Akselerator Perekonomian
A
A
A
Djonnie Rahmat
Ketua Asosiasi Kendaraan Ultra Premium Indonesia (Akupindo)
Upaya pemerintah untuk mengatasi perlambatan ekonomi membutuhkan dukungan penuh dan menyeluruh dari semua kalangan. Termasuk individu-individu berpenghasilan tinggi sebagai akselerator untuk meningkatkan konsumsinya di Indonesia.
Belum lama ini, kami membentuk Asosiasi Kendaraan Ultra-Premium Indonesia (Akupindo) yang menjadi medium komunikasi antara pemerintah dengan para konsumen kendaraan mewah dan ultrapremium di Indonesia.
Sudah terdapat enam merek kendaraan mewah dan ultrapremium yang telah bergabung di dalam Akupindo, yakni Bentley, Maserati, Ferrari, Harley- Davidson, McLaren, dan Aston Martin. Keanggotaan Akupindo masih terbuka untuk brand sejenis lainnya yang ingin bergabung. Belakangan ini, penjualan kendaraan mewah dan ultrapremium di Indonesia semakin lesu, terutama sejak pemberlakuan berbagai kebijakan pemerintah di bidang impor mulai kuartal kedua (Q2) tahun 2014.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak guna menambah anggaran belanja negara. Salah satu yang dinilai efektif adalah mengenakan pajak yang sangat tinggi bagi barangbarang mewah. *** Sedikitnya sudah tiga peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah sejak Q2 2014 sampai dengan saat ini yang menyebabkan para pelaku usaha di bidang industri kendaraan bermotor ultrapremium terpaksa menyesuaikan harga jual produknya secara signifikan.
Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2014. Pemerintah menetapkan peningkatan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor tergolong sangat mewah baik untuk kendaraan bermotor roda empat maupun roda dua dari semula sebesar 75% menjadi 125%. Dengan demikian, berdasarkan PP dimaksud, PPnBM yang harus dipungut dan disetorkan kepada pemerintah telah melebihi atau lebih besar dari pada harga jual kendaraan dari pabrikannya di luar negeri kepada importir di dalam negeri.
Kedua, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/ 2015. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menetapkan kewajiban kepada wajib pajak badan tertentu untuk melakukan pemungutan pajak penghasilan atas penjualan barang yang tergolong mewah (PPh Ps 22 atas Barang Mewah) yang besarnya adalah sebesar 5%.
Kewajiban pemungutan PPh Ps 22 atas Barang Mewah ini berlaku bagi kendaraan bermotor roda empat dengan nilai transaksi di atas Rp2.000.000.000 di mana sebelumnya ditetapkan untuk di atas harga Rp5.000.000.000, sedangkan untuk kendaraan bermotor roda dua dengan nilai transaksi di atas Rp300.000.000 atau terhadap kendaraan bermotor roda dua dengan kapasitas mesin di atas 250 cc.
Sebagaimana kita ketahui bersama, sejak bulan Juli 2013 hingga saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah mengalami depresiasi sebesar 45% dari semula berada pada kisaran Rp9.800/USD hingga saat ini telah mencapai angka sekitar Rp14.200/USD yang secara otomatis meningkatkan harga jual kendaraan dimaksud karena meningkatnya nilai impor dan pajak yang harus dibayarkan.
Seyogianya, peningkatan harga jual akibat depresiasi nilai rupiah dan peningkatan tarif pajak impor diimbangi dengan peningkatan bracket /batasan harga jual kendaraan bermotor yang dikenai kewajiban pemungutan pajak penghasilan PPh 22 atas Barang Mewah dimaksud. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, pada PMK 90/ MK.03/2015 pemerintah justru menurunkan batasan harga jual kendaraan bermotor yang dikenakan PPh 22 atas Barang Mewah, alih-alih bertujuan meningkatkan penerimaan pemerintah di bidang pajak melalui intensifikasi penerimaan pajak.
Ketiga, Peraturan Menteri Keuangan No.132/PMK.010/ 2015. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan di bulan Juli 2015 kembali mengeluarkan kebijakan berupa peningkatan tarif Bea Masuk beberapa barang impor di mana untuk kendaraan bermotor roda empat yang tergolong mewah naik menjadi sebesar 50% dan untuk kendaraan bermotor roda dua yang tergolong mewah naik menjadi sebesar 40%.
Peningkatan tarif bea masuk impor ini memberikan efek multiplier terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha industri kendaraan bermotor tergolong mewah, karena secara tidak langsung peningkatan tarif bea masuk juga turut meningkatkan komponen pembayaran pajak dalam rangka impor (PDRI) lainnya seperti PPN impor, PPh impor, dan PPnBM yang dasar perhitungan pajaknya adalah dari nilai impor (CIF + bea masuk).
Kenaikan berbagai jenis pajak tersebut nyaris tidak terdengar, tetapi dampaknya sangat dirasakan bagi para pengusaha dan pengguna kendaraan mewah dan super mewah. Total keseluruhan nilai pajak yang harus dibayarkan akibat kebijakan pemerintah tersebut di atas mencapai kurang lebih 300% dari harga beli kendaraan dimaksud dari negara asalnya.
Dampak kenaikan harga yang signifikan ini telah melumpuhkan sektor usaha kendaraan mewah dan supermewah dan di sisi lain mendorong euforia kejahatan penyelundupan (smuggling) barang-barang mewah dan pasar gelap (black market ). Pengenaan tarif pajak yang tinggi tanpa disertai dengan pengawasan (law enforcement ) yang memadai menciptakan ruang bagi sebagian oknum di lapangan untuk melakukan berbagai cara-cara penggelapan pajak dan penyelundupan sehingga berbagai instrumen kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan dalih untuk meningkatkan penerimaan negara pada kenyataannya jauh panggang dari api.
Yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu penurunan angka penerimaan yang disebabkan karena menurunnya aktivitas importasi dan penjualan yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertanggung jawab di Indonesia. Akupindo memandang kebijakan pemerintah yang menaikkan beberapa tarif pajak dimaksud sangatlah kontra produktif dengan semangat pertumbuhan ekonomi. Bisnis semakin terpuruk, bahkan dapat mematikan sektor usaha.
Penjualan seluruh produk kendaraan mewah dan ultra premium di Indonesia dalam kondisi terkini terus menurun tajam hingga lebih dari 50%. Keinginan pemerintah untuk menaikkan pendapatan negara dari sektor pajak kendaraan mewah dan supermewah jelas tidak tercapai. Bahkan, pendapatan pajak ikut menurun karena sulitnya menjual kendaraan mewah dan supermewah di Indonesia saat ini.
Sementara, keinginan pemerintah untuk menekan permintaan atas barang mewah, kendaraan mewah, dan supermewah telah berhasil menurunkan tingkat konsumsi dari individu-individu yang berpenghasilan tinggi di Indonesia. Di sisi lain, untuk mengatasi perlambatan perekonomian ini, semestinya konsumsi harus digenjot dan ditingkatkan.
Menurut John Maynard Keynes, jumlah konsumsi saat ini (current disposable income ) berhubungan langsung dengan pendapatannya. Besar kecilnya pengeluaran konsumsi didasarkan atas besar kecilnya pendapatan. Sebelum pemberlakuan pajak barang mewah (PPnBM) yang sangat tinggi, tingkat konsumsi masih cukup baik, dunia usaha di sektor tersebut amat bergairah.
Individu-individu berpenghasilan tinggi dapat membeli dan menikmati barang- barang mewah dan supermewah. Berbeda situasinya saat ini, konsumsi terhadap barang mewah anjlok, bahkan bisa dibilang memasuki fase mati suri,wait and see dalam menanti dan mengantisipasi kebijakan pemerintah selanjutnya.
Para konsumen dari merekmerek kendaraan mewah dan supermewah tersebut mayoritas adalah para pengusaha papan atas, individu-individu yang merupakan gerbong terdepan dari rangkaian berbagai sektor industri dan dunia usaha di Indonesia. Tingkat konsumsi keberadaan individu-individu ini berperan penting dan dapat menjadi salah satu indikator keberhasilan perekonomian Indonesia mengacu pada teori konsumsi Keynes.
Individu-individu yang sukses dan berpenghasilan tinggi ini perlu memiliki rasa nyaman dan senang dalam menjalankan legal bisnisnya di Indonesia serta berkesempatan untuk menikmati kerberhasilannya, salah satu contohnya adalah dengan menikmati dan memiliki kendaraan mewah dan supermewah di Indonesia.
Sesuai dengan Human Motivation (Maslow, 1943) yang mengacu pada hierarki kebutuhan, setelah kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu, kebu-tuhan- kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi, dare to dream, menuju piramida teratas berupa kebutuhan akan aktualisasi diri (selfactualization).
Di antaranya dapat menikmati hidup dengan mengonsumsi barang-barang mewah. Konsumsi dalam zona kebutuhan aktualisasi diri atau gaya hidup semacam ini hendaknya tidak dibatasi oleh pemerintah karena akan mengurangi, bahkan mereduksi, setiap individu untuk memotivasi dirinya menjadi sukses dan mapan.
Tentu ironis sekali apabila individu-individu yang berpenghasilan tinggi yang berdomisili di dalam negeri malah lebih banyak berbelanja dan menghabiskan uangnya di luar negeri. Atau barangkali side negative effect itu sudah terjadi sekarang ini? Berkenaan dengan hal itu, Akupindo amat mengharapkan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah menjadi bentuk pembinaan yang akomodatif, tidak sebaliknya membuat iklim usaha menjadi semakin melambat atau lesu.
Kondisi ini tentunya akan sangat berpengaruh kepada minat investasi para pelaku usaha internasional yang menilai apakah Indonesia masih menjadi pasar yang kondusif, negara berkembang yang akan maju, khususnya menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community ) yang membutuhkan lebih banyak individu-individu sukses, mapan, dan berpenghasilan tinggi.
Ketua Asosiasi Kendaraan Ultra Premium Indonesia (Akupindo)
Upaya pemerintah untuk mengatasi perlambatan ekonomi membutuhkan dukungan penuh dan menyeluruh dari semua kalangan. Termasuk individu-individu berpenghasilan tinggi sebagai akselerator untuk meningkatkan konsumsinya di Indonesia.
Belum lama ini, kami membentuk Asosiasi Kendaraan Ultra-Premium Indonesia (Akupindo) yang menjadi medium komunikasi antara pemerintah dengan para konsumen kendaraan mewah dan ultrapremium di Indonesia.
Sudah terdapat enam merek kendaraan mewah dan ultrapremium yang telah bergabung di dalam Akupindo, yakni Bentley, Maserati, Ferrari, Harley- Davidson, McLaren, dan Aston Martin. Keanggotaan Akupindo masih terbuka untuk brand sejenis lainnya yang ingin bergabung. Belakangan ini, penjualan kendaraan mewah dan ultrapremium di Indonesia semakin lesu, terutama sejak pemberlakuan berbagai kebijakan pemerintah di bidang impor mulai kuartal kedua (Q2) tahun 2014.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak guna menambah anggaran belanja negara. Salah satu yang dinilai efektif adalah mengenakan pajak yang sangat tinggi bagi barangbarang mewah. *** Sedikitnya sudah tiga peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah sejak Q2 2014 sampai dengan saat ini yang menyebabkan para pelaku usaha di bidang industri kendaraan bermotor ultrapremium terpaksa menyesuaikan harga jual produknya secara signifikan.
Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2014. Pemerintah menetapkan peningkatan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor tergolong sangat mewah baik untuk kendaraan bermotor roda empat maupun roda dua dari semula sebesar 75% menjadi 125%. Dengan demikian, berdasarkan PP dimaksud, PPnBM yang harus dipungut dan disetorkan kepada pemerintah telah melebihi atau lebih besar dari pada harga jual kendaraan dari pabrikannya di luar negeri kepada importir di dalam negeri.
Kedua, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/ 2015. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menetapkan kewajiban kepada wajib pajak badan tertentu untuk melakukan pemungutan pajak penghasilan atas penjualan barang yang tergolong mewah (PPh Ps 22 atas Barang Mewah) yang besarnya adalah sebesar 5%.
Kewajiban pemungutan PPh Ps 22 atas Barang Mewah ini berlaku bagi kendaraan bermotor roda empat dengan nilai transaksi di atas Rp2.000.000.000 di mana sebelumnya ditetapkan untuk di atas harga Rp5.000.000.000, sedangkan untuk kendaraan bermotor roda dua dengan nilai transaksi di atas Rp300.000.000 atau terhadap kendaraan bermotor roda dua dengan kapasitas mesin di atas 250 cc.
Sebagaimana kita ketahui bersama, sejak bulan Juli 2013 hingga saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah mengalami depresiasi sebesar 45% dari semula berada pada kisaran Rp9.800/USD hingga saat ini telah mencapai angka sekitar Rp14.200/USD yang secara otomatis meningkatkan harga jual kendaraan dimaksud karena meningkatnya nilai impor dan pajak yang harus dibayarkan.
Seyogianya, peningkatan harga jual akibat depresiasi nilai rupiah dan peningkatan tarif pajak impor diimbangi dengan peningkatan bracket /batasan harga jual kendaraan bermotor yang dikenai kewajiban pemungutan pajak penghasilan PPh 22 atas Barang Mewah dimaksud. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, pada PMK 90/ MK.03/2015 pemerintah justru menurunkan batasan harga jual kendaraan bermotor yang dikenakan PPh 22 atas Barang Mewah, alih-alih bertujuan meningkatkan penerimaan pemerintah di bidang pajak melalui intensifikasi penerimaan pajak.
Ketiga, Peraturan Menteri Keuangan No.132/PMK.010/ 2015. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan di bulan Juli 2015 kembali mengeluarkan kebijakan berupa peningkatan tarif Bea Masuk beberapa barang impor di mana untuk kendaraan bermotor roda empat yang tergolong mewah naik menjadi sebesar 50% dan untuk kendaraan bermotor roda dua yang tergolong mewah naik menjadi sebesar 40%.
Peningkatan tarif bea masuk impor ini memberikan efek multiplier terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha industri kendaraan bermotor tergolong mewah, karena secara tidak langsung peningkatan tarif bea masuk juga turut meningkatkan komponen pembayaran pajak dalam rangka impor (PDRI) lainnya seperti PPN impor, PPh impor, dan PPnBM yang dasar perhitungan pajaknya adalah dari nilai impor (CIF + bea masuk).
Kenaikan berbagai jenis pajak tersebut nyaris tidak terdengar, tetapi dampaknya sangat dirasakan bagi para pengusaha dan pengguna kendaraan mewah dan super mewah. Total keseluruhan nilai pajak yang harus dibayarkan akibat kebijakan pemerintah tersebut di atas mencapai kurang lebih 300% dari harga beli kendaraan dimaksud dari negara asalnya.
Dampak kenaikan harga yang signifikan ini telah melumpuhkan sektor usaha kendaraan mewah dan supermewah dan di sisi lain mendorong euforia kejahatan penyelundupan (smuggling) barang-barang mewah dan pasar gelap (black market ). Pengenaan tarif pajak yang tinggi tanpa disertai dengan pengawasan (law enforcement ) yang memadai menciptakan ruang bagi sebagian oknum di lapangan untuk melakukan berbagai cara-cara penggelapan pajak dan penyelundupan sehingga berbagai instrumen kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan dalih untuk meningkatkan penerimaan negara pada kenyataannya jauh panggang dari api.
Yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu penurunan angka penerimaan yang disebabkan karena menurunnya aktivitas importasi dan penjualan yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertanggung jawab di Indonesia. Akupindo memandang kebijakan pemerintah yang menaikkan beberapa tarif pajak dimaksud sangatlah kontra produktif dengan semangat pertumbuhan ekonomi. Bisnis semakin terpuruk, bahkan dapat mematikan sektor usaha.
Penjualan seluruh produk kendaraan mewah dan ultra premium di Indonesia dalam kondisi terkini terus menurun tajam hingga lebih dari 50%. Keinginan pemerintah untuk menaikkan pendapatan negara dari sektor pajak kendaraan mewah dan supermewah jelas tidak tercapai. Bahkan, pendapatan pajak ikut menurun karena sulitnya menjual kendaraan mewah dan supermewah di Indonesia saat ini.
Sementara, keinginan pemerintah untuk menekan permintaan atas barang mewah, kendaraan mewah, dan supermewah telah berhasil menurunkan tingkat konsumsi dari individu-individu yang berpenghasilan tinggi di Indonesia. Di sisi lain, untuk mengatasi perlambatan perekonomian ini, semestinya konsumsi harus digenjot dan ditingkatkan.
Menurut John Maynard Keynes, jumlah konsumsi saat ini (current disposable income ) berhubungan langsung dengan pendapatannya. Besar kecilnya pengeluaran konsumsi didasarkan atas besar kecilnya pendapatan. Sebelum pemberlakuan pajak barang mewah (PPnBM) yang sangat tinggi, tingkat konsumsi masih cukup baik, dunia usaha di sektor tersebut amat bergairah.
Individu-individu berpenghasilan tinggi dapat membeli dan menikmati barang- barang mewah dan supermewah. Berbeda situasinya saat ini, konsumsi terhadap barang mewah anjlok, bahkan bisa dibilang memasuki fase mati suri,wait and see dalam menanti dan mengantisipasi kebijakan pemerintah selanjutnya.
Para konsumen dari merekmerek kendaraan mewah dan supermewah tersebut mayoritas adalah para pengusaha papan atas, individu-individu yang merupakan gerbong terdepan dari rangkaian berbagai sektor industri dan dunia usaha di Indonesia. Tingkat konsumsi keberadaan individu-individu ini berperan penting dan dapat menjadi salah satu indikator keberhasilan perekonomian Indonesia mengacu pada teori konsumsi Keynes.
Individu-individu yang sukses dan berpenghasilan tinggi ini perlu memiliki rasa nyaman dan senang dalam menjalankan legal bisnisnya di Indonesia serta berkesempatan untuk menikmati kerberhasilannya, salah satu contohnya adalah dengan menikmati dan memiliki kendaraan mewah dan supermewah di Indonesia.
Sesuai dengan Human Motivation (Maslow, 1943) yang mengacu pada hierarki kebutuhan, setelah kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu, kebu-tuhan- kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi, dare to dream, menuju piramida teratas berupa kebutuhan akan aktualisasi diri (selfactualization).
Di antaranya dapat menikmati hidup dengan mengonsumsi barang-barang mewah. Konsumsi dalam zona kebutuhan aktualisasi diri atau gaya hidup semacam ini hendaknya tidak dibatasi oleh pemerintah karena akan mengurangi, bahkan mereduksi, setiap individu untuk memotivasi dirinya menjadi sukses dan mapan.
Tentu ironis sekali apabila individu-individu yang berpenghasilan tinggi yang berdomisili di dalam negeri malah lebih banyak berbelanja dan menghabiskan uangnya di luar negeri. Atau barangkali side negative effect itu sudah terjadi sekarang ini? Berkenaan dengan hal itu, Akupindo amat mengharapkan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah menjadi bentuk pembinaan yang akomodatif, tidak sebaliknya membuat iklim usaha menjadi semakin melambat atau lesu.
Kondisi ini tentunya akan sangat berpengaruh kepada minat investasi para pelaku usaha internasional yang menilai apakah Indonesia masih menjadi pasar yang kondusif, negara berkembang yang akan maju, khususnya menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community ) yang membutuhkan lebih banyak individu-individu sukses, mapan, dan berpenghasilan tinggi.
(ars)