Tataran Berpikir dan Bertindak

Selasa, 15 September 2015 - 10:29 WIB
Tataran Berpikir dan Bertindak
Tataran Berpikir dan Bertindak
A A A
Cara berpikir orang tentulah berbeda. Tetapi, dalam memberi peran pada bidang kerja, agaknya diperlukan pemahaman bersama atas posisi dan bidang kerja pemilik posisi atau jabatan.

Terutama di dalam pekerjaan dan jabatan yang berkaitan dengan publik alias masyarakat. Di sinilah mungkin bedanya bila bekerja di bidang swasta atau partikelir. Yang biasanya bidang tugasnya telah dirumuskan secara detail. Berbeda dengan jabatan publik, termasuk di pemerintahan dan penyelenggara negara lainnya. Seolah tiada rincian tugas yang jelas serta pengawasan yang tegas.

Saya berikan contoh atas pertanyaan seorang anggota DPR ketika partainya memberi pembekalan terhadap anggota baru. Walau berbeda partai, saya diminta untuk memberi pembekalan. Khususnya yang menyangkut pertanyaan seorang peserta pembekalan tentang peran dan fungsi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Saya perlu mempertegas DPR RI karena di kampung saya anggota DPRD juga disebut sebagai anggota DPR. Anggota DPR baru yang bertanya itu kebetulan seorang aktor ternama. Pertanyaannya menyangkut bagaimana seorang anggota DPR memperjuangkan tuntutan konstituen yang telah menjadi pendukungnya.

Sesuatu yang perlu dipahami bahwa sebagai anggota DPR, wawasannya di tingkat negara dan bidang kerjanya di tingkat nasional. Pekerjaannya terkait dengan tataran berpikir untuk tingkat nasional. Saya berikan contoh yang mudah. Alangkah terasa aneh jika Anda ikut menghadap pimpinan sebuah perusahaan karena para pendukung Anda (yang notabene para karyawan atau buruh di perusahaan itu) ingin memperjuangkan tuntutan kenaikan gaji atau tunjangan misalnya.

Tugas ini sesungguhnya merupakan bidang tugas pemerintah. Kalaupun diperlukan pengaturan serta pengawasannya, lebih dekat pada anggota DPRD (baik kota/kabupaten maupun provinsi).

Jika masuk komisi yang membidang tenaga kerja di DPR, bisa jadi kasus yang sama dapat diangkat ke tingkat nasional, baik sebagai bagian dari pengawasan terhadap pelaksanaan tugas kementerian (menteri) tenaga kerja maupun untuk menyusun atau memperbaiki peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang) di bidang ketenagakerjaan.

Apabila seorang anggota DPR terjebak pada kasus kenaikan upah buruh secara langsung, waktunya akan tersita atas kasus-kasus sejenis yang jumlahnya amatlah banyak. Berapa banyak perusahaan di negeri ini. Pada sisi lain, para pimpinan perusahaan akan menganggapnya dapat diselesaikan dengan menyediakan ”amplop”, sebagai bagian dari pengeluaran biaya operasional perusahaan. Alangkah tragisnya. Dalam beberapa kasus, hal semacam ini terjadi.

Karena itu, pertanyaan anggota DPR baru itu amat menarik. Untuk menjelaskan apa dan di mana sesungguhnya seorang anggota DPR berperan. Bagaimana sang anggota memahami pekerjaannya, di antara ”sejuta” persoalan yang harus dihadapi. Apalagi jika harus menghadapi pendukung atau konstituen yang tak lain dari rakyat yang sedemikian banyak dan beragam.

Pertanyaan itu menjadi pintu masuk dalam memandang tataran berpikir dan bertindak, yang sesungguhnya tidak hanya dihadapi seorang wakil rakyat, baik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hal semacam ini juga akan terjadi di lingkup pemerintahan.

Apalagi dalam suasana seperti sekarang ini, di mana ”rakyat” sendiri acapkali menuntut ihwal yang nyata dan tidak lagi sebatas konsepsi dan teori-teori. Yang mereka tuntut selalu perbuatan nyata dan langsung terasakan karena wawasan dan tataran berpikirnya juga terbatas. Apalagi, kalau didukung oleh pers, dari wartawan yang wawasan dan tataran berpikirnya juga kurang lebih sama.

Lihatlah misalnya publikasi yang berlangsung akhir-akhir ini. Seolah kepala pemerintahan yang sekaligus juga sebagai kepala negara yang membagibagi ”sembako” langsung kepada rakyat merupakan yang seharusnya dan selayaknya dilakukan. Demikian juga ketika menjamu para sopir dan pengojek di Istana dan blusukan yang berulang-ulang.

Seolah demikianlah seharusnya kepala negara, yang selalu dekat dengan rakyatnya. Padahal, jika kita urai lebih lanjut, berapa orang yang mendapatkan ”sembako” itu langsung dari kepala negara? Berapa orang yang dapat diundang untuk makan siang di Istana? Berapa banyak tempat yang harus di-blusuk-i seantero Tanah Air?

Bagaimana dengan rakyat yang tidak menerima sembako atau tidak ikut makan siang? Atau, daerah yang tidak pernah didatangi? Misalnya kampung saya, yang sampai sekarang hanya pernah dikunjungi Presiden Soekarno? Bukankah jumlahnya tidak sebanding. Sebagaimana soal wawasan dan tataran berpikir yang terkait dengan anggota DPR yang saya uraikan di atas, banyak bidang pekerjaan yang perlu diserahkan kepada para pembantu atau kepemimpinan di bawahnya.

Biarlah tugas membagi sembako itu diserahkan kepada para pembantu kepala pemerintahan, baik menteri, kepala lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), atau para eselon 1 dan eselon 2 di berbagai kementerian. Untuk tingkat daerah, tugas itu dapat diberikan kepada gubernur, bupati/ wali kota, bahkan kepada camat atau lurah.

Pelaksanaan program ini perlu disesuaikan dengan posisi dan tugas para pejabat yang bersangkutan. Biarlah kepala negara serta penyelenggara negara lainnya memikirkan negara. Biarlah kepala negara memutuskan kebijakan pada tataran negara. Biarlah kepala pemerintahan memikirkan pemerintahan secara keseluruhan.

Mengendalikan perekonomian secara nasional, mengendalikan penyerapan anggaran negara agar tersalur dengan baik, mengarahkan dan memberi petunjuk kepada para menteri dan pembantu lainnya agar bekerja baik, dan berbagai urusan pemerintahan lainnya. Kalau ada pembagian sembako, cukup yang membagikannya saja menyampaikan salam kepala negara.

Kalau perlu, menegaskan bahwa pembagian sembako itu karena diperintahkan kepala negara atau kepala pemerintahan. Dengan cara seperti itu, tentu akan lebih memberdayakan seluruh birokrasi pemerintahan. Seluruh perangkat pemerintahan akan turut serta berpartisipasi di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahkan juga sampai ke daerah, jika peran kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) juga diberdayakan.

Pimpinan negara tidak berarti berada di menara gading. Tidak juga terpisah dan melupakan rakyatnya. Tetapi, semata berbagi tugas dan peran, sesuai dengan tataran berpikir dan bertindak. Walau tidak ada ”job description ” yang jelas, tataran berpikir dan bertindak ini agaknya perlu dimiliki para pejabat publik, khususnya penyelenggara negara.

Bagaimanapun pencitraan amat diperlukan seorang pemimpin atau calon pemimpin (dalam segala tingkatan) saat sekarang ini. Sesuatu yang tampaknya didukung demokratisasi, yang muncul sejak masa reformasi, di mana dukungan langsung dari rakyat selalu diperlukan. Tapi, dukungan itu agaknya perlu dibayar secara menyeluruh pula.

Agaknya perlu dipertegas, jika penyelenggaraan negara berlangsung dengan baik, tentulah berkat kepemimpinan kepala negara. Bila penyelenggaraan pemerintahan negara berjalan dengan baik, tentulah berkat kepemimpinan kepala pemerintahan. Pers juga perlu berpikir jernih akan hal ini. Jangan selalu membangun citra dengan sikap lama, asal bapak senang (ABS).

Kita harus membangun dan melahirkan kepemimpinan berwawasan. Karena itu pula, kita memerlukan pers yang juga berwawasan jauh ke depan. Bukan hanya untuk keperluan sesaat.

BAHARUDDIN ARITONANG
Mantan Anggota DPR dan BPK
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6521 seconds (0.1#10.140)