NPI Catat Surplus
A
A
A
NERACA Perdagangan Indonesia (NPI) mencatat surplus sebesar USD8,16 miliar sepanjang Januari – Oktober 2015. Surplus tersebut tercipta dari kumulatif ekspor sebesar USD127,22 miliar dibanding kumulatif impor sebesar USD119,05 miliar. Pencapaian surplus NPI pada Januari hingga Oktober adalah tertinggi sejak 2011.
Meski nilai ekspor lebih tinggi dari nilai impor pada priode Januari – Oktober pada tahun ini, namun terjadi penurunan sekitar 14,04% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, penurunan nilai impor sepanjang Januari – Oktober 2015 mencapai 20,47% dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Adapun komoditi ekspor terbesar meliputi lemak dan minyak hewan nabati dan bahan bakar mineral.
Adapun negara tujuan ekspor terbesar sepanjang periode Januari – Oktober 2015 meliputi Amerika Serikat (AS) dengan total nilai ekspor sebesar USD12,83 miliar, menyusul Tiongkok sekitar USD11,01 miliar, dan Jepang senilai USD10,91 miliar. Sedangkan ekspor ke kawasan ASEAN tercatat USD23,01 miliar dan negara yang tergabung dalam Uni Eropa mencapai sebesar USD12,46 miliar.
Berkaitan peningkatan kinerja ekspor pemerintah mulai fokus menggarap sejumlah pasar nontradisional (di luar AS, Tiongkok dan Jepang). Sebaliknya, sumber impor terbesar didominasi Tiongkok senilai USD23,82 miliar, disusul Jepang sebesar USD11,31 miliar, dan Singapura tercatat sebesar USD7,31 miliar.
Berdasarkan data publikasi terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor masih dalam kecenderungan menurun. Tengok saja, nilai ekspor pada Oktober pada tahun ini tercatat USD12,08 miliar mengalami penurunan sekitar 4% dibandingkan nilai ekspor pada September 2015. Ditengarai penurunan nilai ekspor tersebut disebabkan harga sejumlah komoditas ekspor masih stagnan.
Namun, secara volume ekspor mengalami kenaikan sekitar 4,38%. Tercatat sebanyak dua dari 22 komoditas yang dipantau BPS mengalami kenaikan harga, yakni kakao sekitar 3,23% dan jagung sebesar 5,09%.
Sementara itu, nilai impor sepanjang Oktober 2015 tercatat sebesar USD11,07 miliar atau turun sekitar 4,27% dibandingkan nilai impor September 2015. Dan, volume impor mengalami penurunan sekitar 6,32%, meliputi impor nonmigas turun sebesar USD333,7 miliar atau 35% menjadi USD9,31 miliar, dan impor migas turun sebesar USD153,3 juta atau sekitar 8,12% menjadi USD1,76 miliar. Penurunan impor migas disebabkan berkurangnya nilai impor minyak sebesar USD142,2 juta dan hasil minyak sebesar USD90,3 juta.
Yang menarik dicermati dari angka-angka ekspor dan impor tersebut Indonesia selalu mencatatkan defisit untuk sejumlah negara. Salah satu mitra dagang yang selalu mencatat defisit besar adalah Negeri Tirai Bambu. Barang yang banyak didatangkan dari Tiongkok di antaranya peralatan mesin dan listrik, bahan kimia organik, plastik dan barang dari plastik, filamen buatan dan kapas.
Serbuan barang-barang produk Tiongkok memang sulit dihindari karena harga yang ditawarkan lebih murah dari produk lokal. Selain itu, pemerintah Tiongkok begitu peduli pada dunia usaha yang punya orientasi ekspor dengan memberi sejumlah insentif pajak dan kemudahan ekspor.
Melihat kinerja NPI yang positif dalam sepuluh bulan terakhir ini, pemerintah optimistis pada akhir tahun akan tercatat surplus meski angkanya masih tipis. Lalu bagaimana untuk tahun depan? Sepertinya pemerintah semakin percaya diri dengan alasan paket-paket kebijakan yang diterbitkan sejak September lalu segera terimplementasi mulai awal tahun 2016.
Masalahnya, apakah implementasi paket-paket kebijakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan target dan waktu yang sudah ditetapkan? Mengingat kondisi birokrasi di Indonesia belum ada perubahan yang mendasar dalam setahun pemerintahan Presiden Jokowi.
Hambatan lainnya yang ada di depan mata adalah faktor eksternal di mana kondisi perekonomian global yang belum kondusif. Saat ini, perekonomian internasional masih terus dihantui spekulasi rencana kenaikan suku bunga The Fed, yang kini membuat posisi rupiah kembali menunjukkan pelemahan terhadap dolar AS dalam beberapa hari ini.
Meski nilai ekspor lebih tinggi dari nilai impor pada priode Januari – Oktober pada tahun ini, namun terjadi penurunan sekitar 14,04% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, penurunan nilai impor sepanjang Januari – Oktober 2015 mencapai 20,47% dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Adapun komoditi ekspor terbesar meliputi lemak dan minyak hewan nabati dan bahan bakar mineral.
Adapun negara tujuan ekspor terbesar sepanjang periode Januari – Oktober 2015 meliputi Amerika Serikat (AS) dengan total nilai ekspor sebesar USD12,83 miliar, menyusul Tiongkok sekitar USD11,01 miliar, dan Jepang senilai USD10,91 miliar. Sedangkan ekspor ke kawasan ASEAN tercatat USD23,01 miliar dan negara yang tergabung dalam Uni Eropa mencapai sebesar USD12,46 miliar.
Berkaitan peningkatan kinerja ekspor pemerintah mulai fokus menggarap sejumlah pasar nontradisional (di luar AS, Tiongkok dan Jepang). Sebaliknya, sumber impor terbesar didominasi Tiongkok senilai USD23,82 miliar, disusul Jepang sebesar USD11,31 miliar, dan Singapura tercatat sebesar USD7,31 miliar.
Berdasarkan data publikasi terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor masih dalam kecenderungan menurun. Tengok saja, nilai ekspor pada Oktober pada tahun ini tercatat USD12,08 miliar mengalami penurunan sekitar 4% dibandingkan nilai ekspor pada September 2015. Ditengarai penurunan nilai ekspor tersebut disebabkan harga sejumlah komoditas ekspor masih stagnan.
Namun, secara volume ekspor mengalami kenaikan sekitar 4,38%. Tercatat sebanyak dua dari 22 komoditas yang dipantau BPS mengalami kenaikan harga, yakni kakao sekitar 3,23% dan jagung sebesar 5,09%.
Sementara itu, nilai impor sepanjang Oktober 2015 tercatat sebesar USD11,07 miliar atau turun sekitar 4,27% dibandingkan nilai impor September 2015. Dan, volume impor mengalami penurunan sekitar 6,32%, meliputi impor nonmigas turun sebesar USD333,7 miliar atau 35% menjadi USD9,31 miliar, dan impor migas turun sebesar USD153,3 juta atau sekitar 8,12% menjadi USD1,76 miliar. Penurunan impor migas disebabkan berkurangnya nilai impor minyak sebesar USD142,2 juta dan hasil minyak sebesar USD90,3 juta.
Yang menarik dicermati dari angka-angka ekspor dan impor tersebut Indonesia selalu mencatatkan defisit untuk sejumlah negara. Salah satu mitra dagang yang selalu mencatat defisit besar adalah Negeri Tirai Bambu. Barang yang banyak didatangkan dari Tiongkok di antaranya peralatan mesin dan listrik, bahan kimia organik, plastik dan barang dari plastik, filamen buatan dan kapas.
Serbuan barang-barang produk Tiongkok memang sulit dihindari karena harga yang ditawarkan lebih murah dari produk lokal. Selain itu, pemerintah Tiongkok begitu peduli pada dunia usaha yang punya orientasi ekspor dengan memberi sejumlah insentif pajak dan kemudahan ekspor.
Melihat kinerja NPI yang positif dalam sepuluh bulan terakhir ini, pemerintah optimistis pada akhir tahun akan tercatat surplus meski angkanya masih tipis. Lalu bagaimana untuk tahun depan? Sepertinya pemerintah semakin percaya diri dengan alasan paket-paket kebijakan yang diterbitkan sejak September lalu segera terimplementasi mulai awal tahun 2016.
Masalahnya, apakah implementasi paket-paket kebijakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan target dan waktu yang sudah ditetapkan? Mengingat kondisi birokrasi di Indonesia belum ada perubahan yang mendasar dalam setahun pemerintahan Presiden Jokowi.
Hambatan lainnya yang ada di depan mata adalah faktor eksternal di mana kondisi perekonomian global yang belum kondusif. Saat ini, perekonomian internasional masih terus dihantui spekulasi rencana kenaikan suku bunga The Fed, yang kini membuat posisi rupiah kembali menunjukkan pelemahan terhadap dolar AS dalam beberapa hari ini.
(hyk)