Setengah Hati Reformasi Regulasi
A
A
A
TUMPANG tindihnya regulasi merupakan salah satu penyebab ketidakpastian hukum di negeri ini. Kondisi ini akan melahirkan situasi hukum yang serba multitafsir, konfliktual, dan tidak taat asas. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya efektivitas implementasi regulasi yang pada ujungnya menciptakan tidak harmonisnya antara satu peraturan dan peraturan yang lain.
Apalagi, jika regulasi ini berkaitan erat dengan upaya meningkatkan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi, tentu ini akan berakibat kontraproduktif dengan upaya menciptakan iklim investasi. Parahnya, problem ini seolah tidak terselesaikan dari tahun ke tahun sehingga regulasi kian menumpuk dan tak terkendali. Munculnya ide reformasi regulasi yang digulirkan pemerintah melalui strategi nasional reformasi regulasi seolah menjadi angin segar. Namun, strategi ini patut dipertanyakan, apakah lahir untuk sekadar memuluskan investasi atau secara nyata meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selama ini kekosongan solusi dalam penyelesaian silang sengkarut regulasi telah melahirkan ketidakpastian penegakan hukum. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembentukan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), seolah tak mampu membendung besarnya keinginan pembentukan perundang-undangan yang diajukan oleh pemerintah maupun yang merupakan inisiatif DPR. Alhasil, fungsi sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pun tak berjalan optimal. Masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat dalam mempertahankan suatu peraturan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Prolegnas sendiri semestinya bisa menciptakan perencanaan dan arahan yang sistematis dalam program pembangunan hukum nasional. Prolegnas sekaligus menjadi pintu utama guna menyaring kebutuhan peraturan perundang-undangan yang benar-benar menjadi aspirasi sekaligus kebutuhan hukum masyarakat. Sayangnya, yang terjadi justru faktor ”kepentingan”- lah yang didahulukan.
Sistem Regulasi
Kualitas regulasi sangat bergantung pada sistem regulasi yang menjadi landasan formal dalam pembangunan hukum nasional. Kegagalan dalam menjaga sistem regulasi nasional berdampak pada turunnya kualitas regulasi serta tidak terkendalinya kuantitas regulasi. Padahal, buruknya kualitas dan tidak terkendalinya kuantitas regulasi akan berimbas terhadap efektivitas dan efisiensi penegakan hukum.
Jamak diketahui konstitusi memberikan mandat kepada DPR selaku pemegang kekuasaan penuh pembentukan undang-undang, bahkan setiap anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Namun, ketentuan Pasal 20 ayat (2) telah memberikan mandat lebih kepada DPR, tidak hanya fungsi legislasi, namun juga memiliki fungsi anggaran dan pengawasan. Akibatnya, konsentrasi anggota DPR pun kian terpecah, belum lagi direpotkan dengan urusan dinamika internal partai politiknya.
Pembentukan peraturan perundang-undangan seolah menjadi kiblat utama Indonesia sebagai negara hukum. Dalam kurun 2000-2015 tercatat pemerintah telah menerbitkan 12.471 regulasi. Dari total jumlah tersebut, regulasi yang paling banyak diterbitkan adalah dalam bentuk peraturan setingkat menteri yakni 8.311 regulasi. Jumlah terbanyak selanjutnya adalah peraturan pemerintah sebanyak 2.446 regulasi dan paling sedikit peraturan pengganti undang-undang sebanyak 49 regulasi.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah melakukan kajian manajemen reformasi regulasi di 24 negara anggota, ditambah Brasil, China, dan Rusia. Kajian ini menunjukkan bahwa program reformasi regulasi yang terstruktur dan diterapkan dengan baik serta diikuti dengan langkah-langkah pendukung yang tepat dapat berkontribusi secara signifikan pada kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari ada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pendorongan inovasi, peningkatan investasi, penciptaan industri baru, serta membantu penurunan harga dan menciptakan persaingan usaha yang dapat memberikan pilihan yang banyak pada konsumen.
Fungsi Regulasi
Pada dasarnya regulasi memiliki tiga fungsi utama. Pertama, sebagai sarana ketertiban atau pedoman perilaku, sebagai pedoman untuk terselenggaranya dinamika sosial, dalam hal ini baik terhadap kegiatan formal maupun informal. Kedua, sebagai instrumen pembangunan; regulasi menggerakkan sumber daya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Ketiga, sebagai faktor integrasi, regulasi mengintegrasikan wilayah maupun kebijakan-kebijakan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan ke dalam suatu sistem regulasi nasional yang merupakan agregasi dari semua regulasi yang ada.
Sebagai komponen utama di dalam kegiatan penyelenggaraan negara, kualitas dan kuantitas regulasi harus dikelola dengan baik supaya mampu menghasilkan regulasi yang sederhana dan tertib. Reformasi regulasi dimaksudkan untuk mewujudkan sistem regulasi nasional yang berkualitas, sederhana, dan tertib. Dengan begitu, regulasi akan dapat lebih mampu untuk bekerja secara efektif dan efisien dalam mendukung upaya mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana yang ditetapkan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai tolok ukur menilai kualitas regulasi, dapat dilihat dari jumlah pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tren pengajuan uji materi ini menunjukkan ada peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari jumlah permohonan yang masuk pada 2010 ada 81 permohonan, pada 2011 ada 86 permohonan, pada 2012 ada 118 permohonan, pada 2013 ada 109 permohonan, dan pada 2014 ada 140 permohonan.
Reformasi Regulasi
Konsep reformasi regulasi sendiri menawarkan beberapa metode. Pertama, simplifikasi regulasi yakni dengan cara menginventarisasi regulasi yang ada, mengidentifikasi masalah dan pemangku kepentingannya, melakukan evaluasi regulasi yang bermasalah, dan mencabut yang tidak perlu. Kedua, rekonseptualisasi tata cara pembentukan regulasi yakni dilakukan dengan cara melihat kembali (review) dan menata kembali tata cara pembentukan regulasi agar proses pembentukan regulasi menjadi lebih komprehensif dan lebih mampu menghasilkan regulasi yang berkualitas.
Ketiga, sinergi pengelolaan kebijakan dan regulasi yakni dengan cara mengintegrasikan kelembagaan pembentuk regulasi yang ada selama ini. Keempat, penguatan kapasitas perumus kebijakan dan perancang regulasi adalah upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia pembentuk regulasi (perumus kebijakan dan perancang regulasi) agar menghasilkan regulasi yang mampu melihat dimensi kenegaraan secara lebih luas (bentuk negara kesatuan, keberagaman/ pluralisme, dan sebagainya) dalam perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi.
Kendati demikian, paradigma hak asasi manusia dan subversi atas tafsir keadilan dalam konteks pembaharuan hukum selama ini justru lahir sebagai model ”pesanan” yang ramah terhadap pasar bebas (market friendly). Faktanya, agenda reformasi hukum yang dibangun selama ini tidak sungguh-sungguh merespons dan menangani akar masalah yang sedang dihadapi rakyat miskin. Penting untuk dipastikan bahwa ide desain reformasi regulasi ini secara nyata berangkat dari konteks ketidakadilan yang nyata terjadi di lapangan. Dengan demikian, upaya reformasi regulasi sebagai simbol kemajuan dalam pembaruan hukum sejatinya mampu mentransformasikan jaminan substansial penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia dan secara sungguh-sungguh memberikan akses keadilan terhadap rakyat miskin.
Akhirnya, upaya pembenahan sistem regulasi nasional menuju perubahan regulasi yang sederhana dan tertib diharapkan dapat menjaga dinamika sosial, politik, dan ekonomi secara tertib, serta meningkatkan efektivitas regulasi sebagai instrumen penyelenggaraan negara dan instrumen ketertiban sosial yang berkeadilan. Reformasi regulasi harus berkeadilan dan dipastikan demi kepentingan publik. Jika tidak, tentu reformasi regulasi tak ubahnya langkah yang setengah hati!
Apalagi, jika regulasi ini berkaitan erat dengan upaya meningkatkan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi, tentu ini akan berakibat kontraproduktif dengan upaya menciptakan iklim investasi. Parahnya, problem ini seolah tidak terselesaikan dari tahun ke tahun sehingga regulasi kian menumpuk dan tak terkendali. Munculnya ide reformasi regulasi yang digulirkan pemerintah melalui strategi nasional reformasi regulasi seolah menjadi angin segar. Namun, strategi ini patut dipertanyakan, apakah lahir untuk sekadar memuluskan investasi atau secara nyata meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selama ini kekosongan solusi dalam penyelesaian silang sengkarut regulasi telah melahirkan ketidakpastian penegakan hukum. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembentukan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), seolah tak mampu membendung besarnya keinginan pembentukan perundang-undangan yang diajukan oleh pemerintah maupun yang merupakan inisiatif DPR. Alhasil, fungsi sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pun tak berjalan optimal. Masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat dalam mempertahankan suatu peraturan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Prolegnas sendiri semestinya bisa menciptakan perencanaan dan arahan yang sistematis dalam program pembangunan hukum nasional. Prolegnas sekaligus menjadi pintu utama guna menyaring kebutuhan peraturan perundang-undangan yang benar-benar menjadi aspirasi sekaligus kebutuhan hukum masyarakat. Sayangnya, yang terjadi justru faktor ”kepentingan”- lah yang didahulukan.
Sistem Regulasi
Kualitas regulasi sangat bergantung pada sistem regulasi yang menjadi landasan formal dalam pembangunan hukum nasional. Kegagalan dalam menjaga sistem regulasi nasional berdampak pada turunnya kualitas regulasi serta tidak terkendalinya kuantitas regulasi. Padahal, buruknya kualitas dan tidak terkendalinya kuantitas regulasi akan berimbas terhadap efektivitas dan efisiensi penegakan hukum.
Jamak diketahui konstitusi memberikan mandat kepada DPR selaku pemegang kekuasaan penuh pembentukan undang-undang, bahkan setiap anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Namun, ketentuan Pasal 20 ayat (2) telah memberikan mandat lebih kepada DPR, tidak hanya fungsi legislasi, namun juga memiliki fungsi anggaran dan pengawasan. Akibatnya, konsentrasi anggota DPR pun kian terpecah, belum lagi direpotkan dengan urusan dinamika internal partai politiknya.
Pembentukan peraturan perundang-undangan seolah menjadi kiblat utama Indonesia sebagai negara hukum. Dalam kurun 2000-2015 tercatat pemerintah telah menerbitkan 12.471 regulasi. Dari total jumlah tersebut, regulasi yang paling banyak diterbitkan adalah dalam bentuk peraturan setingkat menteri yakni 8.311 regulasi. Jumlah terbanyak selanjutnya adalah peraturan pemerintah sebanyak 2.446 regulasi dan paling sedikit peraturan pengganti undang-undang sebanyak 49 regulasi.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah melakukan kajian manajemen reformasi regulasi di 24 negara anggota, ditambah Brasil, China, dan Rusia. Kajian ini menunjukkan bahwa program reformasi regulasi yang terstruktur dan diterapkan dengan baik serta diikuti dengan langkah-langkah pendukung yang tepat dapat berkontribusi secara signifikan pada kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari ada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pendorongan inovasi, peningkatan investasi, penciptaan industri baru, serta membantu penurunan harga dan menciptakan persaingan usaha yang dapat memberikan pilihan yang banyak pada konsumen.
Fungsi Regulasi
Pada dasarnya regulasi memiliki tiga fungsi utama. Pertama, sebagai sarana ketertiban atau pedoman perilaku, sebagai pedoman untuk terselenggaranya dinamika sosial, dalam hal ini baik terhadap kegiatan formal maupun informal. Kedua, sebagai instrumen pembangunan; regulasi menggerakkan sumber daya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Ketiga, sebagai faktor integrasi, regulasi mengintegrasikan wilayah maupun kebijakan-kebijakan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan ke dalam suatu sistem regulasi nasional yang merupakan agregasi dari semua regulasi yang ada.
Sebagai komponen utama di dalam kegiatan penyelenggaraan negara, kualitas dan kuantitas regulasi harus dikelola dengan baik supaya mampu menghasilkan regulasi yang sederhana dan tertib. Reformasi regulasi dimaksudkan untuk mewujudkan sistem regulasi nasional yang berkualitas, sederhana, dan tertib. Dengan begitu, regulasi akan dapat lebih mampu untuk bekerja secara efektif dan efisien dalam mendukung upaya mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana yang ditetapkan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai tolok ukur menilai kualitas regulasi, dapat dilihat dari jumlah pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tren pengajuan uji materi ini menunjukkan ada peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari jumlah permohonan yang masuk pada 2010 ada 81 permohonan, pada 2011 ada 86 permohonan, pada 2012 ada 118 permohonan, pada 2013 ada 109 permohonan, dan pada 2014 ada 140 permohonan.
Reformasi Regulasi
Konsep reformasi regulasi sendiri menawarkan beberapa metode. Pertama, simplifikasi regulasi yakni dengan cara menginventarisasi regulasi yang ada, mengidentifikasi masalah dan pemangku kepentingannya, melakukan evaluasi regulasi yang bermasalah, dan mencabut yang tidak perlu. Kedua, rekonseptualisasi tata cara pembentukan regulasi yakni dilakukan dengan cara melihat kembali (review) dan menata kembali tata cara pembentukan regulasi agar proses pembentukan regulasi menjadi lebih komprehensif dan lebih mampu menghasilkan regulasi yang berkualitas.
Ketiga, sinergi pengelolaan kebijakan dan regulasi yakni dengan cara mengintegrasikan kelembagaan pembentuk regulasi yang ada selama ini. Keempat, penguatan kapasitas perumus kebijakan dan perancang regulasi adalah upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia pembentuk regulasi (perumus kebijakan dan perancang regulasi) agar menghasilkan regulasi yang mampu melihat dimensi kenegaraan secara lebih luas (bentuk negara kesatuan, keberagaman/ pluralisme, dan sebagainya) dalam perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi.
Kendati demikian, paradigma hak asasi manusia dan subversi atas tafsir keadilan dalam konteks pembaharuan hukum selama ini justru lahir sebagai model ”pesanan” yang ramah terhadap pasar bebas (market friendly). Faktanya, agenda reformasi hukum yang dibangun selama ini tidak sungguh-sungguh merespons dan menangani akar masalah yang sedang dihadapi rakyat miskin. Penting untuk dipastikan bahwa ide desain reformasi regulasi ini secara nyata berangkat dari konteks ketidakadilan yang nyata terjadi di lapangan. Dengan demikian, upaya reformasi regulasi sebagai simbol kemajuan dalam pembaruan hukum sejatinya mampu mentransformasikan jaminan substansial penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia dan secara sungguh-sungguh memberikan akses keadilan terhadap rakyat miskin.
Akhirnya, upaya pembenahan sistem regulasi nasional menuju perubahan regulasi yang sederhana dan tertib diharapkan dapat menjaga dinamika sosial, politik, dan ekonomi secara tertib, serta meningkatkan efektivitas regulasi sebagai instrumen penyelenggaraan negara dan instrumen ketertiban sosial yang berkeadilan. Reformasi regulasi harus berkeadilan dan dipastikan demi kepentingan publik. Jika tidak, tentu reformasi regulasi tak ubahnya langkah yang setengah hati!
(hyk)