KPK Ibarat Mawar Berduri
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS M Nasir Djamil berpendapat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ibarat mawar berduri, sehingga ketika DPR mencoba menyentuh KPK, DPR terkena durinya.
Menurutnya, penundaan revisi UU KPK ini disebabkan oleh situasi dan kondisi negara yang belum selesai persoalan ekonominya. Tapi, dalam revisi UU KPK, Fraksi PKS tidak dalam posisi untuk menguatkan ataupun melemahkan KPK.
"Penguatan KPK belum tentu persoalan korupsi selesai. Saya tidak mau berada di kanan atau di kiri. Kita seimbang saja melihat sesuatu sehingga kita tahu KPK seperti apa," ujar Nasir dalam diskusi bertajuk 'Penundaan Revisi UU KPK' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (15/10/2015).
Menurut Nasir, UU KPK memang harus dievaluasi karena sudah 13 tahun. KPK dibentuk untuk merangsang penegakan hukum di polri dan kejaksaan, guna mentrigger polri dan kejaksaan agar berjalan sesuai jalur karena selama puluhan tahun di era Orde Baru, polri dan kejaksaan hanya penghias.
"Ini yang perlu diperhatikan, KPK kurang melakukan fungsi sebagai trigger mechanism. Mengawasi dan menyupervisi jalannya penegakan hukum di kedua lembaga tersebut," jelasnya.
Selain itu, lanjut Nasir, ketika DPR menerima Taufiequrachman Ruki lewat Perppu KPK untuk memimpin KPK sementara, bukan karena DPR tidak mengerti batasan usia pimpinan KPK dalam UU KPK. Tapi, itu sinyal DPR bahwa Pansel Capim KPK harus memilih orang yang dikenal senior, punya integritas, dan kapasitas.
"Ada kendala psikologis, yang junior-junior punya kewenangan besar sementara orangnya junior-junior. Tapi nyatanya (pansel) enggak seperti itu, saya menyayangkan," sesalnya.
Namun, Nasir tidak setuju apabila KPK diberikan kewenangan independen dalam memilih penyidiknya, karena akan berakibat buruk bagi penegakan hukum di KPK. Karena, secanggih apa pun KPK mereka tetaplah manusia. Buktinya, sudah banyak tersangka yang selama 3-4 tahun kasusnya tertunda dan tidak jelas.
"Jadi revisi UU KPK bukan melemahkan KPK tapi, agar KPK berjalan di jalan sunbatullah (sunnah Allah). Jadi bukan lembaga yang enggak mau diawasi, kita semua diawasi dan itu alami. Apalagi lembaga sebesar KPK," tandasnya.
Menurutnya, penundaan revisi UU KPK ini disebabkan oleh situasi dan kondisi negara yang belum selesai persoalan ekonominya. Tapi, dalam revisi UU KPK, Fraksi PKS tidak dalam posisi untuk menguatkan ataupun melemahkan KPK.
"Penguatan KPK belum tentu persoalan korupsi selesai. Saya tidak mau berada di kanan atau di kiri. Kita seimbang saja melihat sesuatu sehingga kita tahu KPK seperti apa," ujar Nasir dalam diskusi bertajuk 'Penundaan Revisi UU KPK' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (15/10/2015).
Menurut Nasir, UU KPK memang harus dievaluasi karena sudah 13 tahun. KPK dibentuk untuk merangsang penegakan hukum di polri dan kejaksaan, guna mentrigger polri dan kejaksaan agar berjalan sesuai jalur karena selama puluhan tahun di era Orde Baru, polri dan kejaksaan hanya penghias.
"Ini yang perlu diperhatikan, KPK kurang melakukan fungsi sebagai trigger mechanism. Mengawasi dan menyupervisi jalannya penegakan hukum di kedua lembaga tersebut," jelasnya.
Selain itu, lanjut Nasir, ketika DPR menerima Taufiequrachman Ruki lewat Perppu KPK untuk memimpin KPK sementara, bukan karena DPR tidak mengerti batasan usia pimpinan KPK dalam UU KPK. Tapi, itu sinyal DPR bahwa Pansel Capim KPK harus memilih orang yang dikenal senior, punya integritas, dan kapasitas.
"Ada kendala psikologis, yang junior-junior punya kewenangan besar sementara orangnya junior-junior. Tapi nyatanya (pansel) enggak seperti itu, saya menyayangkan," sesalnya.
Namun, Nasir tidak setuju apabila KPK diberikan kewenangan independen dalam memilih penyidiknya, karena akan berakibat buruk bagi penegakan hukum di KPK. Karena, secanggih apa pun KPK mereka tetaplah manusia. Buktinya, sudah banyak tersangka yang selama 3-4 tahun kasusnya tertunda dan tidak jelas.
"Jadi revisi UU KPK bukan melemahkan KPK tapi, agar KPK berjalan di jalan sunbatullah (sunnah Allah). Jadi bukan lembaga yang enggak mau diawasi, kita semua diawasi dan itu alami. Apalagi lembaga sebesar KPK," tandasnya.
(zik)