Pahlawan dan Kebenaran

Selasa, 10 November 2015 - 07:44 WIB
Pahlawan dan Kebenaran
Pahlawan dan Kebenaran
A A A
ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Partai Perindo


MAKNA
pahlawan dan kepahlawanan selama ini nyaris didominasi oleh memori publik tentang semangat perjuangan dengan sosok atau potret pejuang yang kuat, gagah, dan berani. Padahal, pahlawan juga memiliki makna yang tidak kalah utama yaitu soal semangat membela dan memperjuangkan kebenaran. Pemahaman yang terakhir ini seakan terlupakan alias tidak menjadi mainstream.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal ini tertuang dengan jelas bahwa pahlawan juga dimaknai sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Lalu, yang menjadi pertanyaan di era politik menuju demokrasi yang semakin terbuka saat ini, apakah kebenaran sudah diperjuangkan dan menjadi panglima? Itu yang masih menjadi tanda tanya bagi semua kalangan ketika berhadapan dengan panggung politik yang kompetitif, penuh intrik yang jauh dari sehat.

Di sisi lain, kebenaran menjadi harga mati dan rumus baku bagi politik meskipun publik acapkali melihat bahwa wajah politik kita penuh tipu muslihat dan tidak argumentatif. Semua berujung pada tercapainya keputusan dan kekuasaan politik. Politik seakan membuat sesuatu yang sederhana menjadi sebegitu kompleks. Ini dinamika. Praktis, kebenaran semestinya menjadi instrumen penting dalam politik. Sayangnya, panggung politik kita saat ini lebih banyak menampilkan kekuasaan an sich.

Bicara soal panggung politik, penulis teringat ungkapan sastrawan Inggris, William Shakespeare, ”The World is a stage and all the men and women merely players”. Ungkapan inilah yang kemudian dikuatkan oleh sosiolog Erving Goffman tentang teori dramaturgi politik dalam bukunyaThe Presentation of Self In Everyday Life. Goffman memandang interaksi sosial layaknya pertunjukkan teater dan manusia adalah aktor utamanya. Manusia akan mengembangkan perilaku yang berbeda agar pertunjukannya bisa dinikmati penonton.

Drama Politik
Apa yang diungkap Goffman adalah potret panggung politik di negeri ini. Memperjuangkan suara rakyat, menegakkan hukum, dan memberantas korupsi menjadi barisan jargon politik yang populer di mata publik. Sayangnya, jargon ini perlahan menjadi sekadar jargon tanpa dan jauh dari kritik. Revisi UU KPK misalnya selalu dipandang sebagai aksi pro terhadap koruptor. Hakim yang membebaskan terdakwa korupsi misalnya dianggap prokoruptor. Politisi yang berupaya mengkritik KPK dipandang tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Padahal, boleh jadi sikap mereka berlandaskan kebenaran. Tak ayal, kebenaran telah absen dari relasi sosial dan politik kita.

Belum berhenti di situ, kebenaran kemudian juga mengalami reduksi karena kata ini seakan tidak layak lahir dari orangorang yang sudah terstigma buruk di mata publik. Kebenaran sudah dibuat berpihak pada kekuasaan, padahal kebenaran memiliki nilai-nilai universal. Satu-satunya sasaran tembak yang selama ini diposisikan sebagai lawan kebenaran adalah elite politisi. Tone negatif yang selama ini melekat, atau dilekatkan, pada politisi dan tentu saja partai politik seakan menjauhkan potensi kebenaran pada diri mereka baca: politisi.

Ujungnya yang terjadi adalah tergerusnya kepercayaan (trust) dari publik pada politisi. Kemudian yang terjadi adalah semangat delegitimasi partai politik. Apalagi, fenomena politik baru dengan naiknya Joko Widodo sebagai presiden dalam kontestasi politik 2014, dengan gerakan relawan yang masif, seakan-akan membenturkan eksistensi partai politik dengan masyarakat.

Semangat Pahlawan

Kini sudah saatnya kita mulai merajut kembali kebenaran yang selama ini ”tersingkirkan” oleh nafsu kekuasaan, hukum yang berat sebelah, dan kepentingan politik jangka pendek. Seperti semangat kepahlawanan yang disinggung di awal tulisan bahwa bagi siapa pun yang memiliki semangat membela dan memperjuangkan kebenaran, dialah pahlawan. Bagi siapa saja yang berani mempertaruhkan harkat dan martabatnya untuk menegakkan kebenaran, dia adalah pahlawan.

Tentu semangat ini bukan sesuatu yang baru. Pertempuran 10 November 1945 silam adalah perjuangan menegakkan kebenaran. Kebenaran itu adalah kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan, tidak bisa diganggu gugat lagi oleh datangnya sekutu ke negeri ini. Penjajahan adalah bentuk perlawanan dari nilai-nilai kebenaran. Mengapa Resolusi Jihad yang terjadi sebelum pertempuran 10 November? Semua tak lepas dari landasan kebenaran. Kebenaran jugalah yang melandasi para kiai dan santri bertekad melawan penjajah yang berniat menguasai kembali Tanah Air melalui Resolusi Jihad tersebut pada 22 Oktober 1945.

Dalam mitologi Barat, pahlawan adalah seseorang yang diberikan karunia atau kekuatan mahadahsyat serta keberanian yang luar biasa untuk membela kebenaran dan membela yang lemah. Ini pula yang bisa kita lihat dari sosok-sosok seperti Soekarno, Hatta, dan generasi pejuang kemerdekaan lainnya. Jika disatukan dan dicari benang merah mengapa mereka berjuang, tak lain adalah karena memperjuangkan kebenaran.

Maka itu, tidak salah kiranya jika di momentum Hari Pahlawan tahun ini kita coba menggali bersama untuk merumuskan tekad kepahlawanan kita untuk membangun kebersamaan demi mempertahankan dan membela sebuah kebenaran. Memperjuangkan aspirasi rakyat, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, melawan liberalisasi, dan membuka akses ekonomi seluas-luasnya demi kesejahteraan rakyat adalah nilai-nilai kebenaran saat ini yang harus diperjuangkan.

Kita berharap muncul banyak pahlawan masa kini di dalam segala lini kehidupan. Kebenaran harus menjadi landasan kuat bagi bangsa ini guna mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial dan budaya. Tentu, semua harus bernafaskan kebenaran dan tentu saja keadilan bagi seluruh tumpah darah Indonesia. Selamat Hari Pahlawan!
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7077 seconds (0.1#10.140)