Broker Diplomasi
A
A
A
Pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama di Washington DC akhir Oktober lalu mengundang perhatian Dr Michael Buehler, seorang akademisi yang mengajar studi Asia Tenggara di London.
Dalam tulisan berjudul Waiting in The White House Lobby di laman asiapacific.anu.edu.au, Buehler menuding Pemerintah Indonesia menggunakan jasa perusahaan konsultan Singapura, Pereira International PTE Ltd, untuk mengatur pertemuan Jokowi dengan Obama. Untuk keperluan itu, menurut Buehler, Pereira International menggandeng perusahaan jasa lobi R&R Partner Colorado dengan imbalan USD80.000 atau sekitar Rp1 miliar.
Kabar itu tentu mengejutkan publik Tanah Air. Tak lama setelah berita itu beredar luas, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menggelar konferensi pers khusus untuk membantah kabar itu. Menurut Menlu, kabar yang disampaikan Buehler itu sama sekali tidak benar. Pemerintah Indonesia tidak pernah menggunakan perusahaan jasa lobi untuk mengatur pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Obama.
Persiapan kedua kepala negara dilakukan melalui jalur diplomasi resmi dan formal. Sehari setelah bantahan itu, di laman yang sama (asiapacific.anu.edu.au ), di bawah artikel yang ditulis Buehler, ditautkan dokumen lengkap kontrak kerja sama antara Pereira International dengan R&R Partner. Belum bisa dipastikan apakah dokumen yang ditautkan itu asli atau palsu.
Namun secara detail disebutkan poin-poin tujuan kontrak kerja sama dan biaya yang harus dibayarkan dari jasa itu yang jumlahnya USD80.000. Menggunakan jasa pihak ketiga dalam lobi-lobi diplomatik adalah hal yang lumrah. Apalagi untuk misi diplomatik yang penting dan urgen. Bahkan sejumlah pihak menggambarkan tidak terlalu sulit menemukan perusahaan penyedia jasa lobi semacam R&R Partner di Washington dan sekitarnya.
Mengenai hal ini www.washingtonpost.com pada 14 Mei 2014 pernah merilis 10 pemerintahan asing yang menghabiskan dana terbesar untuk keperluan melobi pengambil kebijakan politik di AS untuk tahun 2013. Masuk dalam daftar itu di antaranya Uni Emirat Arab (USD14,2 juta), Jerman (USD12 juta), Kanada (USD11,2 juta), Arab Saudi (USD11,1 juta), Meksiko (USD6,1 juta), Maroko (USD4 juta), Korea Selatan (USD3,9 juta), dan seterusnya.
Kalaupun benar apa yang disampaikan Buehler, biaya yang dikeluarkan Pereira International untuk membayar jasa lobi R&R Partner tergolong kecil, hanya USD80.000. Namun kita tidak akan masuk ke dalam area tersebut. Dari sudut pandang publik, munculnya isu ini cukup memberikan keraguan atas proses maupun hasil pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Obama.
Amerika Serikat adalah mitra penting bagi Indonesia. Banyak isu sensitif yang bermunculan sebelum delegasi bertolak ke Amerika. Di antaranya yang paling banyak dibicarakan adalah masalah perpanjangan kontrak karya PT Freeport. Dan ternyata tidak ada agenda Presiden Jokowi bertemu dengan petinggi Freeport ketika berada di Amerika. Ini cukup memberikan jawaban bahwa isu Freeport tidak menjadi bagian dari misi Presiden Jokowi ke Amerika.
Mengenai isu broker diplomasi ini, respons cepat Menlu Retno Marsudi telah memberi keyakinan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang menjunjung tinggi sikap saling menghormati dalam menjalin hubungan dengan negara lain.
Jalur diplomasi resmi yang digunakan untuk menyiapkan pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Obama adalah bukti bahwa kita percaya diri menjalankan misi diplomatik tanpa perlu melibatkan pihak ketiga alias broker atau lobbyist dengan imbalan uang. Andaikan memerlukan pihak ketiga, itu pun masih wajar selama tidak mengurangi derajat kewibawaan misi diplomatik itu sendiri.
Kita juga sadar ketika lewat jalur formal sulit menembus target, pasti diperlukan jalur-jalur alternatif lain supaya misi itu bisa terlaksana. Di pihak lain, kita juga patut mencurigai motif di balik tudingan Michale Buehler tersebut. Ada apa tiba-tiba dia mengunggah tulisan yang tendensius itu? Benarkah Pereira International memiliki kaitan dengan para pejabat pemerintahan kita?
Jika Kemlu RI tegas membantah tuduhan Buehler itu, mungkinkah ada jalur berbeda yang disiapkan menteri atau pejabat tinggi lain untuk merancang pertemuan Jokowi-Obama itu sesuai keinginannya? Inilah pertanyaan publik yang harus dijawab agar spekulasi tidak melebar ke mana-mana.
Dalam tulisan berjudul Waiting in The White House Lobby di laman asiapacific.anu.edu.au, Buehler menuding Pemerintah Indonesia menggunakan jasa perusahaan konsultan Singapura, Pereira International PTE Ltd, untuk mengatur pertemuan Jokowi dengan Obama. Untuk keperluan itu, menurut Buehler, Pereira International menggandeng perusahaan jasa lobi R&R Partner Colorado dengan imbalan USD80.000 atau sekitar Rp1 miliar.
Kabar itu tentu mengejutkan publik Tanah Air. Tak lama setelah berita itu beredar luas, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menggelar konferensi pers khusus untuk membantah kabar itu. Menurut Menlu, kabar yang disampaikan Buehler itu sama sekali tidak benar. Pemerintah Indonesia tidak pernah menggunakan perusahaan jasa lobi untuk mengatur pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Obama.
Persiapan kedua kepala negara dilakukan melalui jalur diplomasi resmi dan formal. Sehari setelah bantahan itu, di laman yang sama (asiapacific.anu.edu.au ), di bawah artikel yang ditulis Buehler, ditautkan dokumen lengkap kontrak kerja sama antara Pereira International dengan R&R Partner. Belum bisa dipastikan apakah dokumen yang ditautkan itu asli atau palsu.
Namun secara detail disebutkan poin-poin tujuan kontrak kerja sama dan biaya yang harus dibayarkan dari jasa itu yang jumlahnya USD80.000. Menggunakan jasa pihak ketiga dalam lobi-lobi diplomatik adalah hal yang lumrah. Apalagi untuk misi diplomatik yang penting dan urgen. Bahkan sejumlah pihak menggambarkan tidak terlalu sulit menemukan perusahaan penyedia jasa lobi semacam R&R Partner di Washington dan sekitarnya.
Mengenai hal ini www.washingtonpost.com pada 14 Mei 2014 pernah merilis 10 pemerintahan asing yang menghabiskan dana terbesar untuk keperluan melobi pengambil kebijakan politik di AS untuk tahun 2013. Masuk dalam daftar itu di antaranya Uni Emirat Arab (USD14,2 juta), Jerman (USD12 juta), Kanada (USD11,2 juta), Arab Saudi (USD11,1 juta), Meksiko (USD6,1 juta), Maroko (USD4 juta), Korea Selatan (USD3,9 juta), dan seterusnya.
Kalaupun benar apa yang disampaikan Buehler, biaya yang dikeluarkan Pereira International untuk membayar jasa lobi R&R Partner tergolong kecil, hanya USD80.000. Namun kita tidak akan masuk ke dalam area tersebut. Dari sudut pandang publik, munculnya isu ini cukup memberikan keraguan atas proses maupun hasil pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Obama.
Amerika Serikat adalah mitra penting bagi Indonesia. Banyak isu sensitif yang bermunculan sebelum delegasi bertolak ke Amerika. Di antaranya yang paling banyak dibicarakan adalah masalah perpanjangan kontrak karya PT Freeport. Dan ternyata tidak ada agenda Presiden Jokowi bertemu dengan petinggi Freeport ketika berada di Amerika. Ini cukup memberikan jawaban bahwa isu Freeport tidak menjadi bagian dari misi Presiden Jokowi ke Amerika.
Mengenai isu broker diplomasi ini, respons cepat Menlu Retno Marsudi telah memberi keyakinan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang menjunjung tinggi sikap saling menghormati dalam menjalin hubungan dengan negara lain.
Jalur diplomasi resmi yang digunakan untuk menyiapkan pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Obama adalah bukti bahwa kita percaya diri menjalankan misi diplomatik tanpa perlu melibatkan pihak ketiga alias broker atau lobbyist dengan imbalan uang. Andaikan memerlukan pihak ketiga, itu pun masih wajar selama tidak mengurangi derajat kewibawaan misi diplomatik itu sendiri.
Kita juga sadar ketika lewat jalur formal sulit menembus target, pasti diperlukan jalur-jalur alternatif lain supaya misi itu bisa terlaksana. Di pihak lain, kita juga patut mencurigai motif di balik tudingan Michale Buehler tersebut. Ada apa tiba-tiba dia mengunggah tulisan yang tendensius itu? Benarkah Pereira International memiliki kaitan dengan para pejabat pemerintahan kita?
Jika Kemlu RI tegas membantah tuduhan Buehler itu, mungkinkah ada jalur berbeda yang disiapkan menteri atau pejabat tinggi lain untuk merancang pertemuan Jokowi-Obama itu sesuai keinginannya? Inilah pertanyaan publik yang harus dijawab agar spekulasi tidak melebar ke mana-mana.
(hyk)