng, yang sedang didera lampor baru.
Perlu dicatat, pegunungan ini merupakan suatu wilayah kehidupan semua makhluk yang lebih tua dari pemerintahan raja-raja Jawa, jauh lebih tua lagi dari pemerintahan kaum penjajah maupun pemerintahan negara Republik Indonesia.
Apalagi, sekadar dibanding dengan pemerintahan daerah Jawa Tengah, yang sekarang dipimpin orang yang ideologi partainya mengabdi kepentingan kaum Marhaen, ”wong cilik” dan mereka yang tertindas oleh kekuatan apa pun. Di bawah pemerintahan orang yang berpegang pada ideologi partai seperti itu, haruskah rakyatnya berjuang sendiri mati-matian mempertahankan tanah leluhur dan hak hidup mereka dari segala jenis ancaman kehancuran?
Kalau pemerintah Jawa Tengah yaitu ”ndoro” Toewan Gubernur memberi mereka pengayoman dan perlindungan, itu bukan tanda kemurahan hati. Pemerintah memberi pengayoman dan perlindungan itu bukan karena kemurahan hati, melainkan karena memang begitulah kewajibannya. Sejak dulu Sedulur Sikep tak pernah mengharapkan kebaikan hati dalam corak apa pun. Kalau pemerintah sudah mau menjalankan tugas utamanya, Sedulur Sikep sudah merasa berbahagia.
Dalam minggu-minggu ini mereka sedang merancang cara terbaik untuk memperjuangkan hak hidup mereka, dengan langkah penuh kelembutan, berakhlak mulia, dan tanpa melakukan apa pun yang bisa dianggap gawe kapitunaning liyan. Memperjuangkan hak harus ditempuh dengan cara-cara yang hak, yang benar, bukan yang batil.
***
Perjuangan Sedulur Sikep itu mereka sebut ”menjemput keadilan”. Kelihatannya, ungkapan metaforik itu menggambarkan beberapa kemungkinan.
Pertama, mungkin Sedulur Sikep merasa khawatir bahwa mereka tak bisa memenangkan perjuangan keadilan pada zaman ketika keadilan sudah telanjur menjadi barang dagangan seperti sekarang ini.
Kedua, keadilan itu barang mahal, dan bisa bersikap ”jual mahal”, ibarat putri cantik, sehingga apa boleh buat, Sedulur Sikep mengalah, dan bersedia menjemputnya di pusat pemerintahan di Semarang.
Ketiga, keadilan tidak bisa diserahkan pada mekanisme birokrasi pengadilan negeri kita, yang telah membuat dirinya sendiri tak bisa dipercaya. Maka itu, perjuangan hukum menegakkan keadilan harus juga disertai sedikit warna politik: proses pengambilan keputusan wajib dikawal secara ketat agar keadilan tidak dimain-mainkan begitu saja.
Keempat, dalam hidup, apa yang sudah merupakan hak itu pun tak dengan sendirinya bisa kita raih. Apa yang sudah merupakan hak kita itu masih wajib diperjuangkan. Dan, Sedulur Sikep pun kini memperjuangkannya.
***
Apa yang mereka lakukan? Ada suatu ritus yang sudah menjadi tradisi yang disakralkan di masyarakat setempat yaitu lamporan. Lampor itu hama penyakit tanaman, yang membuat tanaman Sedulur Sikep rusak dan membuat mereka menderita. Selain itu, terjadi pagebluk, banyak orang sakit. Ini suatu fenomena menakutkan bagi siapa saja di lingkungan masyarakat Sedulur Sikep tersebut.
Mereka menyelenggarakan ritus itu di Sonokeling, sebuah rumah besar yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara adat. Rakyat membawa obor sebagai simbol melawan dan mengusir lampor, yang merupakan sumber penyakit yang menakutkan tadi. Tetapi, yang mereka lawan sekarang bukan lampor jenis itu, melainkan lampor baru.
Adakah lampor model baru? Ada. Semua kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat disamakan dengan lampor yang mengundang kesulitan dalam hidup petani. Pengadilan dianggap salah satu rumah lampor.
Selesai ritus lamporan mereka menyelenggarakan brokohan: suatu ritus berupa doa bersama, mohon keselamatan bagi seluruh warga Sedulur Sikep dan lingkungan alam tempat mereka berdomisili.
Sesudah itu mereka berjalan menuju Kudus, di makam Mbah Gareng yaitu seorang tokoh dalam Perang Jawa dulu. Pangeran Diponegoro memberinya tugas menjaga kelestarian hidup seluruh lingkungan pegunungan Kendeng tadi. Maka itu, para petani, Sedulur Sikep pun ”menghadap” di makam tersebut. Di sana para tokoh agama di Kudus sudah menanti mereka. Kemudian mereka berdoa bersama demi kemenangan perjuangan Sedulur Sikep.
Dari Kudus, mereka menuju Demak, untuk sowan ke Kadilangu, makam Kanjeng Sunan Kalijaga. Di sini pun mereka berdoa untuk kemenangan perjuangan Sedulur Sikep tadi. Semua ini bersifat simbolik untuk menguatkan jiwa mereka yang sedang merana. Sowan kepada para leluhur dianggap dapat memberikan suatu suasana kejiwaan yang adem, ayem, sejuk, nyaman, dan tidak terbakar kemarahan.
Ini perkara penting agar langkah perjuangan mereka menjemput keadilan, dan kemudian memperoleh keadilan itu sendiri, tidak dinodai kekerasan. Sedulur Sikep tak menyukai kekerasan, dalam wujud apa pun.
Dari Kadilangu, sesudah acara berdoa di makan Kanjeng Sunan Kalijaga selesai dengan baik, mereka meneruskan perjalanan -dengan wajah tertunduk- menuju pengadilan negeri Semarang. Mereka berjalan menunduk karena mereka tak bermaksud menantang siapa pun.
Tapi, wajah yang tertunduk itu tetap waspada. Di depan, di kiri dan kanan, maupun di belakang mereka boleh jadi ada musuh yang mengamat-amati sambil menyelinap diam-diam dalam kegelapan.
Ini sebuah perjalanan panjang kaum tani yang disebut Sedulur Sikep dari pegunungan Kendeng. Bisa saja mereka mengerahkan seluruh petani supaya keadaan kelihatan agak ”nggegirisi”, dan tampak lebih dramatik. Tapi, mereka tidak sedang bermain drama. Mereka bukan aktor. Dramatik atau tidak, hal itu tidak begitu penting bagi mereka.
Jumlah petani yang dilibatkan di dalam perjuangan menjemput keadilan ini tidak banyak. Mungkin sekitar seratus, atau seratus lima puluhan orang.
Di Pengadilan Negeri Semarang mereka akan menanti dengan tertib. Di sana petani memperlihatkan adab sopan santun kaum tani yang mengerti etika. Mereka hanya menanti dan menanti dengan tertib, tanpa sorak-sorai. Tidak ada yang bisa disorakkan. Tidak ada yang bisa disambut dengan teriakan.
Menunggu ya menunggu. Dan, mereka menunggu dengan sabar, sesabar pegunungan Kendeng yang tua, menghadapi ulah manusia yang bakal merusak kelestariannya.
Tapi, sesabar apa pun, pegunungan itu bisa menunjukkan sikap alamnya. Alam bisa ramah, bisa keras. Tergantung siapa yang dihadapi. Ada momen ketika dia harus marah, dengan kemarahan alam yang besar, pada siapa yang mengancamnya. Dia bisa mendatangkan sebuah goro-goro.
Ndoro Toewan Gubernur, di mana dan sedang apakah Ndoro Toewan ketika tetesan air mata Sedulur Sikep membasahi baju mereka, menetes di bumi Semarang, pusat pemerintahan Ndoro Toewan? Apakah Ndoro Toewan tak ikut nelangsa seperti mereka, anak-anak Ndoro Toewan yang harus dilindungi?
Apakah kata Ndoro Toewan mendengar sindiran mereka bahwa kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat juga tergolong lampor, sumber penyakit, sumber malapetaka bagi rakyat? Ndoro Toewan, jangan membisu bagai batu-batu pegunungan Kendeng, yang sedang didera lampor baru.
(hyk)