Mulai dari Fondasi Berpikir
A
A
A
Sejatinya segala pergerakan kita dipengaruhi oleh pola pikir. Apa yang kita pikirkan menentukan apa yang akan kita kerjakan.
Betapa krusialnya suatu pola pikir sehingga ia dapat melahirkan sebuah gagasan, aksi, produk, bahkan budaya. Kendati demikian, pola pikir tidak hanya dengan satu perannya dalam memengaruhi, tapi juga dipengaruhi, salah satunya oleh perkembangan zaman.
Teknologi yang terus bertumbuh, pun derasnya arus globalisasi, mampu mereformasi pola pikir. Masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata, namun justru Indonesia masih terjebak dalam satu paradoks klasik; mal jumlahnya terus membelah diri seperti amoeba, sementara ratusan proyek pembangunan infrastruktur terbengkalai. Ini menunjukkan, ada prioritas yang terbalik.
Pemenuhan hasrat konsumtif diberikan ruang lebih dibandingkan pembangunan salah satu sektor penting yang dapat mempercepat laju pembangunan nasional. Bila kita runut ke belakang, akar permasalahannya terletak pada budaya konsumtif yang sedang mewabah. Produk dari pola pikir yang keliru ketika keinginan dipandang sebagai sebuah kebutuhan.
Kita terjebak pada keinginan untuk terus mengikuti tren, tidak mau ketinggalan dengan yang lain. Seperti hukum ekonomi, suatu bisnis atau produk dibuat karena ada permintaan. Mal-mal terus dibangun karena semakin naiknya angka konsumsi/pengeluaran. Para pengusaha melihat hal ini sebagai peluang. Kemudian ironisnya, terciptalah sebuah pemikiran bahwa tingginya angka pengeluaran (spending growth) menunjukkan pertumbuhan ekonomi bangsa.
Tidak bisa dimungkiri, ada begitu banyak faktor yang akhirnya menimbulkan fenomena besar pasak daripada tiang tersebut. Salah satunya yang dewasa ini bisa kita lihat secara langsung adalah ketergantungan masyarakat kita akan barang impor, branded, yang dinilai mampu menambah gengsi atau prestis bagi para pemakainya.
Pemikiran yang seperti ini yang perlu dirombak ulang. Bila kita mau lebih jeli, produk-produk lokal tidak kalah dalam kualitas, harga pun sudah pasti lebih murah dibanding barang impor. Yang membedakan hanya merek, ternama atau tidak. Bila orientasi belanja pada merek bisa dialihkan kepada kualitas, sudah tentu produk lokal akan menjadi primadona di negeri sendiri.
Budaya konsumtif dan ketergantungan akan barang impor hanya dua dari banyak permasalahan yang menghambat perekonomian kita. Terlebih, dengan terus melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS merupakan tamparan keras bagi kelangsungan perekonomian di Indonesia. Sebagai rakyat, kita dapat melakukan satu langkah kecil, namun nyata. Mulailah dari menata ulang fondasi berpikir kita.
Gunakan uang yang kita miliki dengan bijak dan penuh perhitungan, pintar-pintar memilah mana yang merupakan keinginan dan mana yang memang kebutuhan. Jika tidak kita akan selamanya terlena menjadi budak konsumerisme, yang tak lain adalah produk dari pola pikir kita sendiri.
SELLI NISRINA FARADILA
Mahasiswi Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomika dan BisnisUniversitas Diponegoro
Betapa krusialnya suatu pola pikir sehingga ia dapat melahirkan sebuah gagasan, aksi, produk, bahkan budaya. Kendati demikian, pola pikir tidak hanya dengan satu perannya dalam memengaruhi, tapi juga dipengaruhi, salah satunya oleh perkembangan zaman.
Teknologi yang terus bertumbuh, pun derasnya arus globalisasi, mampu mereformasi pola pikir. Masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata, namun justru Indonesia masih terjebak dalam satu paradoks klasik; mal jumlahnya terus membelah diri seperti amoeba, sementara ratusan proyek pembangunan infrastruktur terbengkalai. Ini menunjukkan, ada prioritas yang terbalik.
Pemenuhan hasrat konsumtif diberikan ruang lebih dibandingkan pembangunan salah satu sektor penting yang dapat mempercepat laju pembangunan nasional. Bila kita runut ke belakang, akar permasalahannya terletak pada budaya konsumtif yang sedang mewabah. Produk dari pola pikir yang keliru ketika keinginan dipandang sebagai sebuah kebutuhan.
Kita terjebak pada keinginan untuk terus mengikuti tren, tidak mau ketinggalan dengan yang lain. Seperti hukum ekonomi, suatu bisnis atau produk dibuat karena ada permintaan. Mal-mal terus dibangun karena semakin naiknya angka konsumsi/pengeluaran. Para pengusaha melihat hal ini sebagai peluang. Kemudian ironisnya, terciptalah sebuah pemikiran bahwa tingginya angka pengeluaran (spending growth) menunjukkan pertumbuhan ekonomi bangsa.
Tidak bisa dimungkiri, ada begitu banyak faktor yang akhirnya menimbulkan fenomena besar pasak daripada tiang tersebut. Salah satunya yang dewasa ini bisa kita lihat secara langsung adalah ketergantungan masyarakat kita akan barang impor, branded, yang dinilai mampu menambah gengsi atau prestis bagi para pemakainya.
Pemikiran yang seperti ini yang perlu dirombak ulang. Bila kita mau lebih jeli, produk-produk lokal tidak kalah dalam kualitas, harga pun sudah pasti lebih murah dibanding barang impor. Yang membedakan hanya merek, ternama atau tidak. Bila orientasi belanja pada merek bisa dialihkan kepada kualitas, sudah tentu produk lokal akan menjadi primadona di negeri sendiri.
Budaya konsumtif dan ketergantungan akan barang impor hanya dua dari banyak permasalahan yang menghambat perekonomian kita. Terlebih, dengan terus melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS merupakan tamparan keras bagi kelangsungan perekonomian di Indonesia. Sebagai rakyat, kita dapat melakukan satu langkah kecil, namun nyata. Mulailah dari menata ulang fondasi berpikir kita.
Gunakan uang yang kita miliki dengan bijak dan penuh perhitungan, pintar-pintar memilah mana yang merupakan keinginan dan mana yang memang kebutuhan. Jika tidak kita akan selamanya terlena menjadi budak konsumerisme, yang tak lain adalah produk dari pola pikir kita sendiri.
SELLI NISRINA FARADILA
Mahasiswi Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomika dan BisnisUniversitas Diponegoro
(ftr)