Membangun (Mental) Ekonomi Pancasila
A
A
A
Ridwan Nanda Mulyana
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Pembangunan ekonomi Indonesia yang terlihat lebih berorientasi pada pembangunan fisik dan material hingga saat ini nyatanya belum juga mampu (baca: masih gagal) membawa negara ini maju mewujudkan cita-cita nasional: menciptakan masyarakat yang adilmakmur dan memberikan kesejahteraan pada seluruh rakyat Indonesia.
Ada faktor mendasar yang sepertinya telah lama absen dalam rancang bangun perekonomian kita. Faktor mendasar tersebut adalah ”mental”, yang seharusnya menjadi dasar dan menjiwai pembangunan ekonomi dari bangsa Pancasila ini. Mental ekonomi kita saat ini dirasa telah melenceng dari cita-cita pendiri negeri.
Ekonomi kita saat ini lebih kental berasa liberalisme-kapitalisme, yang lebih mementingkan pembangunan fisik-material serta lebih mengutamakan daulat pasar dan para pemilik modal. Padahal, mental ekonomi Pancasila seharusnya menjadi dasar, di mana asas kebersamaan, kekeluargaan dan daulat rakyat seharusnya menjadi poros utamanya. Ketika kita berbicara tentang usaha untuk membangun atau memperkuat fondasi ekonomi nasional, hendaknya faktor ”mental” ini lebih dulu kita bicarakan.
Karena jika kita belajar dari apa yang terjadi hingga saat ini, pesan yang akan kita dapatkan adalah: ”Kita harus kembali pada jati diri kita: ekonomi Pancasila!” Ketergantungan, ketidakmerataan pembangunan dan kesenjangan adalah buah dari pembangunan ekonomi yang meninggalkan ekonomi Pancasila, yang nyatanya gagal membawa bangsa ini berjaya dan sejahtera.
Ketidakmandirian ekonomi kita dapat dengan nyata kita rasa saat terjadi krisis dan pelambatan ekonomi yang akhir-akhir ini riuh diberitakan. Kita dapat melihat bagaimana naik-turunnya nilai tukar rupiah dan cepat-lambatnya pertumbuhan ekonomi kita yang sangat bergantung pada negara lain. Badai ekonomi yang terjadi di negara lain akan dengan mudah melumpuhkan kestabilan ekonomi kita, sebuah rencana untuk menaikkan suku bunga oleh bank sentral dari negara lain saja sudah cukup untuk membuat rupiah menjerit.
Ketergantungan ekonomi terhadap negara lain ini, pada hulu dan hilirnya, akan tertuju pada ketidakmandirian politik yang melecehkan kedaulatan negara kita. Benar memang apa yang telah diamanatkan dengan cerdas oleh lagu kebangsaan kita: ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya!”. Membangun ”jiwa” adalah yang utama.
Dalam hal ini dapat diartikan sebagai kewajiban untuk mengembalikan laju perekonomian kita ini kepada arah yang benar, yakni: ekonomi Pancasila! Terkait hal ini, Prof Sri Edi Swasono pernah mengemukakan pemikirannya tentang ekonomi Pancasila, yang pada pokoknya antara lain berlandaskan atas: asas kebersamaankekeluargaan (mutualisme-brotherhood), kerja sama, mengutamakan manusia dan daulat rakyat, serta berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan sosial.
Intinya, ekonomi kita harus dijalankan dengan mengedepankan sifat dan sikap tanggung jawab, mengusung nilai moral, tidak saling menindas dan menjatuhkan, menjauhkan diri dari pragmatisme dan individualisme berlebih, tidak ingin untung dan menang sendiri, mengedepankan rasa kemanusiaan, serta pada akhirnya tidak akan terperangkap pada nafsu keserakahan yang merupakan bibit dari mental korup.
Pembangunan mental inilah yang seharusnya ada ketika kita berbicara mengenai pembangunan ekonomi nasional, yang hendaknya dijiwai baik secara institusional, maupun personal. Wallahu alam bish-shawab.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Pembangunan ekonomi Indonesia yang terlihat lebih berorientasi pada pembangunan fisik dan material hingga saat ini nyatanya belum juga mampu (baca: masih gagal) membawa negara ini maju mewujudkan cita-cita nasional: menciptakan masyarakat yang adilmakmur dan memberikan kesejahteraan pada seluruh rakyat Indonesia.
Ada faktor mendasar yang sepertinya telah lama absen dalam rancang bangun perekonomian kita. Faktor mendasar tersebut adalah ”mental”, yang seharusnya menjadi dasar dan menjiwai pembangunan ekonomi dari bangsa Pancasila ini. Mental ekonomi kita saat ini dirasa telah melenceng dari cita-cita pendiri negeri.
Ekonomi kita saat ini lebih kental berasa liberalisme-kapitalisme, yang lebih mementingkan pembangunan fisik-material serta lebih mengutamakan daulat pasar dan para pemilik modal. Padahal, mental ekonomi Pancasila seharusnya menjadi dasar, di mana asas kebersamaan, kekeluargaan dan daulat rakyat seharusnya menjadi poros utamanya. Ketika kita berbicara tentang usaha untuk membangun atau memperkuat fondasi ekonomi nasional, hendaknya faktor ”mental” ini lebih dulu kita bicarakan.
Karena jika kita belajar dari apa yang terjadi hingga saat ini, pesan yang akan kita dapatkan adalah: ”Kita harus kembali pada jati diri kita: ekonomi Pancasila!” Ketergantungan, ketidakmerataan pembangunan dan kesenjangan adalah buah dari pembangunan ekonomi yang meninggalkan ekonomi Pancasila, yang nyatanya gagal membawa bangsa ini berjaya dan sejahtera.
Ketidakmandirian ekonomi kita dapat dengan nyata kita rasa saat terjadi krisis dan pelambatan ekonomi yang akhir-akhir ini riuh diberitakan. Kita dapat melihat bagaimana naik-turunnya nilai tukar rupiah dan cepat-lambatnya pertumbuhan ekonomi kita yang sangat bergantung pada negara lain. Badai ekonomi yang terjadi di negara lain akan dengan mudah melumpuhkan kestabilan ekonomi kita, sebuah rencana untuk menaikkan suku bunga oleh bank sentral dari negara lain saja sudah cukup untuk membuat rupiah menjerit.
Ketergantungan ekonomi terhadap negara lain ini, pada hulu dan hilirnya, akan tertuju pada ketidakmandirian politik yang melecehkan kedaulatan negara kita. Benar memang apa yang telah diamanatkan dengan cerdas oleh lagu kebangsaan kita: ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya!”. Membangun ”jiwa” adalah yang utama.
Dalam hal ini dapat diartikan sebagai kewajiban untuk mengembalikan laju perekonomian kita ini kepada arah yang benar, yakni: ekonomi Pancasila! Terkait hal ini, Prof Sri Edi Swasono pernah mengemukakan pemikirannya tentang ekonomi Pancasila, yang pada pokoknya antara lain berlandaskan atas: asas kebersamaankekeluargaan (mutualisme-brotherhood), kerja sama, mengutamakan manusia dan daulat rakyat, serta berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan sosial.
Intinya, ekonomi kita harus dijalankan dengan mengedepankan sifat dan sikap tanggung jawab, mengusung nilai moral, tidak saling menindas dan menjatuhkan, menjauhkan diri dari pragmatisme dan individualisme berlebih, tidak ingin untung dan menang sendiri, mengedepankan rasa kemanusiaan, serta pada akhirnya tidak akan terperangkap pada nafsu keserakahan yang merupakan bibit dari mental korup.
Pembangunan mental inilah yang seharusnya ada ketika kita berbicara mengenai pembangunan ekonomi nasional, yang hendaknya dijiwai baik secara institusional, maupun personal. Wallahu alam bish-shawab.
(ars)