Melawan Mental Konsumtif
A
A
A
Peringatan hari kemerdekaan Indonesia baru saja berlalu. Dalam usia ke-70 tahun, bangsa ini mendapat kado terindah berupa kelesuan ekonomi.
Memburuknya perekonomian dan kegaduhan elite politik yang tak kunjung reda membuat kehidupan semakin sulit. Merosotnya nilai tukar rupiah, meningkatnya suku bunga bank, juga ancaman kegagalan panen di sektor pangan serta pemutusan hubungan kerja dalam skala besar, yang terjadi belakangan merupakan gambaran bahwa kita tidak bisa tenang-tenang saja.
Reshuffle kabinet terutama di bidang ekonomi telah dilakukan, namun belum cukup pas untuk mengatasi masalah gejolak ekonomi. Kebijakan pemerintahan Jokowi hanya terfokus pada percepatan penyerapan anggaran negara dan tak menyentuh peningkatan ekspor serta pengeluaran konsumsi masyarakat. Selama ini pertumbuhan ekonomi ditopang oleh aktivitas konsumsi dan seruan untuk mengurangi sifat konsumtif kerap disampaikan oleh presiden.
Itu sebabnya, dalam tulisan ini sengaja tidak dipersoalkan strategi ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah saat ini. Yang dipersoalkan dalam tulisan ini adalah ajakan Presiden untuk mengurangi perilaku konsumtif ternyata menghadapi banyak rintangan. Upaya untuk mengurangi perilaku konsumtif sulit ditemukan di ruang publik sehari-hari. Parahnya, ruang publik telah didesain sedemikian rupa menjadi tempat yang memicu suburnya mental konsumtif.
Coba perhatikan, waralaba atau minimarket yang secara masif bertebaran di wilayah kompleks hunian dan perkampungan, ditambah lagi kehadiran mal-mal besar yang hadir hingga ke segala wilayah. Apalagi, fasilitas publik di sekitar mal sangatlah memudahkan penduduk untuk datang.
Seperti tersedianya transportasi publik dan jembatan penyeberangan yang langsung efektif mengantarkan Anda masuk ke mal. Mal-mal memberikan kenyamanan dan kenikmatan hidup bagi para pengunjung. Tempat perbelanjaan tersebut menghidupkan ruang konsumsi nasional, sekaligus menggerakkan roda perekonomian.
Pada titik inilah, investasi asing tiba di sini karena tingginya perilaku konsumtif kita. Dengan kata lain, perekonomian nasional dibangun atas budaya konsumtif. Budaya konsumtif mendorong negeri ini tidak lagi sebagai produsen tapi lekas menjelma menjadi pasar murah bagi sejumlah negara. Perhatikan, dari bangun tidur hingga tidur lagi mayoritas produk yang kita gunakan adalah hasil impor.
Kenyataan di atas menunjukkan melawan mental konsumtif tidak bisa dengan retorika semata. Sifat konsumtif sangatlah berkaitan dengan aspek mentalitas. Revolusi mental adalah sebuah metode untuk melawan sifat konsumtif. Tapi yang kita butuhkan sekarang bukan metode, melainkan instrumennya. Mengoptimalkan fungsi ruang publik sebagai ruang produktif adalah upaya nyata menerapkan instrumen guna memperkuat fondasi perekonomian.
Perizinan pembangunan mal, swalayan, maupun waralaba harus segera ditata kembali; jika tidak, seruan tuan presiden hanya menjadi busa dalam tiupan napas para investor.
JONATHAN ALFRENDI
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kependidikan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Memburuknya perekonomian dan kegaduhan elite politik yang tak kunjung reda membuat kehidupan semakin sulit. Merosotnya nilai tukar rupiah, meningkatnya suku bunga bank, juga ancaman kegagalan panen di sektor pangan serta pemutusan hubungan kerja dalam skala besar, yang terjadi belakangan merupakan gambaran bahwa kita tidak bisa tenang-tenang saja.
Reshuffle kabinet terutama di bidang ekonomi telah dilakukan, namun belum cukup pas untuk mengatasi masalah gejolak ekonomi. Kebijakan pemerintahan Jokowi hanya terfokus pada percepatan penyerapan anggaran negara dan tak menyentuh peningkatan ekspor serta pengeluaran konsumsi masyarakat. Selama ini pertumbuhan ekonomi ditopang oleh aktivitas konsumsi dan seruan untuk mengurangi sifat konsumtif kerap disampaikan oleh presiden.
Itu sebabnya, dalam tulisan ini sengaja tidak dipersoalkan strategi ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah saat ini. Yang dipersoalkan dalam tulisan ini adalah ajakan Presiden untuk mengurangi perilaku konsumtif ternyata menghadapi banyak rintangan. Upaya untuk mengurangi perilaku konsumtif sulit ditemukan di ruang publik sehari-hari. Parahnya, ruang publik telah didesain sedemikian rupa menjadi tempat yang memicu suburnya mental konsumtif.
Coba perhatikan, waralaba atau minimarket yang secara masif bertebaran di wilayah kompleks hunian dan perkampungan, ditambah lagi kehadiran mal-mal besar yang hadir hingga ke segala wilayah. Apalagi, fasilitas publik di sekitar mal sangatlah memudahkan penduduk untuk datang.
Seperti tersedianya transportasi publik dan jembatan penyeberangan yang langsung efektif mengantarkan Anda masuk ke mal. Mal-mal memberikan kenyamanan dan kenikmatan hidup bagi para pengunjung. Tempat perbelanjaan tersebut menghidupkan ruang konsumsi nasional, sekaligus menggerakkan roda perekonomian.
Pada titik inilah, investasi asing tiba di sini karena tingginya perilaku konsumtif kita. Dengan kata lain, perekonomian nasional dibangun atas budaya konsumtif. Budaya konsumtif mendorong negeri ini tidak lagi sebagai produsen tapi lekas menjelma menjadi pasar murah bagi sejumlah negara. Perhatikan, dari bangun tidur hingga tidur lagi mayoritas produk yang kita gunakan adalah hasil impor.
Kenyataan di atas menunjukkan melawan mental konsumtif tidak bisa dengan retorika semata. Sifat konsumtif sangatlah berkaitan dengan aspek mentalitas. Revolusi mental adalah sebuah metode untuk melawan sifat konsumtif. Tapi yang kita butuhkan sekarang bukan metode, melainkan instrumennya. Mengoptimalkan fungsi ruang publik sebagai ruang produktif adalah upaya nyata menerapkan instrumen guna memperkuat fondasi perekonomian.
Perizinan pembangunan mal, swalayan, maupun waralaba harus segera ditata kembali; jika tidak, seruan tuan presiden hanya menjadi busa dalam tiupan napas para investor.
JONATHAN ALFRENDI
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kependidikan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(ftr)