Membongkar Ideologi Kepahlawanan
A
A
A
SETIAP merayakan Hari Pahlawan memori kita terjebak pada sosok pahlawan sebagai orang yang berjuang hingga titik darah penghabisan dengan hanya menggunakan senjata bambu runcing.
Memori publik kita selalu mengaitkan personifikasi kepahlawanan dengan mitos bambu runcing. Ideologi ini tertanam dalam benak publik bahwa pahlawan adalah orang yang berjuang secara fisik dengan menggunakan bambu runcing. Ideologi ini ditancapkan ke dalam benak publik sehingga berakibat memori publik tergiring sebagai wujud benda dalam penampilan karya seni, patung, prasasti, atau monumen belaka.
Teks kepahlawanan berdasarkan heroisme belaka, tanpa melihat kognisi sosial dan konteks sehingga nilai kepahlawanan sekadar mitos yang bersifat memorial tanpa aktualisasi nyata dalam kehidupan berkonteks kekinian. Meminjam analisis wacana kritis van Dijk, terdapat tiga dimensi data: teks, kognisi sosial, konteks. Analisis kritis van Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana itu ke dalam kesatuan analisis secara komprehensif. Karena itu, menelisik wacana kepahlawanan yang berkembang selama ini menjadi sebuah kebutuhan. Apakah teks kepahlawanan yang dominan ideologi heroisme belaka telah membawa akibat sekadar romantisme, namun tidak mampu mengubah sikap kehidupan dan perilaku masyarakat.
Mitos “Bambu Runcing”
Pahlawan bukan sekadar mitos “bambu runcing”, melainkan mereka adalah sosok yang terus-menerus mengaktualkan nilai dan menggali kreativitas dengan memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat. Sederhananya, pahlawan adalah mereka yang bisa menciptakan jutaan lapangan kerja bagi para pengangguran. Pahlawan adalah sosok pejabat publik yang bisa memberikan pelayanan pendidikan yang murah dan akses kesehatan yang terjangkau.
Kesan umum selama ini bahwa pahlawan adalah mereka yang gagah berani berjuang mengangkat senjata di medan perang. Sosok pahlawan jadi identik dengan bersenjata. Mereka itu yang disebut pahlawan. Mitos “bersenjata” inilah yang membuat kita miskin gagasan dan cita-cita dalam membangun bangsa yang kreatif dan inovatif dalam kerja yang produktif. Sebabnya, budaya akal sehat tidak menjadi pertimbangan utama.
Narasi kepahlawanan kita mengalami reduksi makna. Akibatnya, makna kepahlawanan dibatasi dengan pengertian yang sangat sempit dan kurang tepat karena mitos itu hanya melahirkan dominasi “budaya otot” dalam ruang-ruang publik. Pola ini yang membuat kita jadi kurang menghargai akal sehat dan pertimbangan rasional.
Faktanya, kemerdekaan Indonesia bukan sekadar buah hasil dari perang fisik angkat senjata, melainkan juga buah jasa dari para pekerja otak yang mendayakan kecerdasan pikiran, kerja intelektual, kreasi budayawan dan sastrawan, serta seluruh kekuatan rakyat. Melalui strategi perang diplomasi internasional mereka mampu meyakinkan dunia bahwa penjajahan bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan.
Pemaknaan pahlawan selama ini identik dengan romantisme perjuangan menggunakan senjata dan tumpah darah. Kepahlawanan lebih dilihat dengan personifikasi heroisme menegakkan panji-panji kebesaran. Seperti dikembangkan mitos bahwa kepahlawanan adalah dunia orang-orang supergagah berani semata. Memang itu tidak salah. Namun, jika hanya satu dimensi itu yang diangkat, justru akan menenggelamkan nilai-nilai kepahlawanan yang sejati.
Hendaknya kita jangan terjebak pada mitos kepahlawanan sempit seperti itu. Hal ini hanya akan melahirkan generasi yang punya imajinasi sempit dan miskin gagasan. Jika dibiarkan, secara pelan, namun pasti, bangsa ini kurang menghargai kecerdasan berpikir dan kreativitas bekerja, yang bisa digali dari pemaknaan kepahlawanan yang sejati.
Revitalisasi Kepahlawanan
Bangsa ini membutuhkan revitalisasi makna kepahlawanan lebih luas yang relevan bagi kehidupan kekinian. Bagaimana supaya nilai-nilai kepahlawanan bisa mengejawantah dalam sikap hidup dan perilaku kita? Masih adakah pahlawan di negeri kita hari ini? Sejauh mana mental, perilaku, sikap, keteladanan para pahlawan, yang tidak pernah lupa kita peringati, bisa aktual dan mengejawantah dalam kehidupan kita seharihari? Relevansi dan revitalisasi itu yang penting dan dibutuhkan.
Tidak cukup menghormati mereka hanya dengan mengheningkan cipta menundukkan kepala semenit untuk mendoakannya? Sebab, pahlawan bukan hanya dimaknai sebagai orang yang berjuang mengorbankan jiwa raganya. Sudah waktunya pahlawan diartikan sebagai nilai-nilai dan semangat. Terlalu sempit jika menghargai pahlawan hanya sebagai sosok fisiknya. Sejatinya kepahlawanan adalah semangat berdikari, semangat membela kaum tertindas, dan membela nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam pengertian fisik, sosok pahlawan mungkin akan terus kita ingat. Tetapi, buat apa mengingat dan memperingatinya setiap tahun jika tak ada internalisasi nilai-nilai yang mengejawantah dalam segenap sikap dan perilaku kita. Apalagi jika kita justru makin menggerusnya dengan kemunafikan dan kebohongan.
Kita mempercayai adagium “sebuah bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya.” Namun, hendaknya pemaknaan pesan itu jangan terlalu datar dan hanya penghormatan sebatas rutinitas formal tahunan. Seperti pertempuran Surabaya, kala itu Bung Tomo berjuang menegakkan harkat dan martabat Indonesia merdeka, membela kehormatan bangsa dan kedaulatan negara dari ancaman kolonialisme.
Kita saat ini tidak cukup sekadar “mengheningkan cipta” tanpa pemahaman makna yang menggugah kesadaran. Hal mengheningkan cipta bukan soal kepala tertunduk saja. Di sana seharusnya menghidupkan dorongan yang menggerakkan kesadaran reflektif untuk meneladani sikap hidup dan keutamaan seorang pahlawan, yang setia mengabdi kemanusiaan, membela hak yang dirampas, melayani yang lemah dan tertindas. Tidak cukup menghormati pahlawan dan mengenang jasanya hanya dengan mengheningkan cipta jika tanpa mengaktualkan habitus kepahlawanan dalam kehidupan nyata.
Memori publik kita selalu mengaitkan personifikasi kepahlawanan dengan mitos bambu runcing. Ideologi ini tertanam dalam benak publik bahwa pahlawan adalah orang yang berjuang secara fisik dengan menggunakan bambu runcing. Ideologi ini ditancapkan ke dalam benak publik sehingga berakibat memori publik tergiring sebagai wujud benda dalam penampilan karya seni, patung, prasasti, atau monumen belaka.
Teks kepahlawanan berdasarkan heroisme belaka, tanpa melihat kognisi sosial dan konteks sehingga nilai kepahlawanan sekadar mitos yang bersifat memorial tanpa aktualisasi nyata dalam kehidupan berkonteks kekinian. Meminjam analisis wacana kritis van Dijk, terdapat tiga dimensi data: teks, kognisi sosial, konteks. Analisis kritis van Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana itu ke dalam kesatuan analisis secara komprehensif. Karena itu, menelisik wacana kepahlawanan yang berkembang selama ini menjadi sebuah kebutuhan. Apakah teks kepahlawanan yang dominan ideologi heroisme belaka telah membawa akibat sekadar romantisme, namun tidak mampu mengubah sikap kehidupan dan perilaku masyarakat.
Mitos “Bambu Runcing”
Pahlawan bukan sekadar mitos “bambu runcing”, melainkan mereka adalah sosok yang terus-menerus mengaktualkan nilai dan menggali kreativitas dengan memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat. Sederhananya, pahlawan adalah mereka yang bisa menciptakan jutaan lapangan kerja bagi para pengangguran. Pahlawan adalah sosok pejabat publik yang bisa memberikan pelayanan pendidikan yang murah dan akses kesehatan yang terjangkau.
Kesan umum selama ini bahwa pahlawan adalah mereka yang gagah berani berjuang mengangkat senjata di medan perang. Sosok pahlawan jadi identik dengan bersenjata. Mereka itu yang disebut pahlawan. Mitos “bersenjata” inilah yang membuat kita miskin gagasan dan cita-cita dalam membangun bangsa yang kreatif dan inovatif dalam kerja yang produktif. Sebabnya, budaya akal sehat tidak menjadi pertimbangan utama.
Narasi kepahlawanan kita mengalami reduksi makna. Akibatnya, makna kepahlawanan dibatasi dengan pengertian yang sangat sempit dan kurang tepat karena mitos itu hanya melahirkan dominasi “budaya otot” dalam ruang-ruang publik. Pola ini yang membuat kita jadi kurang menghargai akal sehat dan pertimbangan rasional.
Faktanya, kemerdekaan Indonesia bukan sekadar buah hasil dari perang fisik angkat senjata, melainkan juga buah jasa dari para pekerja otak yang mendayakan kecerdasan pikiran, kerja intelektual, kreasi budayawan dan sastrawan, serta seluruh kekuatan rakyat. Melalui strategi perang diplomasi internasional mereka mampu meyakinkan dunia bahwa penjajahan bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan.
Pemaknaan pahlawan selama ini identik dengan romantisme perjuangan menggunakan senjata dan tumpah darah. Kepahlawanan lebih dilihat dengan personifikasi heroisme menegakkan panji-panji kebesaran. Seperti dikembangkan mitos bahwa kepahlawanan adalah dunia orang-orang supergagah berani semata. Memang itu tidak salah. Namun, jika hanya satu dimensi itu yang diangkat, justru akan menenggelamkan nilai-nilai kepahlawanan yang sejati.
Hendaknya kita jangan terjebak pada mitos kepahlawanan sempit seperti itu. Hal ini hanya akan melahirkan generasi yang punya imajinasi sempit dan miskin gagasan. Jika dibiarkan, secara pelan, namun pasti, bangsa ini kurang menghargai kecerdasan berpikir dan kreativitas bekerja, yang bisa digali dari pemaknaan kepahlawanan yang sejati.
Revitalisasi Kepahlawanan
Bangsa ini membutuhkan revitalisasi makna kepahlawanan lebih luas yang relevan bagi kehidupan kekinian. Bagaimana supaya nilai-nilai kepahlawanan bisa mengejawantah dalam sikap hidup dan perilaku kita? Masih adakah pahlawan di negeri kita hari ini? Sejauh mana mental, perilaku, sikap, keteladanan para pahlawan, yang tidak pernah lupa kita peringati, bisa aktual dan mengejawantah dalam kehidupan kita seharihari? Relevansi dan revitalisasi itu yang penting dan dibutuhkan.
Tidak cukup menghormati mereka hanya dengan mengheningkan cipta menundukkan kepala semenit untuk mendoakannya? Sebab, pahlawan bukan hanya dimaknai sebagai orang yang berjuang mengorbankan jiwa raganya. Sudah waktunya pahlawan diartikan sebagai nilai-nilai dan semangat. Terlalu sempit jika menghargai pahlawan hanya sebagai sosok fisiknya. Sejatinya kepahlawanan adalah semangat berdikari, semangat membela kaum tertindas, dan membela nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam pengertian fisik, sosok pahlawan mungkin akan terus kita ingat. Tetapi, buat apa mengingat dan memperingatinya setiap tahun jika tak ada internalisasi nilai-nilai yang mengejawantah dalam segenap sikap dan perilaku kita. Apalagi jika kita justru makin menggerusnya dengan kemunafikan dan kebohongan.
Kita mempercayai adagium “sebuah bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya.” Namun, hendaknya pemaknaan pesan itu jangan terlalu datar dan hanya penghormatan sebatas rutinitas formal tahunan. Seperti pertempuran Surabaya, kala itu Bung Tomo berjuang menegakkan harkat dan martabat Indonesia merdeka, membela kehormatan bangsa dan kedaulatan negara dari ancaman kolonialisme.
Kita saat ini tidak cukup sekadar “mengheningkan cipta” tanpa pemahaman makna yang menggugah kesadaran. Hal mengheningkan cipta bukan soal kepala tertunduk saja. Di sana seharusnya menghidupkan dorongan yang menggerakkan kesadaran reflektif untuk meneladani sikap hidup dan keutamaan seorang pahlawan, yang setia mengabdi kemanusiaan, membela hak yang dirampas, melayani yang lemah dan tertindas. Tidak cukup menghormati pahlawan dan mengenang jasanya hanya dengan mengheningkan cipta jika tanpa mengaktualkan habitus kepahlawanan dalam kehidupan nyata.
(hyk)