Berempati dan Menuntut Performa Guru
A
A
A
Akhirnya pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) menjanjikan 439.000 guru honorer akan diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) secara bertahap mulai 2016-2019.
Sikap tersebut diambil Kemenpan-RB dan Komisi II dalam rapat bersama kemarin. Di luar gedung DPR, ribuan guru honorer kategori 2(K2) berunjuk rasa menuntut pengangkatan sekitar 1,1 juta guru honorer di Indonesia menjadi PNS. Pemerintah pun berjanji memenuhi 10 tuntutan guru dalam demo kemarin.
Kesepuluh tuntutan tersebut adalah: moratorium ASN reguler untuk tuntaskan tenaga honorer, berikan upah layak bagi honorer sebesar UMP, terbitkan regulasi tentang penuntasan honorer K2 menjadi ASN, tingkatkan kesejahteraan tenaga honorer dalam APBD di daerah provinsi, kabupaten, dan kota, berikan jaminan kesehatan melalui peserta PBI, tetapkan anjab dan ABK untuk tenaga honorer, angkat seluruh tenaga honorer menjadi PNS, beri kesempatan sertifikasi, tolak Ujian Kompetensi Guru, hapus Keputusan Menteri Petunjuk Teknis Tunjangan Profesi Guru, cabut Permen PAN-RB No 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistyo mengatakan bahwa dalam kesepakatan antara Kemenpan-RB dan Komisi II diputuskan akan ditetapkan penghasilan minimal untuk guru. Standarnya UU Guru dan Dosen Pasal 14 ayat 1 A yang mengatakan bahwa guru berhak untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Sudah barang tentu kesepakatan ini menjadi berita baik bagi para guru, terutama guru SD yang berunjuk rasa kemarin. Memang tak bisa dimungkiri bahwa sekalipun sudah banyak guru yang kian sejahtera karena mendapatkan uang tunjangan sertifikasi guru, namun di sisi lain masih sangat banyak guru honorer yang penghasilannya sebagai guru bahkan tak bisa dianggap pas-pasan.
Kita semua sepakat bahwa guru sangat penting perannya dalam memajukan negeri ini, namun sayangnya guru digelayuti berbagai masalah. Dari sisi eksternal gaji guru sangat rendah, statusnya banyak tak jelas, serta kebijakan dari pemerintah sering berganti yang kadang menyulitkan guru.
Dari sisi internal guru tak bisa dimungkiri juga bahwa masih banyak guru yang kualitasnya pas-pasan. Bahkan, sertifikasi guru belum banyak berkorelasi positif dengan kualitas guru mengajar. Permasalahan lain adalah selama ini tidak ada identifikasi yang cukup bisa diandalkan dalam masalah data guru.
Saat ini ada 3.015.315 guru dan ada 762.222 guru di Kemenag, dan pemerintah selalu mengatakan bahwa jumlah guru cukup, tapi di berbagai daerah riil terjadi kekurangan guru PNS bahkan ada sekolah yang mayoritas gurunya berstatus honorer. Bahkan, semua kabupaten kota ada guru honorer, dari sini tentu dipertanyakan titik tolak pemerintah mengatakan jumlah guru cukup, karena kemungkinan besar ikut menghitung guru honorer juga.
Perbaikan nasib seluruh lapisan guru baik guru PNS maupun honorer harus menjadi perhatian kita bersama. Di sinilah dituntut empati kita, bukan nyinyir dengan mengatakan kok guru selalu menuntut hak, bukannya jalankan kewajiban. Sebelum kita menuntut sangat besar terhadap para guru baik PNS maupun honorer, mari kita lihat dulu beban apa yang ditanggung.
Terutama guru honorer, selama ini menjadi pengetahuan umum bahwa gaji mereka jauh di bawah upah minimum regional (UMR), padahal pada pundaknyalah dititipkan beban mendidik generasi muda bangsa ini. Bahkan, pejabat pemerintah ada yang berkomentar tidak simpatik menggeneralisasi banyak guru honorer yang diangkat tidak kompeten karena pengangkatannya sekenanya kepala sekolah.
Bak pepatah tepuk air di dulang tepercik muka sendiri, kalaupun ada guru honorer yang tidak kompeten seharusnya masing-masing dinas pendidikan yang ada sampai level kecamatan tak perlu waktu lama mendeteksinya.
Berarti jelas ada masalah pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini. Kita tentu harus berpijak pada logika sederhana yang terbukti sahih dan banyak diterima, saat menuntut orang untuk meningkatkan performanya, jangan lupa penuhi haknya yang wajar.
Sikap tersebut diambil Kemenpan-RB dan Komisi II dalam rapat bersama kemarin. Di luar gedung DPR, ribuan guru honorer kategori 2(K2) berunjuk rasa menuntut pengangkatan sekitar 1,1 juta guru honorer di Indonesia menjadi PNS. Pemerintah pun berjanji memenuhi 10 tuntutan guru dalam demo kemarin.
Kesepuluh tuntutan tersebut adalah: moratorium ASN reguler untuk tuntaskan tenaga honorer, berikan upah layak bagi honorer sebesar UMP, terbitkan regulasi tentang penuntasan honorer K2 menjadi ASN, tingkatkan kesejahteraan tenaga honorer dalam APBD di daerah provinsi, kabupaten, dan kota, berikan jaminan kesehatan melalui peserta PBI, tetapkan anjab dan ABK untuk tenaga honorer, angkat seluruh tenaga honorer menjadi PNS, beri kesempatan sertifikasi, tolak Ujian Kompetensi Guru, hapus Keputusan Menteri Petunjuk Teknis Tunjangan Profesi Guru, cabut Permen PAN-RB No 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistyo mengatakan bahwa dalam kesepakatan antara Kemenpan-RB dan Komisi II diputuskan akan ditetapkan penghasilan minimal untuk guru. Standarnya UU Guru dan Dosen Pasal 14 ayat 1 A yang mengatakan bahwa guru berhak untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Sudah barang tentu kesepakatan ini menjadi berita baik bagi para guru, terutama guru SD yang berunjuk rasa kemarin. Memang tak bisa dimungkiri bahwa sekalipun sudah banyak guru yang kian sejahtera karena mendapatkan uang tunjangan sertifikasi guru, namun di sisi lain masih sangat banyak guru honorer yang penghasilannya sebagai guru bahkan tak bisa dianggap pas-pasan.
Kita semua sepakat bahwa guru sangat penting perannya dalam memajukan negeri ini, namun sayangnya guru digelayuti berbagai masalah. Dari sisi eksternal gaji guru sangat rendah, statusnya banyak tak jelas, serta kebijakan dari pemerintah sering berganti yang kadang menyulitkan guru.
Dari sisi internal guru tak bisa dimungkiri juga bahwa masih banyak guru yang kualitasnya pas-pasan. Bahkan, sertifikasi guru belum banyak berkorelasi positif dengan kualitas guru mengajar. Permasalahan lain adalah selama ini tidak ada identifikasi yang cukup bisa diandalkan dalam masalah data guru.
Saat ini ada 3.015.315 guru dan ada 762.222 guru di Kemenag, dan pemerintah selalu mengatakan bahwa jumlah guru cukup, tapi di berbagai daerah riil terjadi kekurangan guru PNS bahkan ada sekolah yang mayoritas gurunya berstatus honorer. Bahkan, semua kabupaten kota ada guru honorer, dari sini tentu dipertanyakan titik tolak pemerintah mengatakan jumlah guru cukup, karena kemungkinan besar ikut menghitung guru honorer juga.
Perbaikan nasib seluruh lapisan guru baik guru PNS maupun honorer harus menjadi perhatian kita bersama. Di sinilah dituntut empati kita, bukan nyinyir dengan mengatakan kok guru selalu menuntut hak, bukannya jalankan kewajiban. Sebelum kita menuntut sangat besar terhadap para guru baik PNS maupun honorer, mari kita lihat dulu beban apa yang ditanggung.
Terutama guru honorer, selama ini menjadi pengetahuan umum bahwa gaji mereka jauh di bawah upah minimum regional (UMR), padahal pada pundaknyalah dititipkan beban mendidik generasi muda bangsa ini. Bahkan, pejabat pemerintah ada yang berkomentar tidak simpatik menggeneralisasi banyak guru honorer yang diangkat tidak kompeten karena pengangkatannya sekenanya kepala sekolah.
Bak pepatah tepuk air di dulang tepercik muka sendiri, kalaupun ada guru honorer yang tidak kompeten seharusnya masing-masing dinas pendidikan yang ada sampai level kecamatan tak perlu waktu lama mendeteksinya.
Berarti jelas ada masalah pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini. Kita tentu harus berpijak pada logika sederhana yang terbukti sahih dan banyak diterima, saat menuntut orang untuk meningkatkan performanya, jangan lupa penuhi haknya yang wajar.
(bhr)